Oleh: Sigit Surahman
(Dosen Universitas Bhayangkara Jakarta Raya dan
Mahasiswa Doktoral Ilmu Komunikasi Sekolah Pascasarjana Universitas Sahid Jakarta)
Situasi politik dan persaingan antarkandidat capres semakin ketat dalam suksesi kepemimpinan Indonesia. Wacana koalisi makin merapat dan saling memikat. Selalu ada kemungkinan pilpres 2024 masih dapat berubah. Oleh karena itu, saya tidak akan membahas lebih jauh tentang kontestasi para capres, antara Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan dalam Pilpres 2024 di Indonesia.
Namun, dalam waktu yang bersamaan menjelang pilpres 2024 ini, saya sedang menyelesaikan disertasi tentang suksesi di Kesultanan Yogyakarta dari lensa Max Weber dan Muzafer Sherif (tokoh Sosiologi) di bawah arahan Prof. Dr. Ahmad Sihabudin, M.Si., Dr. Fahrudin Faiz., M.Ag., dan Dr. Ridzki Rinanto Sigit, M.M. Disertasi ini memberikan gambaran suksesi dalam sebuah organisasi kepemimpinan tradisional, yaitu Kesultanan Yogyakarta. Berkaitan dengan itu, pemerintahan di Nusantara pada masa kolonial atau era klasik yang beberapa kerajaan dipimpin oleh ratu. Contohnya adalah Kerajaan Sriwijaya yang dipimpin oleh Ratu Sima pada abad ke-7 hingga ke-8, Tribuana Tunggadewi dari Kerajaan Majapahit pada abad ke-14, dan Ratu Kerajaan Demak pada abad ke-16 seperti Ratu Kalinyamat.
Artikel ini juga menyajikan perubahan dalam sistem pemerintahan akibat interaksi dengan kekuatan kolonial Belanda. Pada masa kolonial, kerajaan-kerajaan di Jawa berada di bawah penguasaan Belanda, yang mempertahankan simbol kekuasaan namun menentukan keputusan penting. Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, sistem pemerintahan berubah secara radikal menjadi republik demokrasi. Namun, meskipun peran politik kerajaan berkurang seiring berjalannya waktu, beberapa kerajaan masih mempertahankan peran sosial dan kebudayaan dalam masyarakat.
Dalam konteks Yogyakarta, tradisi suksesi gender mengalami perubahan dengan dikeluarkannya sabda dan dawuh oleh Sri Sultan HBX. Penggunaan kekuasaan oleh penguasa kerajaan seperti Sri Sultan HBX memiliki peran ganda sebagai kepala daerah dan raja. Sabda dan dawuh raja menjadi penting dalam memberikan arahan dan otoritas kepada masyarakat.
Pengangkatan GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi melalui sabda dan dawuh Sri Sultan HBX memiliki dampak signifikan dalam struktur kekuasaan dan pewarisan takhta di Kesultanan Yogyakarta. Namun, keputusan ini juga memicu pro dan kontra di masyarakat, terutama di kalangan keluarga keraton dan abdi dalem. Beberapa kelompok mendukung perubahan tersebut, sementara yang lain menolaknya.
Sabda dan dawuh adalah pondasi perubahan dalam Kesultanan Yogyakarta. Dua konsep ini mengilhami pemimpin dan masyarakat untuk tetap menghormati nilai-nilai budaya sambil mengakomodasi perubahan zaman. Melalui pesan dan nasihat ini, kesultanan tidak hanya mengembangkan identitas yang kuat, tetapi juga menjalankan peran aktif dalam menciptakan perubahan positif yang menguntungkan masyarakat secara keseluruhan. Sabda dan dawuh adalah suara yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan Kesultanan Yogyakarta.
Kesultanan Yogyakarta menjalankan prinsip kontinuitas dan inovasi melalui konsep sabda dan dawuh. Kontinuitas terletak dalam warisan nilai-nilai yang diwariskan dari masa lalu, sementara inovasi tercermin dalam bagaimana nilai-nilai tersebut diaplikasikan dalam konteks modern. Pemimpin kesultanan tidak hanya menghormati sabda dan dawuh yang ada, tetapi juga mengambil inisiatif untuk menerjemahkan pesan-pesan tersebut ke dalam tindakan nyata yang relevan dengan perubahan zaman.
Peristiwa sabda dan dawuh Sri Sultan HBX dapat dijelaskan dalam konteks konsep Max Weber tentang kekuasaan, otoritas, dan legitimasi. Penggunaan kekuasaan dan otoritas oleh Sri Sultan HBX dalam mengambil keputusan mengenai suksesi takhta menggambarkan perubahan sosial dan tuntutan zaman. Artikel ini menggunakan lensa Teori Organisasi Weber dan Social Judgment Theory Muzafer Sheriff. Penggunaan konsep tersebut menciptakan konsep baru yang disebut dengan “Power and Social Appraisal” yang menggambarkan interaksi antara kekuasaan, otoritas, legitimasi, dan penilaian sosial dalam komunikasi. Power and Social Appraisal menggambarkan bagaimana masyarakat menilai kekuasaan Sultan dan bagaimana hal itu mempengaruhi komunikasi dan interaksi sosial dalam dinamika Kesultanan Yogyakarta. Perubahan menjadi hal mendasar dan tidak terelakkan. Penerimaan atau penolakan terhadap suksesi takhta dipengaruhi oleh penilaian sosial terhadap kekuasaan dan otoritas Sri Sultan HBX.
Wawasan baru tentang kekuasaan dan otoritas dalam pandangan masyarakat mempengaruhi komunikasi dan persepsi sosial. Dalam konteks Kesultanan Yogyakarta, perubahan tersebut menjadi tantangan dan peluang untuk memahami perubahan dalam pandangan terhadap otoritas tradisional. Dengan demikian, komunikasi kekuasaan dapat menjadi kunci untuk mengelola perubahan sosial yang substansial dalam masyarakat.
Discussion about this post