Keping Cinta
Cerpen: Sakura Fitri
Aku menangisi sosok kaku yang terbujur di tengah rumah. Sosok yang tak ada pertalian darah sedikitpun denganku. Ia memberikanku cinta yang bersumber pada sekeping hati. Sekeping hati yang selalu dibisikkan cinta oleh Sang Illahi.
***
Rumah itu sederhana, terdapat dua kamar di dalamnya. Cat dinding kuning yang selalu membawa keceriaanku dengannya, menemani sepi terbelenggu cuaca atau penebas rajuk pertengkaran. Sofa ini juga, biasa kami duduki ketika pukul delapan malam menjelang. Memutar channel pesawat televisi favorit kami. Namun, keceriaan itu telah hilang dimakan senyap. Menyisakan sedih yang mengundahgulakan perasaan. Aku yang terlambat dan ia yang menyimpan rahasia. Aku telah membuatnya pergi selama-lamanya dari dunia menyenangkan kami.
Tubuhnya masih terbujur kaku tak bernyawa. Begitu banyak yang menangisinya. Ada Miss Stevany yang selalu diantarkan kue buatannya, Mbak Tina yang senang berkunjung dan bercerita dengannya, Kunyil-anak tetangga- yang senang sekali bermain dengan Phoni si hamster perliharaannya dan banyak lagi orang-orang yang tak ku kenali. Dia bukan golongan para pejabat yang naik nama karena tahta, atau salah seorang pengurus LSM ternama yang mengabdi pada masyarakat. Ia hanya seorang perempuan yang bekerja sebagai karyawan di perusahaan swasta yang hanya berjarak satu kilo dari rumah. Hampir semua orang mencintainya. You want know why? Karena berjalan kaki adalah salah satu hobinya sambil menyapa semua orang yang dijumpainya. Semua orang mengenalnya.
Langit sudah beranjak petang. Jenazah orang yang kucintai itu telah dikebumikan lepas sholat ashar. Tetangga yang tersisa masih menemaniku menghibur hati. Masih cukup ramai, tapi hatiku begitu lengang. Aku duduk di sofa yang biasa kami duduki bersama, merasakan kembali alunan syair yang menelusup lembut dari bibirnya. Syair yang selalu menghibur disaat galau. Tangannya yang membelai lembut legam rambutku dan sesekali nasehat ataupun motivasi keluar dari mulutnya ketika aku menceritakan tiap pertengkaran dengan teman di sekolah.
Senja mulai pamit dan malam menggantikan kedudukan. Tetangga-tetangga sudah mulai undur diri mengemasi keluarganya yang ditinggal sejak beberapa jam lalu. Tinggallah aku sendiri bersama kenangan-kenangan yang direkam oleh ruangan ini. Rekaman kenangan kemarin, dua tahun lalu bahkan sebelas tahun silam. Ya, sebelas tahun yang lalu, saat pertama kali aku menginjakkan kaki kotorku di ruangan ini. Aku berdiri dengan penampilan kumal dan baju yang robek sana sini. Tubuhku lemah. Energiku habis setelah berhari-hari menangis ditinggal oleh ibuku. Ibuku berjanji akan menjemputku, namun setelah seharian aku menunggu, barulah aku ingat bahwa ibu tak pernah benar-benar ingin kehadiranku. Aku dibuang, barangkali itulah istilah tepatnya.
Menjadi gelandangan semasa itu cukup mencuri iba para penghuni kota meskipun tak ada yang mempedulikanku. Aku berjalan menyusuri jalan raya dengan perut keroncongan beberapa hari tidak bertemu makanan. Hanya minum dari gelas air mineral yang bersisa di onggokan sampah, atau segigit dua gigit sisa roti di dekatnya. Kadang aku harus berlari sekuat tenaga saat Satpol PP mengejarku tanpa ampun dan aku berhasil sembunyi di rerimbunan daun atau di dalam tong sampah raksasa.
