Oleh: Rizky Amelya Furqan
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekadar bekerja, kera juga bekerja.
(Buya Hamka)
Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang lebih dikenal dengan nama Buya Hamka adalah seorang ulama, filsuf, dan sastrawan Indonesia asal Maninjau, Sumatera Barat yang masih dikenang nama besarnya hingga saat ini. Hal ini terbukti dari berbagai hal, di antaranya masih banyak lomba-lomba yang mengangkat tema tentang Buya Hamka, buku yang membahas tentang perjalanan Buya Hamka, dan bulan April lalu rumah produksi Falcon Pictures dan Starvition Plus merilis Film Buya Hamka melalui seluruh bioskop di Indonesia.
Film Buya Hamka tayang perdana pada tanggal 19 April dengan durasi 106 menit ini membangun euforia yang luar biasa di kalangan masyarakat. Hal ini juga terbukti dalam waktu 13 hari penayangan film ini sudah tembus lebih dari satu juta penonton. Bahkan, di bisokop XXI yang ada di Transmart Padang pada tanggal 2 Mei terlihat tidak hanya gerombalan anak muda, tetapi juga banyak orang tua yang ikut berkontribusi sebagai penonton film ini. Hal ini membuktikan, bahwa film Buya Hamka menarik perhatian banyak pihak.
Film ini sudah mulai direncanakan mulai dari tahun 2014 yang dimulai dari ide Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang sekaligus menjadi penasihat dalam pembuatan film. Film ini disutradarai oleh Fajar Bustomi yang juga merupakan sutradara film Dilan pada tahun 2018. Naskah film ini ditulis oleh Alim Sudio dan Cassandra Massardi yang sudah menulis beberapa naskah film besar, di antaranya Surga Yang Tak Dirindukan, Ayat-Ayat Cinta, dan lain-lain. Film ini juga dibintangi artis-artis terkenal Indonesia, yaitu Vino G. Bastian yang menjadi Buya Hamka, Laudya Cynthia Bella sebagai Sitti Raham, istri Hamka, Donny Damara sebagai Haji Rasul, ayah Buya Hamka, Desy Ratnasari sebagai Ummi Safiyah, ibu Hamka, dan beberapa aktor lainnya.
Film dengan waktu penggarapan hampir 3 tahun dengan 12 rancangan naskah ini menggambarkan kecintaan Hamka untuk Indonesia, Islam, Keluarga, dan Kemanusiaan. Proses diskusi dengan pihak keluarga Hamka untuk penerbitan film ini sudah disetujui pada 17 November 2016. Surat kuasa diserahkan oleh anaknya kepada MUI. Film ini akhirnya dibagi menjadi 3 kali penayangan atau 3 vol. Vol I menceritakan tentang kehidupan Buya Hamka yang aktif pada masa pengurusan organisasi Muhammadiyah di Makasar dan Sumatera Timur, serta majalah Pedoman Masyarakat di Medan. Selain itu, juga membahas tentang usaha Buya Hamka bernegosiasi dengan Jepang untuk ketenangan umat Islam, tetapi usahanya dianggap sebagai bentuk penghianatan Buya Hamka sehingga ia diberhentikan dari ketua Muhammadiyah Sumatera Timur. Kemudian, Vol II dari trailer yang beredar membahas perjuangan Buya Hamka pasca-Kemerdekan Indonesia dan akhirnya ia dianggap terlibat dalam pemberontakan melawan Soekarno. Selanjutnya, Vol III mebahas tentang perjalanan Hamka menuntut ilmu ke Mekah. Namun, terkait penayangan kedua volume lanjutan ini belum diketahui tanggal penayangannya.
Penayangan film ini tentu saja menimbulkan berbagai respon dari penonton, baik itu respon positif ataupun respon negatif. Dari linimasa twitter dapat dilihat banyak review tantang film Buya Hamka. Beberapa respon positif dari warganet di antaranya adalah:
“Film Buya Hamka yang sekarang tayang itu sangat layak ditonoton karena sejarah asli, bukan versi kadrun. Makanya ada adegan dimana Buya Hamka menentang keras poligami dan satu bioskop bertepek keras” @themorningtide
“Film Buya Hamka vol 1 itu bagus alur ceritanya sampai nggak terasa filmnya abis ditonton” @dimasprakosoo
Di atas adalah dua komentar yang ditulis oleh pengguna aplikasi twitter yang menggambarkan kepuasan menonton film Buya Hamka, sedangkan berikut adalah komentar ketidakpuasaan pengguna aplikasi twitter setelah menonton film Buya Hamka.
