Senin, 16/6/25 | 23:23 WIB
  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami
Scientia Indonesia
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
Scientia Indonesia
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
  • RENYAH
  • TIPS
Home LITERASI ARTIKEL

Frasa “Perubahan Iklim” pada Media Massa Daring

Minggu, 16/7/23 | 07:30 WIB

  Oleh: Arina Isti’anah, S.Pd., M.Hum.
(Dosen Sastra Inggris, Universitas Sanata Dharma dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora, Universitas Gadjah Mada)

 

Istilah “perubahan iklim” (climate change) mungkin terdengar kurang familiar namun bukan berarti fenomena tersebut tidak dapat kita rasakan. Menurut Norton & Hulme (2019), perubahan iklim dapat diidentifikasi dari beberapa fenomena berikut: naiknya suhu bumi, meningkatnya curah hujan, berkurangnya sumber mata air, dan kemarau berkepanjangan. Jika bertanya pada orang-orang di sekitar kita, penggunaan istilah “perubahan iklim” mungkin tidak langsung kita dapatkan namun mereka akan menyebut beberapa fenomena terkait dengan perubahan iklim.

Pengalaman masyarakat sebagai bagian dari ekosistem yang berkaitan dengan perubahan iklim tidak selalu sama. Hal itu tergantung pada letak geografis tempat masyarakat berada. Sebagai contoh, penduduk Antartika menyebut fenomena mencairnya gletser, bukan kemarau panjang seperti yang dialami masyarakat Indonesia. Fenomena itu membuktikan bahwa bahasa atau tuturan masyarakat menunjukkan relasi dengan lingkungan fisik di sekitarnya.

BACAJUGA

Metafora “Paradise” dalam Wacana Pariwisata

Frasa tentang Iklim dalam Situs Web Greenpeace

Minggu, 15/6/25 | 09:39 WIB
Metafora “Paradise” dalam Wacana Pariwisata

Dari Gunung Sinai ke Masjid Al Aqsa: Strategi Branding Promosi Hijab

Minggu, 04/5/25 | 06:41 WIB

Para ilmuwan mulai membicarakan fenomena perubahan iklim, baik dari ilmu eksakta maupun humaniora. Dalam kajian eksakta, beberapa peneliti telah membahas dampak perubahan iklim dan mitigasi serta upaya penanggulangannya, seperti permodelan pertanian untuk mengatasi berkurangnya hasil panen gabah karena kemarau berkepanjangan (Amien dkk, 1996), emisi gas rumah kaca untuk tanaman obat dan padi (Cahyaningsih dkk, 2021; Hasegawa & Matsuoka, 2013), dan penanaman mangrove untuk mempertahankan keseimbangan ekosistem (Arifianti, 2022).

Sebagai bagian dari ekosistem, kita hendaknya tidak menganggap perubahan iklim sebagai fenomena alam yang terjadi begitu saja. Adanya campur tangan manusia menyebabkan percepatan perubahan iklim. Perubahan tersebut akhirnya tidak hanya merugikan manusia, tetapi juga lingkungan serta generasi mendatang. Oleh sebab itu, kita patut berefleksi, perubahan iklim ini tanggung jawab siapa? Sebelum menemukan atau mencari jawaban atas pertanyaan tersebut, ada baiknya kita menilik sedikit bagaimana kita sebagai bentuk komunitas tutur, mengonseptualisasikan perubahan iklim melalui bahasa. Salah satu bentuk refleksi kognitif dan sosial bahasa yang merefleksikan kita sebagai suatu komunitas tutur adalah melalui media massa, tepatnya dalam tulisan ini merujuk pada media massa daring.

Tulisan ini mencoba untuk menelisik pola-pola kebahasaan pada media massa daring melalui situs korpus CQPweb. Situs linguistik korpus CQPweb merupakan sistem analisis berbasis korpus daring yang memungkinkan untuk mencari tahu pola-pola bahasa dari big data. Dalam bahasa Indonesia, kita bisa mencari bagaimana frasa ‘perubahan iklim’ berada dengan kata di sekelilingnya yang kemunculannya tidak bersifat kebetulan. Dalam istilah linguistik, pola itu disebut kolokasi. Kemunculannya dapat dibuktikan secara statistik.

CQPweb menyediakan korpus bahasa Indonesia yang bersumber dari big data. Korpus bahasa Indonesia itu berasal dari puluhan atau ratusan jenis teks. Contohnya penggunaan frasa ‘perubahan iklim’ yang kemunculannya dibuktikan secara empiris dalam media massa Indonesia berjumlah 21.492 per juta kata. Kemunculan frasa ‘perubahan iklim’ kemudian dicari kolokasinya dari kelas kata nomina untuk mengetahui agensi yang sering dilekatkan dengan fenomena “perubahan iklim” dalam media massa daring.

