Terlelap Lautan Fatamorgana Duniawi
Asmaraloka getarkan sukma menjelang
Asing tersisa usang menjulang
Pupuk-pupuk merah jambu makin menjamur bukan kepalang
Cinta dunia, fana meleburkan pahala manusia-manusia yang rindu surga pun mendorong diri semakin jatuh ke jurang neraka
Kitab suci di sudut meja, berdebu tak terbaca
Gawai merusak mata, lebih dari setengah 24 jam berada dalam genggaman
Gema azan, anak muda
Bagaikan bayu di tengah malam, sebatas bisikan kiri ke kanan
Sedang notifikasi dari makhluk penggores luka, sampai menggetarkan jiwa
Biarkan diri terlelap lautan duniawi
Betapa fatamorgana, menyengsarakan insan nan lupa diri
Mungkinkah menunggu ajal kian mendekat, berita bumi sekarat
Kan membuat manusia tercekat lalu berhenti tersesat?
Padang, Juli 2023
Sajak Insan Kepada Tuhan
Kenalkan aku Tuhan, Tuan dari segala insan yang kuberi pertolongan
Pagi petang mencari orang miskin diberi makan
Kenalkan aku Tuhan, tak cukup sekali kedatanganku ke rumah-Mu
Kuhabiskan waktu mengagungkan Nama-Mu
Kuikuti Sunah kekasih-Mu, berbagi cinta berpoligami
Sudahkah aku sempurna di mata-Mu, Tuhan?
Lantas mengapa ketika mata mulai terpejam, denting jam terus bergulir
Dan suara jangkrik mulai memekik memecah hening
Seorang pria tua berpakaian compang-camping
Buruk rupa, lagi mengeluarkan bau busuk amat menusuk
Siapakah dia Tuhan?
Tiada senyum mendekat lalu menampar pipiku kasar
Memaki, meludahi, hingga aku terbangun basah sudah berpeluh
Tertatih-tatih kudatangi tafsir mimpi tak peduli kerikil tajam melukai kaki
Sekali lagi, tamparan pedas membekas kala pria itu mendengar mimpi
Mimpi yang siapa sangka teguran dari Tuhan untuk insan seperti aku
Aku, kenapa aku?
Dan dia berteriak “Sungguh Tuhanmu membenci insan yang menyombongkan diri pun beban bagi bumi yang sudah mati”
Padang, Juli 2023
Dalam Langkah-langkah Kaki Berhenti di Jalan Buntu
Lupakah insan-insan buta, tuli, lagi bisu?
Sibuk duniawi tak henti, jelang terbit mentari menyapa manusia menyongsong temaramnya malam
Apa yang kau kejar dengan langkah-langkah kaki telanjang?
Jika sahurmu tak mendengar seruan azan
Dan buka yang berakhir duduk bersandar, kekenyangan
Meminta pada Tuhan, menangis tak karuan mengundang heran
Kenapa gerangan?
Bukankah pandemi mulai beranjak pergi, meski insan semakin tak tahu diri
Menanti Ramadan, setahun sekali
Menerka daksa entah kapan berkubang tanah, sepi lagi sesak diikat kain putih pun ditinggal sendiri
Sudah tahu tak sadar diri, masih saja dewana
Sekali bercengkerama, dalam langkah-langkah menuju ukhuwah
Tapi ibadah bak ranting-ranting di gurun pasir
Menjual hadis untuk kepentingan sesaat, tak mau dicap kafir
Bukankah langkah-langkahnya goyang?
Langkah-langkah kaki berhenti di jalan buntu, mencari secercah sinar menyilaukan
Lantas bagaimana Tuhan mengambil andil?
Mencoba lupa lalu mengambil langkah yang salah?
Tak cukup tegaskah Al-Ma’un berkata?
Ayat Tuhan yang terlupa, celakah bagi mereka yang lalai dalam waktu
Dengan pintu-pintu dari langkah kaki yang buntu
Padang, Juli 2023
Tentang Penulis
Nama Eliza Nuzul Fitria, dari Universitas Andalas. Usia 21 tahun. Asal daerah Kabupaten Padang Pariaman. Saat ini telah menerbitkan beberapa antologi puisi bersama author lain, script writer, dan menulis di beberapa platform aplikasi menulis.
Bersajak Kepada Tuhan
(Ulasan atas Puisi-Puisi Eliza Nuzul Fitria)
Oleh : Dara Layl
Puisi adalah salah-satu sarana ungkapan jiwa seseorang yang paling jujur dengan menggunakan kata-kata yang indah dan dalam. Sejalan dengan itu beberapa ahli juga mengungkapkan bahwa Puisi merupakan ungkapan jiwa atau sifat yang keluar dari dalam diri. Puisi mempertimbangkan efek keindahan dengan ketentuan-ketentuan tertentu yang terdiri dari irama, sajak dan kata-kata kias yang penuh makna (Ahmad & Aswinarko, 2013).