“Film Buya Hamka B aja secara sinematografi, lompat-lompat gak jelas, kaya nonton cuplikan sejarah aja.. gua sampe ketidura. Musiknya juga ganggu, pingin menggambarkan ketokahan Buya Hamka, tapi malah ganggu, too much. Satu lagi gua masih lihat Vino G. Bastian dalam film itu, bukan Buya Hamka” @dusrimulya
“Buya Hamka volume 1 ini gw rasa cukup untuk bisa memperkenalkan siapa beliau. Cukup dalam pula kita merasuk ke dalam pemikiran-pemikiran dan hubungannya dengan sekitar. Tapi penyakit film Indonesia tetap saja sama. Hampir setiap dialog dibuat dramatis. Tidak ada kesan natural” @luf_fyga
Idealnya ketika sebuah karya dinikmati oleh pembaca atau penonton tentu saja akan mendapatkan berbagai respon. Hal ini tentu saja juga dipengaruhi oleh harapan penikmat terhadap karya yang sudah mereka nantikan kehadirannya. Harapan dan pengetahuan yang mereka miliki menjadi penyebab respon yang diberikan menjadi berbeda antara satu sama lain. Hal tersebut sejalan dengan teori resepsi sastra tentang horizon of expectation dan reader response yang dismpaikan oleh Hans Robert Jauss dan Wolfgang Iser.
Menurut penulis ada beberapa hal yang menarik perhatian dalam film Buya Hamka dan sekaligus ada ruang-ruang kosong yang mengacaukan ekspektasi penonton dari film ini. Beberapa hal yang menarik perhatian di antaranya adalah:
1) Dedikasi Buya Hamka
Dedikasi Buya Hamka terhadap organisasi yang sedang dia pimpin, terutama ketika Buya Hamka menjadi Pemimpin Redaksi Pedoman Masyarakat, majalah Keagamaan yang terbit di Medan dan kemudian menyebar di seluruh Nusantara pada masa Penjajahan Belanda pada awal abad ke-20. Pada majalah dengan penjualan hingga 4.000 eksemplar inilah Buya Hamka mengeluarkan pikiran hebat yang digemari oleh banyak orang. Hal ini juga yang mengantarkan Buya Hamka bertemu dengan Soekarno. Dedikasi tertingginya terlihat ketika anaknya meninggal dan majalah Pedoman Masyarakat akan naik cetak, ia menyelesaikan tugasnya mengontrol jalannya proses pencetakan terlebih dahulu sebelum pulang ke Padang Panjang karena ia menganggap pulang ke Padang Panjang saat itu juga tidak akan bisa melihat jenazah anaknya.
2) Buya Hamka Melawan Ideologi
Buya Hamka juga melawan ideologi yang dia punya demi kebebasan umat Islam, bahkan ia dituduh menjadi pengkhianat karena dinilai mencari simpati Jepang untuk mendapatkan imbalan. Hal ini juga yang akhirnya membuat Buya Hamka dipecat dari Jabatannya sebagai Ketua Muhammadiyah Sumatera Timur.
3) Peran Sitti Raham
Hal lain yang tidak kalah menarik adalah peran Sitti Raham, istri Buya Hamka yang diperankan oleh Laudya Cintia Bella. Perempuan Minangkabau digambarkan tidak hanya sebagai pendamping suaminya, tetapi juga memberikan masukan kepada suaminya dalam mengambil keputusan. Salah satunya, adalah ketika Raham meminta Buya Hamka pindah dari Muhammadiyah Makasar ke Pedoman Masyarakat dengan anggapan bahwa organiasi Muhammadiyah di Makasar sudah berkembang dengan cukup baik, sedangkan Pedoman Masyarakat masih dalam tahap merintis dan membutuhkan peran Buya Hamka. Raham harus merelakan tidak hidup di satu tempat dengan suaminya. Dengan demikian, dalam film ini tidak hanya menggambarkan kekuatan Buya Hamka, tetapi juga peran perempuan, istrinya dalam mendukung perjuangan Buya Hamka.
Namun, ada beberapa hal mengganjal yang ditampilkan dalam film yang sudah tembus satu juta penonton ini, di antaranya: Pertama, penjelasan pada masing-masing bagian peristiwa terasa kurang detail, misalnya ketika Buya Hamka diberhentikan dari ketua Muhammadiyah Sumatera Timur. Ia hanya memukul meja untuk menghentikan perdebatan semua anggota terkait dirinya yang dianggap penghianat tanpa memberikan penjelasan apapun. Selain itu, ketika rumah Buya Hamka yang dilempar dengan kertas yang diisi batu dengan tulisan pengkhianat ketika Raham sedang menjahit. Raham digambarkan terkejut dan setelah itu tidak ada peritiwa lanjutan apa pun terkait ini. Kedua, rangkaian peristiwa yang tidak mendetail, potongan-potongan kalimat yang disampaikan oleh bebarapa tokoh juga terlihat kosong sehingga penonton, terutama yang memahami bahasa Minangkabau melihat kalimat yang disampaikan tidak dapat dipahami maknanya dengan baik.
Dari beberapa penjelasan di atas, kekurangan paling krusial adalah rentetan peristiwa yang tidak mendetail sehingga menyebabkan ruang kosong pada harapan penonton yang tidak terisi dengan baik. Namun, ruang kosong tersebut tidak terasa hampa sepenuhnya karena penayangan film yang ditutup dengan penayangan trailer Vol II dan III yang sepertinya bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul pada Vol I ini.
Discussion about this post