Dari hasil penelusuran korpus, nomina dengan frekuensi paling tinggi yang melekat pada frasa ‘perubahan iklim’ antara lain: Kelitbang (Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan), DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim), UNFCCC (United Nations of Convention on Climate Change), COP26 (Conference of Parties of United Nations Climate Change Conference in 2021), COP-15 (Conference of Parties of United Nations Climate Change Conference in 2009), COP (Conference of Parties by the United Nations), REDD (Reducing emissions from deforestation and forest degradation in developing countries), REDD+ (Reducing emissions from deforestation and forest degradation in developing countries and additional forest activities that protect the climate) dan WEF (World Economic Forum).

Contoh di atas menunjukkan beberapa agensi yang ditampilkan media massa sebagai pihak yang bertanggung jawab atas perubahan iklim. Pertama, perubahan iklim dianggap merupakan tanggung jawab DNPI dan Kelitbang. Pemberitaan mengenai tanggung jawab perubahan iklim oleh Dewan Nasional Perubahan Iklim menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia, beserta penanggung jawabnya, memperhatikan isu perubahan iklim sebagai tanggung jawab sosial kepada masyarakat. Kedua, perubahan iklim didudukkan sebagai fenomena global yang merupakan tanggung jawab Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nations, beserta konferensi dan pertemuan yang diadakan secara rutin, seperti muncul dalam nomina UNFCCC, COP-26, COP-15, dan COP. Ketiga, ‘perubahan iklim’ dianggap sebagai isu yang patut diperbincangkan bukan hanya dalam isu lingkungan hidup namun dalam Forum Ekonomi Dunia (WEF) yang mengusulkan kebijakan dan praktik ekonomi rendah karbon.

Secara ringkas, penelusuran piranti korpus menunjukkan bahwa media massa Indonesia melekatkan perubahan iklim dengan agensi pemerintah dan PBB sebagai pihak yang memiliki otoritas untuk mengatasi perubahan iklim. Keterlibatan masyarakat sebagai bagian dari ekosistem secara statistik tidak muncul sebagai kolokasi dari frasa ‘perubahan iklim’. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberitaan media massa yang melibatkan masyarakat dalam usaha mitigasi penanggulangan perubahan iklim tidak mendapatkan perhatian khusus.

Perubahan iklim didudukkan sebagai fenomena global dan penanggulangannya masih dibebankan kepada pemerintah serta PBB. Keterlibatan masyarakat dalam hal pengalaman, mitigasi, dan penanggulangan belum disorot oleh media massa. Hal itu bukan tanpa alasan. Bahasa, sebagai piranti kognitif yang menyimpan pengalaman, memori, dan pengetahuan, merefleksikan bagaimana masyarakat menangkap suatu fenomena alam atau sosial. Hasil penelusuran data di atas menunjukkan perubahan iklim belum ditangkap sebagai fenomena darurat yang patut mendapatkan perhatian dan perlakuan nyata untuk ditanggulangi oleh masyarakat.

Pembebanan mitigasi perubahan iklim kepada pihak yang memiliki otoritas, yakni pemerintah dan PBB, mencerminkan bahwa perubahan iklim bukanlah suatu fenomena yang perlu untuk segera diatasi. Namun, benarkah demikian?

Sebagai bagian dari ekosistem, kita hendaknya mulai menyadari tanggung jawab terhadap perubahan iklim yang dapat dirasakan sehari-hari, seperti meningkatnya suhu bumi, penurunan adaptasi tanaman, dan ketidakpastian masa panen. Tentunya kita tidak bisa menanggulangi perubahan iklim dengan instan, tetapi sebagai makhluk sosial kita dapat mempromosikan pengetahuan dan perilaku yang ramah lingkungan melalui kebiasaan sehari-hari, pendidikan, bahkan melalui praktik-praktik berbasis budaya.

Bahasa sebagai properti yang hanya dimiliki manusia memiliki peran dalam membentuk perspektif dan perilaku kita terhadap lingkungan (Stibbe, 2015). Sebagai sarana komunikasi yang menyebarkan informasi dan membentuk persepktif masyarakat, media massa memegang peranan penting dalam mengonstruksi pengetahuan pembaca tentang isu perubahan iklim. Jika selama ini perubahan iklim selalu dilekatkan dengan agensi otoritatif sebagai pihak yang bertanggung jawab atas penanggulangannya, untuk selanjutnya media massa dapat mengangkat cerita atau pengalaman masyarakat terkait dengan perubahan iklim yang mereka alami.

