Ayam dan Kambing
Cerpen: Fadli Hafizulhaq
“Ini, Nak, ayah belikan kau sepasang ayam, maka jagalah!”
Setidaknya itu yang dikatakan Pak Samidi pada anak sulungnya, Sidi, belasan tahun silam. Maka anaknya yang masih duduk di bangku SD itu bergembira ria bagai baru mendapat warisan harta dari bapaknya. Kemudian terjadilah serah terima sepasang ayam itu. Saat sepasang ayam itu sudah beralih tangan maka lepaslah sudah. Lepaslah sudah kekhawatiran Samidi terhadap anaknya. Dalam hati ia berucap: Nah, kalau gini mah si Buyung akan sibuk dengan ayamnya, tentu saja ia tidak akan pergi melanglang-buana yang tidak ada gunanya. Sungguh, Pak Samidi itu, sudah tersohor kecerdikan di seantero kampung. Tapi sebenarnya seberapa cerdikkah dia?
***
“Berilah anakmu ‘mainan’ agar ia tidak mencari permainannya sendiri!” kata Pak Samidi dengan bangga hati.
Sebenarnya dahulu bukan cuma ia saja yang melakukan hal seperti itu, hanya saja sekarang cukup jarang ada bapak yang mau memberikan hewan peliharaan pada anaknya—ditambah lagi sekarang memang sangat jarang sekali anak yang mau menggembalakan ternak, anak-anak sekarang maunya cuma yang enak-enak. Seiring bergulirnya waktu, lembaran demi lembaran hidup terus dibolak-balikan. Dari kala dahulu saat telepon genggam harganya masih selangit hingga sekarang sudah dijual kiloan, Pak Samidi selalu memegang ‘kepercayaan’-nya itu. “Berilah anakmu ‘mainan’ agar ia tidak mencari permainannya sendiri!” Maka berdasar itulah, ia kembali memberikan sepasang ayam pada anaknya, cuma sekarang bukan lagi si sulung Sidi yang ia beri ‘mainan’, melainkan si bungsu Sardi.
“Ini, Nak, ayah belikan kau sepasang ayam, maka jagalah!” tukas Pak Samidi mengulang kata-katanya dahulu dengan berwibawa.
“Ayam?”
“Ya, ayam”
“Tapi Sardi maunya sepeda”
“Ayam bisa menghasilkan sepeda”
“Apa telur ayam bisa menetaskan sepeda?”
“Tidak, tapi telur ayam bisa kau jual untuk membeli sepeda!”
Meski bersungut-sungut, Sardi menerima ‘warisan’ ayahnya itu dan menjaganya. Ia meminta abangnya Sidi untuk membangunkan sebuah kandang. Sidi menyanggupi, maka dalam beberapa hari saja selesailah kandang ayam itu.
Setelah kandang itu jadi, saban hari Sardi selalu berkutat dengan sepasang ayam itu. Pagi hari sekali, selesai salat subuh, ia akan menghambur ke kandang untuk mengecek aman atau tidaknya ayamnya dari intaian musang. Hingga petang menjelang, seperti memang tak ada kegiatan yang lebih penting dari itu, ia selalu mengamati gerak-gerak ayamnya, kesana-kemari. Ia tidak ingin suatu hal buruk pun terjadi pada ayam-ayamnya itu. Ketika ayamnya beranak jadi lebih lagi. Waktu-waktu Sardi habis untuk mengawasi kemana induk dan anak-anak ayam itu pergi. Maka tatkala ayam-ayamnya telah dewasa dan memenuhi kandang, Sardi bahagia tak terkira. Setiap hari ia memunguti telur ayam dan menjualnya.
Pada suatu ketika impian Sardi itu terwujud. Ia berhasil membeli sebuah sepeda dengan kerja kerasnya sendiri. Tapi malang, kecintaannya pada sepeda mengalahkan kecintaannya pada ayam dan kandang. Kemudian, entah kenapa, satu-persatu ayam Sardi mati hingga kandangnya jadi kosong melompong. Sardi sendiri kini sering menghilang. Sepeda membawanya terbang kian kemari. Melanglang-buana entah kemana.
***
“Ini, Nak, ayah belikan kau seekor kambing, maka jagalah!” tukas Pak Samidi masih dengan kewibaan yang seperti dahulu.
Entahlah, sebenarnya ia sudah kalang kabut memikirkan cara bagaimana mendidik anak bungsunya itu. Semenjak Sardi berhasil mendapatkan sepeda dua tahun yang lalu ia jadi jarang di rumah. Setiap hari selalu bepergian, ayam-ayamnya mati kurang perhatian. Ah, jangankan ayam, diri sendiri saja tidak terperhatikan. Tubuh Sardi jadi semakin kurus karena jarang makan. Kulitnya yang semula kuning kini sudah menghitam, sudah begitu kusam pula. Rambutnya masai tak pernah berminyak. Ah, risau sekali Pak Samidi memikirkan anaknya itu. Hendak ia mencari cara agar Sardi tidak lagi melanglang-buana lagi tapi memberikan ayam rasanya tidak mempan lagi. Sardi kini sudah SMP, memelihara ayam mungkin terlihat sepele. Maka itulah asal-muasal Pak Samidi mempunyai pikiran membelikan seekor kambing untuk anak bungsunya itu.