Pada suatu malam, aku sudah teramat lelah. Aku pasrah jika memang aku mati kelaparan di taman kota nan megah ini. Tiba-tiba seorang perempuan yang masih muda dan cantik menghampiriku. Mulanya aku takut, kasus penculikan anak sedang marak-maraknya. Tapi tatapan teduhnya membuatku tunduk. Ia mengeluarkan roti berukuran jumbo dan menyuapkannya padaku. Aku melahapnya, dengan sekejap roti itu tak bersisa.
Perempuan cantik itu membujukku untuk pergi bersamanya, meyakinkan aku bahwa dirinya perempuan baik-baik, menawarkan janji kehidupan yang layak. Aku menurut. Ia menggenggam tanganku dan menaikkanku ke dalam mobil silvernya nan anggun. Lalu aku terlelap.
Azan subuh yang menggetarkan jiwa. Sayup kudengar suaranya membangunkanku untuk segera menunaikan ibadah subuh. Sejujurnya, aku tidak pernah melakukan ritual ini. Sebab ibu tak pernah mengejarkanku tentang agama. Kembali lagi, tatapannya membuatku takluk. Aku menurut. Ia mengenakanku mukena cantik berwarna merah muda seusai aku berwudhu’. Lalu mengajakku berjalan diantara hembusan angin subuh yang membuat diri ini ingin meringkuk saja di balik selimut. Genggaman tangannya kembali menghangatkanku. Lalu, subuh itu adalah awal kehidupanku bersamanya.
Dirumah sederhana ini memang begitu banyak kenangan. Salah satunya ketika aku cukup lama tinggal bersamanya, mbak Tina yang sering berkunjung itu bertanya tentang aku. Tanpa sengaja aku menguping pembicaraan. Ada yang menyelinap di relung hatiku ketika perempuan yang kupanggil Ayuda itu meneguhkan kedudukanku di mata tetangga.
“Dia sudah kuangkat menjadi anakku.” jawabnya
Malam itu ketika lampu baca masih menyala di ruang kerjanya, aku menghampirinya dan memeluknya erat. Aku tak tahu angin apa yang membisikanku melakukan itu. Jujur saja, aku tak pernah melakukannya pada siapapun. Dan ia juga memelukku hangat.
Seragam merah putih yang masih berbau baru itu ku kenakan. Aku sudah didaftarkan sekolah. Selain seragam, aku dibelikan buku tulis, pensil lucu, tempat pensil cantik dan tas. Aku paling senang dengan tempat pensilnya. Gambar kartun tiga orang perempuan pahlawan bermata besar, bertubuh kecil. Hei, bahkan badannya lebih kecil dari kepalanya. Rambutnya dikepang dan teman-temanku bilang itu adalah Power Pop Girl, film kartun favorite kami. Aku benar-benar bahagia, dan jangan tanyakan lagi tentang ibu yang membuangku. Aku sudah melupakannya.
Beranjak dari warna seragam yang berubah, dari seragam merah putih menjadi putih biru, aku menjadi anak yang dibanggakan. Kau tahu, prestasi yang menjadi gengsi para orang tua itu berhasil kurebut. Aku menjadi bintang kelas, siswa kesayangan, diberangkatkan pergi lomba-lomba diberbagai sekolah hingga ke luar kota, dan menjadi juara umum. Prestasi yang luar biasa bukan? Bahkan prestasi terakhir sewaktu aku menyandang juara olimpiade matematika tingkat SMP. Mengagumkan. Kau pasti iri mendengarnya.
Tahun berganti, aku sudah menjadi remaja tanggung. Tahun itu adalah tahun berbunga-bunga. Ada perasaan yang membuncah. Ada rindu yang membeleggu. Tidur tidak nyenyak, makanpun tak enak. Jika rindu terbayar, dunia seperti milik berdua dan yang lain cuma ngontrak saja. Perasaan cinta. Kau pasti mengenalnya bukan?
Aku jatuh cinta dengan senior di sekolah. Aku mengagumi kepintarannya dalam berdiskusi, mengagumi kelihaiannya bermain basket, mengagumi setiap puisinya yang dimuat di mading sekolah. Aku mengaguminya dalam diam. Perasan itu yang diam-diam juga menjerat segala aktivitasku. Nilai raporku turun, prestasiku lepas dan hidupku seolah berantakan. Aku hanya dibuai angan-angan kosong dan menikmatinya.
