Lastry Monika
(Kolumnis Rubrik Renyah)
Suatu hari sewaktu di Sekolah Menengah Pertama, kami para siswi dikumpulkan untuk mendapat penyuluhan. Ketika itu, kami berkumpul di musala sekolah karena sekolah itu tidak memiliki aula khusus untuk mengadakan pertemuan selain musala dan lapangan terbuka untuk upacara. Sedari istirahat kedua, sekolah kami memang seperti kedatangan tamu. Beberapa wanita paruh baya berbaju putih tampak berlalu-lalang di sekitaran sekolah.
Rupanya beliau-beliau itu adalah para perawat, bidan, dan tenaga kesehatan lainnya. Sudah pasti mereka mendatangi sekolah kami untuk memberi penyuluhan tentang kesehatan, begitulah pikir kami. Akan tetapi, kenapa hanya siswi-siswi perempuan saja? Begitu pulalah kami bertanya.
Sebelum jam pelajaran berakhir, kami mendengar pengumuman dari meja piket. Seluruh siswi perempuan belum diperbolehkan pulang dan disegerakan menuju musala setelah bel berbunyi. Di sana akan diadakan penyuluhan tentang kesehatan reproduksi.
Meskipun pengumuman dari meja piket terdengar dengan jelas, di kelas malah terdengar bisik-bisik terkait hal lain, yaitu tentang tes keperawanan. Tidak jelas asal-mula bisik-bisik itu. “Kalian siswi perempuan akan dites keperawanannya!” Begitulah salah satu kalimat bisik-bisik yang sampai ke telinga kami. “Bila tidak perawan, maka tidak diperbolehkan ikut Ujian Nasional!” Begitu kelanjutan bisik-bisik itu.
Pada jam pelajaran terakhir itu, kelas menjadi agak ribut. Kami pun ditegur guru. Akan tetapi, sedikitpun beliau tak menyinggung hal yang kami ributkan meskipun samar-samar bisik-bisik kami pasti sampai juga ke telinganya.
Raut wajah beberapa dari kami, para siswi, mulai gelisah. Beberapa lainnya takut. Bagaimana tidak? Bisik-bisik itu amat meresahkan dan tak terbayangkan oleh remaja sebelia kami. Akan tetapi, raut muka gelisah dan takut kami justru dibaca sebagai tanda bahwa kami sudah tidak perawan. Siswa laki-laki melenggang pulang dengan riang. Tidak lupa sambil mengejek tentang bisik-bisik yang diributkan di kelas tadi.
Semua siswi perempuan diwajibkan hadir di musala. Sebab, katanya, akan ada presensi di sana. Barang siapa yang tidak hadir, akan menerima konsekuensinya. Di musala, setiap siswi diharuskan duduk sesuai kelas. Kami pun duduk berjejer seperti yang diinstruksikan wali kelas. Benar, beliau memegang presensi. Secara bergantian, kami sibuk menceklis kehadiran di lembaran presensi yang diberikan. Kami mulai lupa dengan bisik-bisik tes keperawanan.
Di hadapan kami, ibu-ibu berbaju putih mulai menyalakan infokus. Di pantulan layar yang besar itu kami dapat membaca tampilan salindia bertajuk “Penyuluhan Kesehatan Reproduksi untuk Siswi Sekolah Menengah”. Salah seorang dari tenaga kesehatan itu memulai sesi penyuluhan, dimulai dari sapaan ramah, dan penuh semangat terhadap kami semua.
Pembukaan pada acara penyuluhan tersebut cukup menyenangkan hingga sampailah pada seorang penyuluh yang menjelaskan persoalan keputihan pada alat reproduksi perempuan. Beliau bercerita tentang salah seorang pasiennya yang mengalami keputihan yang parah. Alih-alih menerangkan penyebab dan cara mengatasi keputihan, sesi itu justru berlangsung seperti acara gosip yang tengah membicarakan seseorang yang bermasalah.
Saya masih mengingat ekspresi beliau yang seolah memancarkan kejijikan atas keputihan yang menimpa pasiennya. Pada penyuluhan itu, satu pesan yang kami terima ialah agar menjaga pergaulan dengan lawan jenis. Pesan yang kami tidak mengerti korelasinya dengan masalah keputihan. Penyuluh seolah hendak menyampaikan bahwa keputihan yang dialami pasiennya dikarenakan pergaulannya dengan lawan jenis yang telah melewati batas kewajaran.
Pada penyuluhan itu, kami seharusnya diberitahu hal-hal yang menyebabkan keputihan. Pada penyuluhan itu pula, kami seharusnya mendapat pengetahuan bahwa keputihan tidak selalu pertanda buruk. Akan tetapi, itu adalah hal normal yang dapat terjadi menjelang dan sesudah menstruasi, hingga masa subur.
Pada penyuluhan itu, kami seharusnya diberitahu cara merawat area kewanitaan. Kami seharusnya diberitahu bahwa cara mencucinya ialah dari depan ke belakang. Kami seharusnya diberitahu bahwa mencuci dengan air lebih baik ketimbang dengan sabun yang berpotensi mengubah kadar pH yang normal. Kami harusnya diberitahu bahwa keputihan berbeda antara setiap orang. Kami seharusnya diberitahu mana keputihan yang normal dan mana yang perlu diwaspadai. Sayang hal-hal itu hampir tidak diterangkan.
Discussion about this post