Selain itu, puisi adalah hasil ekpresi penyair sebagai penulis puisi untuk memberi pesan kepada pembaca. Puisi itu sendiri mempunyai arti sebagai gambaran diri sendiri atau pribadi penyair yang ada di pikirannya (Siswantoro, 2010). Puisi merupakan ungkapkan perasaan pengarang serta pikiran, yang dituangkan melaluli sebuah karya—disusun dengan penuh konsentrasi—kekuatan bahasanya, sehingga memiliki makna (Hindun, 2014). Dengan demikian puisi adalah luapan perasaan, pengimajinasiaan seseorang dalam menuangkan ide yang asal muasalnya dari hati dan pikiran.
Pada minggu ini Kreatika menyajikan tiga puisi karya Eliza Nuzul Fitria yang kental sekali akan nilai-nilai islami dengan judul puisi “Terlelap Lautan Fatamorgana Duniawi” puisi kedua “Sajak Insan Kepada Tuhan” dan “Dalam Langkah-Langkah Kaki Berhenti di Jalan Buntu”
Pada puisi pertama, “Sajak Insan Kepada Tuhan” penyair ingin menyampaikan bahwa segala ritual ibadah yang kita lakukan, apabila hanya untuk disombongkan dan bukan karena ikhlas kepada Tuhan, maka tidak ada artinya di hadapan Tuhan. Kita bisa melihat melalui bait “Pagi petang mencari orang miskin diberi makan/ Kenalkan aku Tuhan, tak cukup sekali kedatanganku ke rumah-Mu/ Kuhabiskan waktu mengagungkan Nama-Mu/ Kuikuti Sunah kekasih-Mu, berbagi cinta berpoligami/ bagaimana seseorang menyebut-nyebut amalan yang sudah dia kerjakan membuat dia akhirnya ditegur oleh Allah melalui mimpi buruk, seolah Allah ingin mengatakan bahwa Allah sangat membenci hamba yang menyombongkan diri. Penyair seolah ingin menyampaikan melalui judul sajak insan kepada Tuhan bahwa kita sebagai manusia suka menyebut-nyebut apa yang kita berikan kepada Tuhan dan lupa tentang apa saja yang sudah Tuhan berikan kepada kita yang nyatanya jauh lebih besar.
Pada puisi kedua, “Terlelap Lautan Fatamorgana Duniawi” puisi kedua ini menggunakan akhir bunyi yang sama di akhir bait puisi sehingga menghasilkan rima dengan bunyi yang indah. Rima puisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah pengulangan bunyi yang berselang, baik dalam larik sajak atau pada akhir larik sajak yang berdekatan atau secara singkat. Rima itu sendiri dapat dikatakan sebagai pengulangan bunyi yang ada dalam kata maupun suku kata yang ada dalam puisi. Biasanya, rima puisi akan terletak pada bagian akhir baris puisi. Dengan adanya rima puisi, maka puisi pun akan menjadi lebih indah dan memiliki efek intelektual maupun efek magis.
Kita bisa melihat rima puisi pada kata-kata; menjelang/ menjulang/ kepalang/ dengan akhir bait –ang dan kata-kata; mendekat/ sekarat/ tercekat/ tersesat/ dengan akhir –at dia akhir sajak. Persamaan bunyi di akhir bait membuat puisi semakin tajam dan indah ketika dibaca.
Pada puisi ketiga, “Dalam Langkah-Langkah Kaki Berhenti di Jalan Buntu” penyair seolah ingin menyampaikan bahwa betapa berharganya waktu yang dimiliki oleh seorang manusia. Penggunaan kata; buta/tuli/bisu seolah menggambarkan keadaan manusia yang yang seolah buta dengan kehidupan akhirat, tuli dengan peringatan Tuhan, dan bisu atau tidak mau bergerak menuju kebaikan.
Hal ini terlihat pada sajak; Sibuk duniawi tak henti, jelang terbit mentari menyapa manusia menyongsong temaramnya malam/ Apa yang kau kejar dengan langkah-langkah kaki telanjang? Jika sahurmu tak mendengar seruan azan/ Dan buka yang berakhir duduk bersandar, kekenyangan/ Sajak ini seolah mengingatkan betapa lalainya kita semua.
Ketiga puisi Eliza Nuzul Fitria, kita bisa merasakan bagaimana keresahan penyair akan kehidupan duniawi yang kental dengan kritikan baik bagi diri sendiri dan juga orang-orang sekitar. Tetap menulis puisi Eliza Nuzul Fitria, ditunggu karya hebat lainnya. (*)
Tentang Kreatia
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca.
Discussion about this post