Malam di sweet seventeen-ku, tidak ada perayaan. Pertengkaran hebat dengan AYunda malam itu menggoyangkan topanganku. Ini adalah pertengkaran pertama setelah Yunda membawakanku kehidupan. Ia tidak suka dengan perasaanku terhadap seniorku. Lelaki itu semua sama saja, seperti itulah ucapan menyakitkannya. Aku menjelaskan bahwa tidak semua orang sama. Kepala boleh sama hitam, tapi pemikiran dan akhlak tak akan pernah sama. Agaknya bekas luka di hati Yunda belum mengering. Luka perasaan yang digores mantan suaminya. Aku berkali-kali membela lelaki pujaannku. Pertengkaran menjadi sengit. Yunda dengan kesetanan mengucapkan kalimat menyakitkan itu.
“Kamu harus ingat darimana asalmu!! Kau harus berkaca diri!!!” bentak Yunda. Aku terdiam. Air mataku meleleh. Aku berlari menerobos pintu keluar rumah.
Perasaan berkecamuk. Langkah kaki oleng. Pikiran melayang melalang buana. Aku menapaki jejak hidup diantara ribuan jejak penghuni bumi lainnya. Aku menyadari bahwa sejauh-jauh terbang bangau, akan kembali ke kubangan jua. Aku sudah mengecap bagaimana hidup senang, dan agaknya aku juga harus mencicipi bagaimana susahnya melanjutkan kehidupan. Berhari-hari dinelantarkan nasib, aku kalah berjuang.
Sinar matahari menerpa mukaku. Perlahan kubuka mataku dan kupandangi sekitar. Ruangan ini begitu kukenali. Ruang yang selalu menjadi saksi saat Yunda membaca kisah sebelum tidur. Bukan sekedar kisah, tapi kisah-kisah luar biasa sosok yang menjadi idolaku. Kisah-kisah para sahabat yang ikut andil dalam memperjuangkan keyakinan kami. Rasulullah, Abu Bakar, Umar, Ustman, dan para sahabat lainnya dengan segala perjuangannya yang sangat memukau.
Kulihat Yunda yang sedang duduk terlelap di sisi kananku. Aku membelai rambutnya yang masih hitam legam. Ia terbangun. Senyumnya. Wajah lelahnya. Aku tersenyum pahit. Aku tak mampu berucap ketika Yunda meminta maaf sejadi-jadinya sambil memelukku erat. Ia amat bahagia saat menemukanku. Perncariannya yang berhari-hari itu membuahkan hasil.
***
Tujuh hari yang lalu, selang infus yang menancap di pembuluh darah Yunda masih setia menyalurkan cairan energi. Tumor otak itu sudah stadium lanjut. Aku terkejut dengan penyakit Yunda yang ia tutupi rapat-rapat.
Beberapa hari koma, akhirnya Yunda membawa kabar baik. Yunda kembali bercerita, membelai wajahku, tersenyum, lalu tertawa dengan guyonanku. Yunda seperti sudah akan sembuh.
Jelang sebentar, nafas Yunda mulai sesak. Sesekali ia memegang kepalanya. Matanya menutup dan membuka. Memejam menahan rasa sakit. Aku panik. Tanganku gemetar mencari-cari tombol untuk panggilan darurat kepada perawat. Waktu terasa begitu cepat. Aku tak menemukan harapan ketika nafasnya mulai tersengal satu-satu. Dengan berat hati aku sadari bahwa ini sudah saatnya. Aku bisikkan kalimat tauhid lalu ia mengikutiku. Ia menghembuskan nafas terakhirnya. Yunda sudah berangkat menemui Rabbnya. Dan aku benar-benar kehilangan.
Malam ini semakin larut. Kenangan-kenangan itu menari-nari menemani sepiku. Dan juga pembicaraan kami.
