Oleh: Ria Febrina
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada)
Awal Februari ini, cuaca di Yogyakarta panas sekali. Kami yang sedang berada di Candi Prambanan jadi lelah, mengantuk, dan capai berkeliling dengan cuaca seterik ini. Namun, saya justru berharap hujan tidak turun tiba-tiba. Cuaca di Yogyakarta akhir-akhir ini memang tidak bisa ditebak. Siang hari terik, sore hari hujan. Ketika panas terik mereda dan hujan tidak turun, badan yang tadi capai mengelilingi Candi Prambanan kembali segar karena membayangkan destinasi selanjutnya. Tebing Breksi.
Sebelum keluar dari kawasan Candi Prambanan, kami sempatkan melihat rusa dan burung cenderawasih di taman wisata. Saat itu waktu menuju pukul lima sore. Saya buka hape dan Google maps untuk mengecek jarak ke Tebing Breksi. Hanya 18 menit. Tidak jauh. Apalagi dari catatan yang ada di berbagai web, lokasi Tebing Breksi ditulis berada di sebelah selatan Candi Prambanan dan berdekatan dengan Candi Ijo dan Kompleks Ratu Boko.
Saya yang pernah ke Ratu Boko langsung berpikir lokasi ini mudah dijangkau. Kami pasti bisa tiba di Tebing Breksi sebelum matahari terbenam. Kami memang menargetkan tiba di sana sebelum matahari terbenam karena melihat berbagai foto di Instagram dan Google yang menunjukkan pemandangan di Tebing Breksi sangat bagus saat senja.
Karena tadi saya membawa motor dari Yogyakarta ke Candi Prambanan, adik sepupu suami saya pun mengambil alih motor kali ini. Saya menjadi pemandu arah dengan mengandalkan Google Maps. Sebelum jalan, kami melihat di Google Maps kalau arah yang ditunjukkan itu melingkar membentuk huruf u dan membaca ada jalan lain yang lebih dekat. Kami pun memutuskan melewati jalan lain agar lebih cepat tiba di sana.
Kami keluar dari kawasan Candi Prambanan melalui pintu keluar parkir motor, lalu berbelok kiri, sedangkan jalan melingkar yang ditunjukkan peta berbelok ke kanan. Karena saya mengingat jalan-jalan di Yogyakarta terhubung antara satu dengan yang lain, kami pun berangkat dengan yakin. Di lampu merah kedua, kami harusnya belok kanan karena suara pemandu dari Google Maps sudah mengingatkan. Namun, kami tidak mungkin belok kanan karena lampu hijau sudah ditujukan untuk pengendara yang lurus. Kalau belok ke kanan, pengendara harus menunggu lampu hijau berikutnya. Sementara itu, motor kami sudah jalan mengikuti lampu hijau pertama.
Karena telanjur, saya pun mengecek peta dan memastikan bahwa petunjuk ke Tebing Breksi masih terhubung. Benar adanya. Jalan yang akan ditempuh ini mengarahkan kami ke Tebing Breksi. Kami memasuki jalan yang lebih kecil, tapi sangat nyaman. Hamparan sawah terbentang di kiri dan di kanan di antara rumah penduduk, toko, dan warung makanan. Semakin kami berkendara, jalan-jalan mulai mendaki dan kami menaiki jalan yang mulai berbelok. Di belakang rumah penduduk hanya ada bukit-bukit, kami terus menaiki jalan tersebut. Jalan yang saya lalui ini mirip dengan perjalanan ke Pantai Air Manis di Kota Padang.
Matahari sudah mulai turun. Udara mulai terasa dingin dan cahaya sudah mulai meredup. Berada di lokasi ini membawa saya ke suasana di kampung halaman. Beberapa orang berjalan dengan santai menuju rumah mereka. Sebagian lagi sudah berada di depan rumah, menunggu hari kelam. Mereka duduk bersama, mengobrol, dan anak-anak berdiri di teras seperti baru selesai mandi sore. Mirip sekali dengan suasana di kampung. Saya merasa senang bisa menyaksikan kehidupan penduduk asli—yang jauh berbeda dengan hiruk-pikuk di pusat Kota Yogyakarta.

