Jumat, 13/6/25 | 13:47 WIB
  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami
Scientia Indonesia
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
Scientia Indonesia
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
  • RENYAH
  • TIPS
Home Unes

Mengapa Perempuan Penyihir Dibunuh?

Minggu, 25/6/23 | 10:20 WIB

Lastry Monika
(Kolumnis Rubrik Renyah)

Pada tahun 1326, perempuan penyihir diburu dan dibantai secara sistematis. Hal itu dilakukan selama empat abad hingga korban diperkirakan mencapai 100.000 nyawa. Penyihir di awal Abad Pertengahan sebetulnya berkaitan dengan peramuan obat-obatan dengan tumbuh-tumbuhan. Akan tetapi Raja Clovis di masa itu melarangnya dan memberi hukuman.

Setiap orang yang dicurigai diadili dengan dilempar ke air, dibakar hidup-hidup, dibunuh, atau dipenjara hingga mati. Mereka (perempuan yang dicurigai sebagai penyihir) dianggap lemah sehingga mudah dikuasai oleh iblis. Mereka pun dianggap menjadi penyebab dari setiap bencana dan keburukan yang tejadi di masyarakat.

Barulah pada 2018 lalu citra perempuan penyihir di Abad Pertengahan itu diluruskan. Mona Chollet menjelaskan bahwa penyihir yang dibantai di masa itu adalah mereka yang memiliki kemampuan menyembuhkan orang sakit dengan reramuan tumbuh-tumbuhan. Sebagian dari penyihir itu juga memiliki kemampuan proses persalinan kelahiran bahkan dimungkinkan tanpa rasa sakit. Di masa itu, perempuan penyihir juga melatih perempuan lain untuk melakukan pengobatan yang sama. Sayangnya, perkumpulan mereka dianggap sebagai perkumpulan perempuan-perempuan yang dikendalikan oleh setan.

Ada alasan yang menjengkelkan dan menggelikan mengapa pada akhirnya penyihir-penyihir ini diburu dan dibantai. Di masa itu, pengetahuan, kecerdasan, dan pikiran dianggap hanya domain maskulin. Oleh sebab itulah perempuan yang merambah ketiga hal itu dikucilkan.

BACAJUGA

Sebagian Tidak Suka Orang yang Banyak Cerita

Menyulam Nilai Lewat Cerita: Inyiak Bayeh dan Cerita-cerita Lainnya

Minggu, 11/5/25 | 17:14 WIB
Sebagian Tidak Suka Orang yang Banyak Cerita

Talempong Batu: dari Batu ke Nada

Minggu, 04/5/25 | 18:02 WIB

Kategori ‘penyihir’ meluas tak karuan. Perempuan yang banyak bicara, tidak memiliki anak, dan memiliki kebebasan seksualitas pun dianggap sebagai penyihir. Para perempuan seperti demikian dianggap tidak sesuai dengan norma perempuan pada masa itu.

Chollet menanggapi peristiwa pembantaian penyihir itu terkait konteks misogini. Perempuan yang menyentuh domain pengetahuan, kecerdasan, dan pikiran sebisa mungkin dikembalikan pada posisi subordinat.

Saat ini, pada abad 21 ini, masihkah perempuan penyihir itu tersisa? Bila masih, tetapkah mereka diburu dan dibantai? Rupanya perempuan penyihir masih ada. Chollet membaginya ke dalam tiga kategori: perempuan tidak menikah, perempuan tak memiliki anak, dan perempuan tua tak menikah dan tak memikili anak. Label ‘penyihir’ disematkan kepada mereka karena tidak memenuhi standar ‘normal’ sebagai perempuan.

Lalu, tetapkah perempuan penyihir abad ini diburu dan dibantai? Jawabannya ialah tetap, tetapi dengan cara yang berbeda. Mereka diberi label janda, perawan tua, hingga perempuan mandul. Di perguruan tinggi, dosen perempuan yang tidak menikah akan menjadi pembicaraan para mahasiswa. “Eh, ibu itu tidak menikah-menikah, loh!” Bahkan, sikapnya dalam keseharian dan mengajar akan dikait-kaitkan dengan status pernikahannya. Bila ia dosen yang tegas, ia cenderung tak disukai. Label ‘judes’ pun disematkan dan munculah pernyataan, “Judes, sih. Pantas tidak menikah!”

