Salman Herbowo
(Kolumnis Rubrik Renyah Scientia.id)
Saya terkesima mendengar pembicaraan di sebuah lapau. Tanpa disadari pembicaraan itu menahan saya duduk berlama-lama di lapau itu. Kopi mulanya hangat mulai dingin, lontong pun hanya tinggal kuah, tapi saya tetap duduk di sana.
Topik pembicaraannya biasa saja, seperti kebiasaan obrolan di lapau. Isu-isu teraktual, pastinya seputar informasi politik, ekonomi, dan kriminal. Setidaknya, itu yang saya dengar selama menyantap sarapan pagi kala itu. Namun, ada pembicaraan yang mampu menghentikan suapan lontong. Bukan topiknya, tapi cara penyampaian yang mengesankan. Ekspresi itu sulit untuk dilupakan.
“Sebenarnya siapa korban lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar?” Begitu tanya seorang pengunjung lapau. Seorang lelaki paruh baya yang duduk di sudut meja. Jika menoleh ke depan, dia tepat berada di ujung meja tempat saya duduk.
“Tentu saja kita, rakyat berderai ini!” Sambil menepuk meja rekan yang duduk di sebelah kanan menjawab dengan nada tinggi pula. Bukannya saling emosi, justru memicu gelak tawa rekan lainnya.
“Coba pikirkan lagi. Apakah kita selama ini membeli kebutuhan pokok menggunakan dolar? Membeli sayur, beras, ikan, kentang, dan lainnya.” Sambung lelaki paruh baya tadi. Semua terdiam dan tak satu pun menyanggah. Saya pun tertegun memahami pertanyaan itu.
Selang berapa menit, seorang rekan lelaki paruh baya memperlihatkan headline berita koran pagi itu. Pada halaman depan tertulis judul berita “Rupiah Makin Melemah, Ini Dampak Buruk yang Harus Diatasi”. Hal itu membuat hening seketika.
Lelaki itu menjelaskan apa yang ia baca. Ternyata mengundang berbagai pertanyaan dari rekannya. Koran itu kembali diletakan di sudut meja, tepat di samping saya. Saking penasaran, saya pun perlahan mengambil dan membaca berita tersebut.
Lelaki paruh baya tadi kembali menjelaskan tentang ketergantungan terhadap dolar. Di akhir penjelasan, ia menyampaikan tentang kemandirian bangsa. “Jika ingin jadi bangsa yang maju, maka mandiri.” Secara berulangkali ia sampaikan sebelum menutup penjelasan.
Bagi saya ini sungguh nasihat yang patut direnungkan. Kemandirian menjadi salah satu kunci menjadi bangsa besar. Begitu maksud dari penyampaiannya. Paling tidak, ia ingin menyampaikan dampak dari lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar. Hal itu disebabkan belum adanya kemandirian dari berbagai hal dan ini bukan persoalan mudah.
“Berapa semuanya? Dua buah goreng pisang, satu batang rokok kretek, dan segelas kopi.” Tanya lelaki paruh baya itu pada pemilik lapau. “Sepuluh ribu.” Jawab pemilik lapau. Jawaban itu membuat lelaki itu terkejut.
“Samuanya sudah naik, harga minyak naik, rokok naik, terpaksa dinaikan pula sedikit harga dagangan kita.” Jawab pemilik lapau. Jawaban itu ternyata mengundak gelak tawa semua pengunjung lapau, termasuk lelaki paruh baya itu.
“Sudah kita, ternyata sampai ke sini juga dampak kuatnya dolar ini.” Ujar lelaki paruh baya itu sambil cengengesan mengeluarkan pecahan sepuluh ribuan dari saku celana. Ia pun berpamitan ke semua rekan sebelum meninggalkan lapau.
Sungguh momen berharga dari sebuah pembicaraan menarik. Tentu saja harus direnungkan. Sudah seberapa mandiri kita saat ini?
Discussion about this post