Semakin motor kami mendaki, perasaan senang saya mulai berkurang. Kami menempuh jalan yang semakin kecil, yang kira-kira hanya bisa dilewati oleh satu mobil. Jalan ini bukan jalan aspal. Hanya jalan semen yang kadang-kadang ada rumput, kadang-kadang tanah, dan kadang-kadang ada sebagian yang rusak. Di kiri jalan mulai masuk daerah rimbunan pohon. Di kanan jalan kadang ada lahan kosong, lalu rumah penduduk, lalu kebun. Semakin ke ujung hanya rimbunan pohon di kiri dan di kanan jalan.
Hati saya mulai ciut. Lokasi memang sudah dekat, tetapi tidak ada tanda-tanda kawasan wisata Tebing Breksi. Setelah menemukan simpang empat, Google Maps menunjukkan kami arah ke kanan, tapi adik sepupu suami saya telanjur belok kiri. Lalu, kami berhenti dan saya turun menanyakan arah ke Tebing Breksi kepada seorang ibu yang sedang berjalan bersama anaknya.
Dia menanyakan kami datang dari arah mana dengan menggunakan arah mata angin: utara, selatan, timur, dan barat. Saya menjawab dengan menggunakan sisi badan: kiri dan kanan, serta dibantu dengan tangan yang menunjuk arah kedatangan. “Di persimpangan, nanti lurus saja, Mbak,” ujarnya. Kami berterima kasih, lalu melanjutkan perjalanan.
Dalam pandangan saya, ibu ini menunjukkan jalan lurus ke atas dari arah kami datang tadi sehingga di simpang empat, kami belok kiri. Baru menanjak beberapa meter, seorang bapak dengan motor tergesa-gesa mengejar kami dan menanyakan hendak ke mana. Setelah kami jelaskan, beliau pun meminta kami turun agar di simpang empat tadi, kami belok ke kiri. Artinya, kami harus jalan lurus dari arah kami bertanya kepada ibu tadi, bukan lurus dari arah kami datang. Ketika saya bertanya lebih lanjut, apakah bisa melewati jalan yang telanjur kami lewati ini, dia tersenyum sembari mengatakan, “Ini jalan buntu ke arah hutan.”
Karena hari sudah semakin gelap, kami turun, belok kiri mengikuti petunjuk arah Si Bapak. Sampai kami menghilang di ujung jalan, saya melihat ke arah Si Bapak yang seperti memastikan kami melewati jalan yang benar. Pada saat itulah saya mulai bergidik. Kalau Bapak tadi tidak mengejar kami, ke hutan mana kami melangkah? Meskipun bisa balik lagi ke bawah, hari sudah magrib. Di musala atau masjid terdekat sudah terdengar suara orang mengaji. Saya bergidik.
Setelah kami lanjut dan menemukan persimpangan, saya pun berteriak lega karena bus-bus besar lewat di hadapan kami. Kami pun kembali menemukan jalan aspal yang lebar. Sungguh, hati yang sudah diliputi kecemasan ini menjadi tenang. Setelah berada di jalan yang tepat, saya pun menghela nafas. Pelajaran bagi kami, jika berada di negeri orang, percayalah petunjuk yang tercantum di Google Maps. Jangan sekali-kali nekat mencari jalan alternatif, apalagi hari sudah malam. Kami pun menertawakan kenekatan diri sendiri.
Saya kembali menikmati perjalanan. Saya lihat ke belakang, rumah-rumah terhampar dari arah kota. Ya, kami berada di puncak bukit yang bisa melihat lautan lampu dari rumah-rumah penduduk. Persis seperti pemandangan di Sitinjau Lauik, Kota Padang. Setelah menyadari kalau tujuan wisata ini berada di puncak bukit, saya kembali bergidik. Kami benar-benar nekat ke sini naik motor tanpa pengalaman. Apalagi, motor kami bukan motor baru yang tangguh.
Agar kami bisa menyaksikan senja di Tebing Breksi, kami pun berkendara lebih cepat dan mulai menutup Google Maps. Kami bersyukur ada yang lebih valid dari Google Maps. Penduduk lokal yang sangat ramah dan peduli dengan tamu yang berkunjung. Keramahan penduduk Yogyakarta tidak hanya saya temukan di lokasi ini. Sejak di Kota Yogyakarta, saat saya berada di antara kerumunan wisatawan, mereka dengan ramah—betul-betul ingin bertanya—kami hendak ke mana dan mau apa. Orang Yogyakarta tidak sungkan-sungkan membantu kami secara sukarela. Mungkin karena inilah kota ini selalu dikunjungi berkali-kali oleh wisatawan lokal dari berbagai daerah. Di Yogyakarta saya menemukan realitas dari lirik lagu yang berjudul Katanya yang dinyanyikan artis cilik, Trio Kwek-kwek, saat saya masih kecil.
