Oleh: Rizky Amelya Furqan
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
“You don’t have to burn books to destroy a culture. Just get people to stop reading them”
(Kamu tidak harus membakar buku untuk menghancurkam budaya. Cukup membuat orang untuk berhenti membacanya)-Ray Bradbury (American Author)
Kehidupan masyarakat yang dimulai dari ranah tradisional memunculkan berbagai jenis kebudayaan dan tradisi pada setiap daerah. Kebudayaan dan tradisi ini dahulunya dijunjung tinggi oleh seluruh lapisan masyarakat dan dilaksanakan serta dijaga keberlangsungannya. Kebudayaan dan tradisi yang ada pada era tradisional umumnya selalu berkaitan dengan hal magis sehingga tidak dapat diterima oleh logika. Hal ini dipengaruhi oleh kepercayaan masyarakat pada saat itu yang menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Namun, perkembangan zaman dan teknologi mempengaruhi pola pikir masyarakat sehingga banyak kebudayaan yang mulai diragukan keberadaanya atau bahkan beranjak dilupakan.
Proses perkembangan zaman juga mempengaruhi kehidupan saat ini yang membuat masyarakat kembali melirik kebudayaan yang pernah hidup di sekitar mereka, era postmodern. Pada era ini masyarakat mulai disadarkan dengan kebudayaan merupakan bagian dari mereka dan tidak bisa dilupakan begitu saja walaupun kebudayaan tersebut tidak bisa diterima secara logika seutuhnya (Furqan, 2018). Namun, hal tersebut yang membuat Indonesia kaya dengan kebudayaan dan dilirik oleh banyak pihak. Bahkan, budaya dan tradisi yang dimiliki digunakan sebagai konten untuk mem-branding sebuah tempat wisata. Hal ini juga menjadi bagian dari program pemerintah dalam mensukseskan pembangunan sektor pariwisata yang mendukung Peluang Baru dan Pengembangan Berkelanjutan (SDGs).
Pengenalan budaya tidak hanya berbasis pariwisata, tetapi juga menjadi fenomena yang menarik untuk diangkat dalam sebuah karya sastra karena pada hakikatnya sastra bukan berangkat dari ruang kosong. Sastra berangkat dari fenomena yang ada dalam masyarakat (Teeuw, 1986). Hal ini sudah dilakukan oleh banyak penulis Indonesia sebelum tahun 2000-an, misalnya novel-novel pada zaman Balai Pustaka dan Pujangga Baru atau 60-an yang berasal dari Minangkabau. Novel-novel tersebut selalu mengangkat hal yang berkaitan dengan adat-istiadat, terutama yang berkaitan dengan perkawinan. Nove;l-novel tersebut di antaranya Siti Nurbaya atau Salah Asuhan yang mengangkat tentang adat yang berkaitan dengan perkawinan, sekaligus pada dua novel ini juga membahas tentang merantau yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau. Selain itu, juga ada Novel Tenggelamnya Kapal van Der Wijk yang mengangkat tentang kentalnya adat masyarakat Minangkabau terkait suku yang mereka miliki. Begitu juga dengan novel-novel yang berasal dari Jawa mengangkat bagaimana kehidupan sosial masyarakatnya, misalnya novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi yang menggambarkan bagaimana kehidupan masyarakat dalam sistem kerajaan atau kepercayaan masyarakat dalam menentukan hari baik untuk melaksanakan acara tertentu. Pada masa-masa ini masyarakat masih sangat mempercayai budaya dan melaksanakan adat yang mereka punya.
Hal yang berbeda terjadi pada tahun 2000-an ketika masyarakat mulai dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang semakin meningkat. Perkembangan teknologi ini menyebabkan cross culture (Wardani, 2018) sehingga karya sastra yang hadir pada tahun 2000-an seringkali mengangkat fenomena tentang gender, agama, peristiwa reformasi/politik, dan lain-lain. Dengan demikian, kehadiran budaya dan tradisi yang ada di masyarakat yang mulai diragukan eksistensinya semakin memudar karena kontribusi berbagai pihak dalam pelestarian budaya tidak maksimal. Namun, seperti yang sudah disampaikan sebelumnya pada era-postmodern masyarakat mulai menyadari pentingnya budaya yang mereka miliki dan mulai kembali menyuarakan dalam sebuah karya sastra. Penyuaraan tradisi dan budaya melalui karya sastra tentu saja dilakukan dengan proses simulacrum.