Seorang selebgram perempuan memilih untuk tidak memiliki anak meskipun ia menikah. Ia memaparkan sejumlah alasan atas pilihannya tersebut. Rupanya pilihan yang sangat pribadi ini pun sulit diterima oleh masyarakat. Ia mendapat kecaman bahkan dengan ujaran seperti, “Ah, bilang saja memang mandul dan tidak bisa beranak!” Rupanya, pelabelan dan perburuan perempuan penyihir masih diwarisi hingga abad 21 ini, ya!

Tags: #Lastry Monica
ShareTweetShareSend
Berita Sebelum

Cerpen “Moza dan Ijah” Karya Hayat Mardhotillah dan Ulasannya oleh M Adioska

Berita Sesudah

Kosakata Bahasa Turki dalam KBBI

Berita Terkait

Satu Tikungan Lagi

Masih Tentang Busa dan Bilasan

Minggu, 08/6/25 | 17:51 WIB

Salman Herbowo (Kolumnis Rubrik Renyah)   Minggu lalu, di rubrik Renyah, saya menulis tentang pengalaman mencuci pakaian—aktivitas sederhana yang diam-diam...

Senyuman Kecil dan Mendengar: Hal Kecil yang Berdampak Besar

Cerita dari Balik Busa dan Bilasan

Minggu, 01/6/25 | 16:05 WIB

Salman Herbowo (Kolumnis Rubrik Renyah)   Ada satu kebiasaan yang tak pernah absen menemani masa-masa kuliah saya dulu, menumpuk cucian....

Senyuman Kecil dan Mendengar: Hal Kecil yang Berdampak Besar

Jam Tangan dan Seni Menjadi Siapa

Minggu, 25/5/25 | 13:50 WIB

Salman Herbowo (Kolumnis Rubrik Renyah) Seorang teman pernah berujar tentang urgensi dari jam tangan. Ia menjelaskan tentang benda kecil yang...

Senyuman Kecil dan Mendengar: Hal Kecil yang Berdampak Besar

Tertinggal Karena Lupa, Tertawa Karena Ingat

Minggu, 18/5/25 | 16:44 WIB

Salman Herbowo (Kolumnis Rubrik Renyah)   Lupa adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Dalam keseharian, kita sering kali dibuat repot...

Sebagian Tidak Suka Orang yang Banyak Cerita

Menyulam Nilai Lewat Cerita: Inyiak Bayeh dan Cerita-cerita Lainnya

Minggu, 11/5/25 | 17:14 WIB

Lastry Monika Dosen Prodi Sastra Minangkabau FIB Unand/Kolumnis Rubrik Renyah   Dalam tiga minggu terakhir, saya selalu mengangkat tema seputar...

Sebagian Tidak Suka Orang yang Banyak Cerita

Talempong Batu: dari Batu ke Nada

Minggu, 04/5/25 | 18:02 WIB

Lastry Monika (Dosen Prodi Sastra Minangkabau FIB Unand/Kolumnis Rubrik Renyah)   Bila saya membawa teman pulang kampung, ibu hampir selalu...

Berita Sesudah
Istilah “Deskriptif” dan “Preskriptif” dalam Ilmu Bahasa

Kosakata Bahasa Turki dalam KBBI

Discussion about this post

POPULER

  • Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara dan Ulasannya oleh Azwar

    Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara dan Ulasannya oleh Azwar

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Polda Sumbar Gelar Lomba Karya Tulis Peringati HUT Bhayangkara ke-79, Hadiah Puluhan Juta Rupiah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Beban Tidak Kasat Mata Anak Perempuan Pertama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tanda Titik pada Singkatan Nama Perusahaan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Yonnarlis Hadiri Wisuda Tahfizh dan Khatam Al Quran di Jorong Sawah Ujuang

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pasangan Kata “Bukan” dan “Tidak” dalam Bahasa Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jalan di Nagari Sopan Jaya Rusak, Warga Tuntut PT SAK Tanggung Jawab

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Scientia Indonesia

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024

Navigate Site

  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami

Follow Us

No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024