“Yunda”
“Iya”
“Kenapa Yunda menyelamatkan hidupku dulu?”
“Karena Allah yang membisikkan hati ini”
“Apa nanti aku bisa sepertimu?”
“Tentu. Kau bahkan bisa melebihiku”
“Yunda”
“Iya”
“Aku mencintaimu serupa aku mencintai syurga”
Biodata Penulis
Sakura Fitri. Sakura Fitri adalah nama pena dari Fitri Afriani yang dilahirkan di Bengkulu pada tanggal 9 April 1992. Saat ini berprofesi sebagai ibu rumah tangga sambil membuka usaha rajut. Tulisan terakhirnya terangkum dalam antologi “Idul Fitri untuk Ibu” (2021). Penulis dapat dihubungi via email afrianifitri92@gmail.com atau fb Fitri Afriani.
Sastra dan Kemanusiaan
Oleh: Azwar Sutan Malaka
(Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi, UPN Veteran Jakarta
dan Pengurus Dewan Penasihat Pengurus FLP Wilayah Sumatera Barat.)
Sastra dan kemanusiaan tidak dapat dipisahkan. Hal itu karena pada mulanya karya sastra itu sendiri merupakan tiruan dari kejadian-kejadian dalam kehidupan manusia. Adapun kemudian muncul jenis lain seperti fantasi-fantasi dalam pikiran pengarangnya, setidaknya hal itupun (fantasi) tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia.
Ratna dalam bukunya berjudul Paradigma Sosiologi Sastra (2011) menyebut fakta kemanusiaan untuk menjelaskan bagaimana karya sastra lekat dengan hal-hal yang dialami manusia. Ia mendefinisikan fakta kemanusiaan sebagai sesuatu yang mempunyai peranan besar dalam sejarah, dapat berupa fakta individual, fakta sosial atau fakta historis. Artinya karya sastra bisa saja memuat hal-hal yang bersifat sejarah, menceritakan kisah-kisah individu, menceritakan kejadian sosial dan budaya sebuah masyarakat.
Sementara itu Faruk dalam buku Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik Sampai Post Modernisasi (2005) mendefinisikan bahwa fakta kemanusiaan merupakan segala aktivitas atau perilaku manusia baik yang verbal maupun fisik. Fakta ini dapat berwujud aktivitas sosial tertentu maupun kreasi kultural seperti filsafat, seni rupa, seni musik, seni patung dan seni sastra.
Faruk menambahkan walaupun karya sastra memuat tentang revolusi sosial, politik, ekonomi, dan karya-karya kultural yang besar merupakan fakta sosial (historis) yang hanya mungkin diciptakan oleh subjek transindividual. Subjek transinvidual adalah subjek karya besar, sebab karya besar semacam itu merupakan aktivitas yang objek penciptaannya adalah alam semesta, umat manusia, dan kemanusiaan menjadi prinsip utama teori strukturalisme genetic, antara lain berupa aktivitas sosial tertentu, penciptaan karya sastra dan penciptaan kreasi cultural pada umumnya.
Selain itu Pujiharto dalam buku Pengantar Teori Fiksi (2012) mengutip pendapat Goldmann yang menguraikan bahwa fakta-fakta kemanusiaan dapat berwujud fakta individual, fakta sosial, atau historis. Fakta kemanusiaan pun mempunyai peranan besar dalam sejarah. Berdasarkan pendapat tersebut, fakta kemanusiaan dapat berupa fakta yang berwujud sosial merupakan fakta yang berkaitan dengan sejarah. Hal tersebut karena tidak hanya berkaitan dengan satu individu melainkan berkelompok.
Lebih jauh Pujiharto menyampaikan bahwa fakta kemanusiaan dalam teks sastra merupakan manifestasi pengalaman estetis dan manifestasi pengalaman kemanusiaan. Dalam tujuan utama tersebut dalam sebuah karya fiksi ialah memungkinkan pembaca membayangkan sekaligus memahami satu pengalaman kemanusiaan yang unik dan universal. Pendapat tersebut mengungkapkan bahwa karya fiksi memberikan peluang kepada pembaca untuk memahami realitas kemanusiaan.
