Yudhistira Ardi Poetra, M.I.Kom
(Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Bhayangkara Jakarta Raya)
Agustus merupakan salah satu bulan yang paling penting dan bersejarah bagi seluruh rakyat Indonesia. Selama periode bulan ini, banyak peristiwa penting yang terjadi di masa lampau dan selalu diceritakan kepada masyarakat Indonesia, terutama ketika masa-masa duduk di bangku sekolah. Dari sekian banyak peristiwa yang menjadi sejarah tersebut, hari kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus adalah yang paling dikenang, dinanti, dan dirayakan oleh bangsa ini setiap tahunnya. Sebuah tanggal yang mengingatkan kita kembali bagaimana perjuangan para pahlawan bertumpah darah untuk mengusir para penjajah dari tanah bumi pertiwi ini.
Kemerdekaan Indonesia yang sudah berumur 78 tahun ini memiliki makna yang berbeda-beda bagi setiap masyarakatnya. Seiring perubahan peradaban, ada beberapa hal yang membuat makna merdeka ini berkembang dari tahun ke tahun. Jika pada 17 Agustus 1945 kemerdekaan adalah suatu kemenangan dan kebebasan yang berhasil direbut oleh bangsa Indonesia atas kebiadaban penjajah pada saat itu, zaman kini merdeka memiliki makna yang semakin kaya lagi. Ada yang mengartikan kemerdekaan merupakan sebuah pemersatu bangsa Indonesia yang terdiri dari ratusan suku dan bahasa. Ada pula yang memaknainya sebagai perjuangan baru bagi seluruh masyarakat Indonesia dalam menjaga dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Dan ada pula yang memaknainya sebagai sebuah kebebasan untuk berpendapat dan berbicara atas kesewanangan yang terjadi dan ingkar terhadap ikrar kepemimpinan.
Meskipun Indonesia sudah merdeka sejak tahun 1945, untuk yang berkaitan dengan kebebasan berpendapat, tampaknya masyarakat mendapatkan kesempatan tersebut cukup lama. Era reformasi yang diawali pada tahun 1998 pascaruntuhnya “dinasti” Orde Baru. Setelah itu, masyarakat diyakini lebih berani untuk menyampaikan pendapatnya. Kebebasan dalam berpendapat kerap kali menjadi topik pembahasan masyarakat, baik di forum diskusi ilmiah maupun debat kusir di media-media sosial. Kerap kali permasalahan mengenai kebebasan berpendapat ini dianggap sebagai sebuah momok bagi pemangku pemerintahan maupun pejabat yang merasa tidak terima. Pada akhirnya, kebebasan berpendapat masih menjadi pertanyaan bagi rakyat yang ingin menyampaikan pandangannya terhadap kejadian-kejadian penting yang mereka pantau.
Kebebasan berpendapat atau kemerdekaan dalam berbicara sering dibenturkan dengan pasal-pasal hukum yang ada di negara ini. Yang paling sering berhubungan erat dengan kebebasan berpendapat adalah pasal yang mengatur tentang UU ITE atau hukum yang mengatur tentang pencemaran nama baik. Di dalam sebuah negara yang merdeka, kebebasan untuk menyampaikan pendapat merupakan sebuah hak yang sangat mendasar karena berkaitan dengan hak asasi manusia. Perlindungan kebebasan berpendapat juga diatur dengan baik oleh negara ini yang tercantum pada Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yang isinya “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Hal tersebut diatur oleh negara sebagai wujud demokrasi yang dijadikan sistem dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Jika negara sudah mengatur dan membolehkan masyarakat untuk menyampaikan pendapat, tentu muncul tanda tanya besar mengapa masih ada stigma atau pandangan yang mengatakan bahwa masyarakat dihalang-halangi untuk berpendapat. Rasanya kita perlu melihat kembali makna dari kemerdekaan yang sesungguhnya agar polemik mengenai kebebasan berpendapat tidak berlarut terus hingga bertahun-tahun.
Merdeka sendiri berasal dari bahasa sansekerta, maharddhika yang artinya rahib, biku, atau keramat, serta sangat bijaksana. Menurut Gatot Priyowidodo (2014) pengertian tersebut sering dikaitkan dengan spiritual dalam agama Buddha, di mana analoginya adalah seorang biksu yang telah melepaskan diri dari belenggu yang merampas kekeramatan dan kehormatannya. Ini juga dianggap sebagai interpretasi realitas baru dari masyarakat yang terlepas dari segala hal yang memenjarakannya.
Kebebasan yang dibahas dalam konsep kemerdekaan merupakan sebuah kebebasan dari segala belenggu yang menghalangi dan menahannya hingga tidak hidup di dalam sangkar bagai seekor burung. Burung yang memiliki sayap nan kuat untuk terbang dan memiliki suara yang bagus untuk berkicau lantang namun ketika berada di dalam sangkar yang dirancang oleh manusia. Sayap tersebut hanyalah sebuah organ tubuh yang diciptakan oleh Tuhan yang melekat di tubuhnya namun sama sekali tak berfungsi. Suaranya yang indah dan merdu pun hanya dapat didengar oleh orang yang memelihara dan mengurungnya di dalam sangkar tersebut. Sesekali memang ada yang sayup-sayup ikut mendengar kicauan tersebut, tetapi tetap saja tidak mau membebaskannya dari sangkar tersebut. Bila masanya tiba bagi burung tersebut untuk lepas dan merdeka dari sangkar yang merusak sayap dan pita suaranya, burung itu juga akan tahu akan terbang ke mana untuk memperjuangkan sisa hidupnya.
Merdeka dalam mengemukakan pendapat sangat berkaitan erat dengan kemerdekaan yang diperjuangkan oleh para pahlawan negeri ini. Menyampaikan pendapat kepada khalayak umum baik di panggung terbuka maupun ranah media sosial tidak boleh hanya sekadar menampilkan eksistensi diri bahwa ingin didengar oleh orang lain. Berbicara kepada massa yang besar jangan hanya bertujuan untuk melawan sesuatu hal yang dianggap tidak benar, tetapi belum mempelajari dan mencari tahu dulu apakah sudut pandang dalam melihat permasalahan sudah benar atau belum. Di satu momen, tidak jarang pula mereka yang ingin berbicara ini memiliki pemahaman yang jauh lebih rendah dibandingkan apa yang mereka kritik atau lawan. Oleh sebab itu, perlu untuk dipahami lagi bahwa kebebasan dalam berpendapat punya konsep yang tidak jauh dari konsep kemerdekaan.
Ketika berbicara di depan umum, alangkah baiknya kita menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam maharddhika, yaitu bijaksana. Seseorang penting memiliki rasa rendah hati dan menghargai pendapat orang lain terlebih dahulu ketika ingin memperjuangkan pendapatnya. Perlu untuk memperhatikan bagaimana etika dalam penyampaian pendapat agar pesan yang ingin disampaikan tepat pada sasaran.
Melawan penindasan dengan cara menyampaikan pendapat memang terbukti adalah senjata yang sangat ampuh di dalam menjalani kehidupan di negara yang merdeka dari penjajah, tetapi tidak boleh seperti dijajah oleh negara sendiri. Oleh sebab itu, kita juga bisa belajar dari burung yang ingin merdeka dan bebas dari sebuah sangkar dan jangan sampai menjadi burung tersebut. Ketika suara kita dinilai sangat lantang dan merdu oleh sang empunya kuasa, jangan sampai kita malah diburu, disangkarkan, dan dipelihara oleh mereka yang memiliki kemerdekaan versi mereka sendiri.
Discussion about this post