Sebagai contoh, pengalaman nelayan atau petani terkait masa panen yang mungkin tidak sesuai dengan prediksi yang disebabkan oleh perubahan iklim. Hal tersebut akan menggugah pembaca untuk berefleksi tentang fenomena perubahan iklim. Seperti dikemukakan pada awal tulisan ini, pengalaman masyarakat terhadap perubahan iklim akan berbeda-beda tergantung letak geografis tempat tinggal mereka. Dengan demikian, pemberitaan media massa terkait dengan ciri-ciri perubahan iklim yang lekat dengan kehidupan sehari-hari pada akhirnya akan memberikan perubahan dari agensi otoritatif menjadi agensi sosial/komunal sebagai pihak yang ikut bertanggung jawab atas perubahan iklim.

Tags: Arina Isti'anah
ShareTweetShareSend
Berita Sebelum

Problem Penyelenggaraan Wisuda pada Semua Jenjang Pendidikan

Berita Sesudah

Puisi-puisi Eliza Nuzul Fitria dan Ulasannya oleh Dara Layl

Berita Terkait

Salah Kaprah Penggunaan In dan Out di Ruang Publik

Salah Kaprah Penggunaan In dan Out di Ruang Publik

Minggu, 15/6/25 | 10:52 WIB

Oleh: Mita Handayani (Mahasiswa Magister Linguistik FIB Universitas Andalas)   Cassirer (dalam Lenk, 2020) mengatakan bahwa manusia adalah animal symbolicum,...

Metafora “Paradise” dalam Wacana Pariwisata

Frasa tentang Iklim dalam Situs Web Greenpeace

Minggu, 15/6/25 | 09:39 WIB

Oleh: Arina Isti’anah (Dosen Sastra Inggris, Universitas Sanata Dharma) Baru-baru ini kita disadarkan oleh fenomena kerusakan alam Raja Ampat yang...

Beban Tidak Kasat Mata Anak Perempuan Pertama

Beban Tidak Kasat Mata Anak Perempuan Pertama

Minggu, 08/6/25 | 08:17 WIB

Ilustrasi: Meta AI Oleh: Ratu Julia Putri (Mahasiswa MKWK Bahasa Indonesia 32 & Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Andalas)   “Kamu...

Epigram 60: Perayaan Ulang Tahun Terakhir Joko Pinurbo

Epigram 60: Perayaan Ulang Tahun Terakhir Joko Pinurbo

Minggu, 01/6/25 | 11:46 WIB

Oleh: Ghina Rufa’uda (Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia dan Bergiat di Labor Penulisan Kreatif FIB Universitas Andalas)   Rekeningku hanya tempat...

Pesan Moral dalam Cerpen “Robohnya Surau Kami”

Pesan Moral dalam Cerpen “Robohnya Surau Kami”

Minggu, 01/6/25 | 11:18 WIB

Oleh: Sufrika Sari (Mahasiswi Prodi Sejarah dan Bergiat di Labor Penulisan Kreatif FIB Universitas Andalas) Kesalehan lahiriah bukanlah jaminan seseorang...

Literature Review Artikel “Power in the Discourse of West Sumatra Regional Regulation Number 7 of 2018 concerning Nagari”

Literature Review Artikel “Power in the Discourse of West Sumatra Regional Regulation Number 7 of 2018 concerning Nagari”

Minggu, 25/5/25 | 14:40 WIB

Oleh: Raisa Tanjia Ayesha Noori (Mahasiswa S2 Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas) Peraturan Daerah (Perda) sering kali dianggap sebagai...

Berita Sesudah
Puisi-puisi Eliza Nuzul Fitria dan Ulasannya oleh Dara Layl

Puisi-puisi Eliza Nuzul Fitria dan Ulasannya oleh Dara Layl

Discussion about this post

POPULER

  • Pengasuh Ponpes Miftahul Huda Dharmasraya Diduga Cabuli Puluhan Santriwati

    Pengasuh Ponpes Miftahul Huda Dharmasraya Diduga Cabuli Puluhan Santriwati

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dugaan Korupsi Dana COVID-19, Kantor BPBD Dharmasraya Digeledah Polisi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Salah Kaprah Penggunaan In dan Out di Ruang Publik

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tanda Titik pada Singkatan Nama Perusahaan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Puan Maharani Temui Diaspora Indonesia di San Francisco : Di Mana Pun Berada, Kita Tetap Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Warga Koto Padang Dharmasraya Swadaya Perbaiki Jembatan Gantung yang Ambruk

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jalan Pagi atau Jajan Pagi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Scientia Indonesia

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024

Navigate Site

  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami

Follow Us

No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024