Kembali pada tema Kreatika edisi ini, yaitu tentang sastra dan kemanusiaan, Cerpen “Keping Cinta” karya Sakura Fitri merupakan sebuah cerpen yang cocok untuk mewakili hubungan karya sastra dan kemanusiaan. Walaupun banyak orang berpendapat karya sastra adalah karya yang menghibur untuk mengisi waktu luang, namun karya sastra juga berisi pesan-pesan kemanusiaan. Artinya karya sastra tidak hanya menghibur saja, tetapi karya sastra juga bermanfaat untuk menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan dan bahkan menyampaikan pesan-pesan kemanusiaan.
Sakura Fitri dalam Cerpen “Keping Cinta” bercerita tentang seorang anak angkat (Tokoh Aku) yang sedang melepas kepergian ibu angkatnya yang dia panggil “Ayunda”. Pada dasarnya cerita ini hanya ingatan tokoh “Aku” tentang dia dan Ayundanya itu. Cerita terjadi di ruang tamu dimana tokoh tersebut melepas kepergian Ayunda untuk selama-lamanya.
Di ruangan itu, di waktu yang singkat itu, tokoh aku mengenang bagaimana ia bertemu dengan Ayundanya itu. Ia merupakan gelandangan yang dibuang oleh ibunya sendiri, kemudian menjalani kerasnya hidup di jalanan dan akhirnya pada ujung kepasrahannya ditemukan manusia berhati malaikat yang kemudian “memberi kehidupan baru” padanya.
Cerpen ini menarik karena selain membawa misi kemanusiaan tetapi juga diceritakan secara manusiawi. Walau Ayunda adalah bak malaikat di mata tokoh “Aku” tersebut, tetapi Ayunda tetap saja seorang manusia yang memiliki titik salah dan titik lemah yang mencirikan bahwa dia adalah manusia.
Sekian tahun bersama, Ketika tokoh “Aku” sudah berumur 17 tahun, sebagaimana remaja pada umumnya, dia jatuh cinta pada seorang laki-laki. Setelah menjalani masa-masa indah itu, Ayunda mengetahui hubungan tokoh “Aku” dengan lelaki itu. Ayunda marah bahkan sangat marah. Marahnya itu memiliki alasan yang kuat. Selain ia tidak ingin anak angkatnya salah jalan dalam bergaul, ternyata Ayunda memiliki sejarah kelam dengan mantan suaminya. Ayunda secara psikologis terbawa suasana itu sehingga menganggap semua laki-laki jahat. Inilah sisi “manusiawinya” cerpen ini, tidak membuat tokoh Ayunda sebagai hero yang tidak pernah salah sebagaimana malaikat.
Dari sisi cerita, cerpen karya Sakura Fitri ini sudah jadi. Ia sudah selesai sebagai sebuah cerita pendek. Akan tetapi ada beberapa hal yang menjadi catatan penting untuk cerpen ini. Pertama sebagai penulis yang sudah lama menulis seharusnya dalam cerpen Sakura Fitri ini tidak lagi ditemukan kesalahan tanda baca. Hal ini mungkin menurut Sebagian orang sepele, akan tetapi dalam dunia kepenulisan tentu saja kesalahan penempatan tanda baca, kesalahan ejaan dan lain sebagainya itu tidak biasa.
Kedua, Fitri mungkin bisa meningkatkan kualitas ceritanya dengan menghadirkan formula-formula berbeda dalam membuat puncak masalah cerita. Jadi, cerita yang disuguhkan tidak hanya sebuah kisah dalam kehidupan seseorang saja. Ke depan kita mungkin bisa membaca karya-karya Fitri yang memiliki pesan-pesan kemanusiaan, akan tetapi sebagai sebuah cerita fiksi dia juga memiliki konflik-konflik besar yang dikemas dengan menarik.
Semoga tetap semangat menulis Sakura Fitri, pembaca menunggu karya-karya besar selanjutnya.(*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post