Penggambaran tradisi dan budaya ke dalam karya sastra merupakan proses representasi penulis dalam memahami tradisi dan budaya. Proses peniruan dan interpretasi ini menurut Jean Baudrilliard seorang tokoh postmodernisme menyebutkan bahwa hal tersebut merupakan proses simulacra atau simulacrum. Dalam bukunya, Simulacra and Simulations, ia menggunakan konsep tersebut untuk menyatakan bahwa dunia nyata sebenarnya dibangun dari simulacra. Setiap realitas adalah salinan dari salinan lainnya. Setiap gambar adalah reproduksi. Tidak ada asal dalam budaya, tetapi imitasi dan simulasi (Farida & Dahlan, 2010). Begitu juga dengan Endraswara dalam bukunya yang berjudul Metodologi Penelitian Antropologi Sastra menjelaskan bahwa Simulacrum juga dapat dilakukan dengan meniru realitas budaya di sekitarnya (Endraswara, 2013).
Beberapa karya sastra di atas tahun 2010 yang mengangkat isu budaya ditemukan pada karya sastra yang berasal dari Sulawesi, di antaranya karya Khrisna Pabichara yang berjudul Natisha Persembahan Terakhir yang terbit pada tahun 2016. Kemudian, Novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang yang terbit pada tahun 2015, dan Di Bawah Bayang-Bayang Ode karya Sumiman Udu yang terbit pada tahun 2015. Tiga novel ini menceritakan tentang budaya yang dipercayai oleh masyarakat pada beberapa daerah yang ada di Sulawesi.
Novel Natisha Persembahan Terakhir membahas tentang kepercayaan masyarakat Jeneponto, salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan terkait Parakang. Parakang adalah manusia yang memiliki ilmu hitam dan menghisap darah orang yang akan meninggal sehingga ia bisa berubah wujud menjadi banyak hal, di antaranya bisa menjadi pohon pisang, keranjang, dll. Pabichara mencoba menyampaikan dalam tulisannya bahwa dunia ini tetap saja terdiri dari dua hal yang berpasang-pasangan. Begitu juga dengan hal real yang identik dengan era modern dan magis yang identik dengan era tradisional. Keduanya menjadi dua sisi yang tidak bisa dipisahkan begitu saja.
Berbeda dengan Novel Natisha Persembahan Terakhir, novel Puya ke Puya menceritakan tradisi yang ada di masyarakat Toraja tentang pelaksanaan upacara Rambu Solo. Upacara Rambu Solo diadakan untuk orang yang sudah meninggal agar bisa berjalan ke surga. Jika upacara ini belum diadakan, orang tersebut dianggap belum meninggal dan masih sakit sehingga tetap harus diberikan makanan. Selanjutnya, bayi yang sudah meninggal dianggap masih membutuhkan air susu sehingga bayi tersebut dimakamkan di dalam pohon tara dengan anggapan bahwa pohon tara yang besar dapat memberikan air susu pada si bayi.
Pada novel ini, Faisal Oddang tidak hanya sekadar melakukan peniruan, tetapi juga merupakan bagian dari kritik terhadap budaya yang digambarkan melalui tokoh yang harus menikah, tetapi anggota keluarganya ada yang meninggal sehingga dia harus melaksanakan upacara Rambu Solo terlebih dahulu. Pada akhirnya, dia menjual mayat bayi di pohon tara untuk melaksanakan upacara Rambu Solo. Kritik yang dimunculkan Faisal Oddang adalah kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat akhirnya memberatkan mereka sendiri dan pada akhirnya untuk memenuhi hal tersebut terjadi hal yang tidak seharusnya dilakukan. Namun, Oddang dalam Novel Puya ke Puya juga menggambarkan bahwa budaya adalah hal krusial yang tidak bisa dilepaskan begitu saja.
Hal yang sama juga terjadi pada Novel Di Bawah Bayang-Bayang Ode yang menceritakan tentang keagungan gelar kebangsawanan “Ode” bagi masyarakat Buton, Sulawesi Tenggara. Tokoh Imam digambarkan mulai tidak mengikuti berbagai tradisi yang ada di masyarakatnya, bahkan ia ingin menikahi perempuan yang bergelar Ode. Namun, karena adat yang ada, dia tidak bisa menikahi Amelia dan mereka malah melakukan hubungan suami istri sebelum Lia dinikahkan dengan sepupunya. Hal ini juga merupakan kritik yang dilakukan Udu terhadap adat yang saklek dan tidak bisa dikompromikan sehingga terjadi perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan.
Proses simulacrum yang dilakukan oleh penulis tidak semata-mata ditiru begitu saja, tetapi tetap saja ada proses inkubasi sehingga dalam sebuah karya sastra dapat muncul kritik atau malah sikap bangga terhadap budaya yang dimiliki oleh masyarakat. Pada hakikatnya, peniruan budaya yang ada dalam masyarakat yang digambarkan pada sebuah karya sastra merupakan bagian dari proses menjaga budaya tersebut agar tetap bisa dibaca oleh generasi selanjutnya sehingga budaya yang dimiliki tidak hilang begitu saja.
Discussion about this post