Indonesia tercinta, orangnya ramah-ramah
Gemah ripah loh ji nawi

Setiba di Tebing Breksi, saya menemukan negeri di atas langit. Ada tebing yang tingginya sekitar 30 meter yang dipahat membentuk relief dan cerita pewayangan. Di bagian bawah ada panggung terbuka yang melingkar. Ada konser musik di sana. Orang-orang yang sudah datang lebih dulu, duduk di sana mendengarkan musik sambil menikmati aneka cemilan. Di sisi atas yang lebih tinggi, terdapat pondok-pondok makan dengan lampu yang membuat suasana semakin syahdu. Di sisi paling ujung pondok itu ada masjid dengan ruang terbuka. Sepanjang mata memandang, lingkungannya sangat bersih dan tidak ada sampah yang berserakan.
Tebing Breksi ini merupakan area tambang batu kapur yang terbentuk dari abu yang dilontarkan Gunung Api Nglanggeran saat terjadi erupsi berpuluh-puluh tahun lalu. Berkubik-kubik abu ini mengendap dan mengeras menjadi batuan. Penambangan di kawasan ini dihentikan karena ditemukan jenis batuan tufan yang langka. Pada tahun 2015 Tebing Breksi pun ditetapkan sebagai salah satu Geoheritage Yogyakarta dan kini termasuk kawasan wisata paling populer di Yogyakarta.
Ketika saya menginjakkan kaki di kawasan ini, saya pun melewati jembatan kecil yang diukir agar bisa naik ke tebing yang lebih tinggi. Di sisi kanan tebing ada danau buatan dengan pinggiran tempat duduk berjenjang. Wisatawan bisa duduk di sini sembari memandang ke arah kota. Namun, saya memilih segera merapat ke tebing yang sudah diukir tadi. Ada pencahayaan khusus sehingga pengunjung bisa berfoto dengan hasil yang sangat cantik.
Di sisi tebing ada tangga menuju puncak. Di puncak tebing ini ada banyak spot untuk berfoto. Ada spot yang didesain dengan latar sepeda ontel, latar replika kupu-kupu besar, latar kursi teras, latar kursi ayunan rotan, dan banyak lagi. Kita bebas memilih tempat berfoto. Di belakang latar tersebut, terhampar lautan rumah penduduk di pusat kota—yang malam hari menjadi lautan lampu. Di tiap-tiap spot ada petugas yang duduk santai dan siap membantu pengunjung untuk berfoto. Setelah selesai, kita bisa memasukkan sejumlah uang ke kaleng yang digantung di sebelah kursi petugas. Kita bebas memberi berapa pun karena ada tulisan sukarela.
Setelah puas berfoto dan memandang kota dari atas tebing, kami membeli cemilan kekinian: babycrabs dan jajanan ala Korea, tteokbokki. Meskipun bukan makanan khas Yogyakarta, kami tetap menikmati suasana sambil duduk di pinggir danau buatan tadi. Merasakan angin malam yang sangat dingin sembari mendengar suara musik dari bawah tebing, serta melihat lautan lampu dan langit malam yang terbentang luas, membuat saya kagum dengan tempat wisata ini. Sangat apik. Tebing Breksi yang rapi dan bersih menyajikan pemandangan yang sangat bagus.
Rasa cemas dan tindakan nekat sebelum ke sini terbayarkan sudah. Kalau ada kesempatan lagi, saya masih ingin berkunjung ke Tebing Breksi. Agak sore agar bisa melihat pemandangan dari terang ke malam. Tentunya tidak dengan motor. Sebenarnya, kita bisa mengendarai mobil pribadi atau menaiki angkutan Damri yang disediakan BUMN atau jeep yang disediakan pihak swasta. Jika teman-teman ingin ke sana, naiklah dari lokasi Candi Prambanan.
Discussion about this post