“Kambing?”
“Ya, kambing”
“Tapi Sardi maunya motor”
“Tapi kambing bisa menghasilkan motor”
“Memang ada kambing yang bisa dijual seharga motor, Yah?”
“Tidak, tapi kambing bisa kau ternakkan biar cukup membeli motor!”
Lagi-lagi, meski bersungut-sungut, Sardi pada akhirnya menerima ‘warisan’ ayahnya itu dan menjaganya. Ia meminta abangnya Sidi untuk merombak sebuah kandang. Kandang ayam dahulu yang kini sudahlah lapuk. Sidi menyanggupi, maka dalam beberapa hari saja selesailah kandang kambing yang disulap dari kandang ayam itu.
Setelah kandang itu selesai, saban hari kau bisa melihat Sardi selalu berkutat dengan kambingnya itu. Pagi hari sekali, selesai salat subuh, ia akan menghambur ke kandang untuk mengecek aman atau tidaknya kambingnya dari intaian maling. Dari pagi hingga petang, seperti memang tak ada kegiatan yang lebih penting dari itu, ia selalu menggembalakan kambingnya, kesana-kemari. Mencari padang rumput yang ia pikir bisa membuat kambingnya cepat gemuk. Dengan bantuan tali yang dikalungkan pada leher kambingnya ia menggiring kambingnya dari satu parak ke parak lain. Sengaja ia pilihkan tempat berumput bagus untuk kambingnya itu. Yang terbayang di benak Sardi hanyalah motor seperti yang ayahnya katakan itu. Sekuat tenaga ia berusaha menggembalakan kambingnya dengan sebaik-baiknya. Tapi nyatanya memelihara kambing tidak semudah perkiraannya. Kambing mempunyai banyak tingkah. Semakin hari ia semakin tersiksa, semakin merasa bahwa malah kambing yang menggembalakan dirinya.
***
Di suatu siang yang garang Sardi datang menghadap ayahnya, ada sebuah risau yang hendak ia utarakan. Rasanya sudah tidak tertahankan. Kala itu ayahnya baru saja pulang dari ladang, hendak rihat sebentar menjelang zuhur dan makan siang. Sardi menghampiri ayahnya dengan hati-hati.
“Ayah, sepertinya awak sudah tidak sanggup!”
“Memangnya seperti apa kesulitan menggembala kambing itu?”
“Seperti memasukkan benang ke dalam lubang jarum.”
“Tapi pada akhirnya tetap bisa masuk juga, kan?”
“Sungguh, Yah, kambing itu matanya selalu kemana-mana. Seenaknya saja berhenti saat lihat yang hijau-hijau di jalan. Apa saja ia makan, tidak jelas punya orang atau tidak. Pucuk pisang. Daun-daun singkong hingga daun anak mangga sekalipun. Hingga berkali-kali kena marahi awak oleh yang punya tanaman. Susah ditunjuki kambing itu, sekehendak perutnya saja. Berisik pula. Tidak ada enaknya memelihara kambing itu,” jelas Sardi panjang lebar, ayahnya hanya mengangguk-angguk. Apapun yang akan dikatakan ayahnya kemudian, Sardi sudah bertekad untuk tidak memelihara kambing itu lagi. Apapun yang terjadi.
“Setidaknya kau pelihara dulu sampai laik jual. Abangmu, Sidi, dulu juga Ayah kasih ayam dan kambing, ia berhasil menjaganya dengan baik hingga kemudian menjualnya untuk modal dagang.”
Tanpa membalas satu kata pun Sardi langsung pergi. Di hatinya ia mengutuk-utuk sendiri. Ia merasa ayahnya harus melihat apa yang mungkin terjadi.
***
Tiga hari setelah itu. Sekitar pukul sepuluh pagi Pak Suir, orang terkaya di kampung itu—sekaligus orang terpelit, datang mencari Pak Samidi, sayangnya saat itu Pak Samidi sedang tidak berada di rumah. Pak Suir dengan wajah yang kusut bersungut-sungut pergi. Sore harinya ia kembali mencari Pak Samidi, hingga pertemuan itu tidak bisa dihindari lagi. Tanpa ba bi bu Pak Suir langsung saja menjelaskan maksud kedatangannya.
“Tolong ikat kambingmu. Kalau tidak, akan kusembelih kambing itu!” ancam Pak Suir tiba-tiba, tentu saja hal itu membuat Pak Samidi ternganga.
“Tidak usah berlagak tidak tahu, Pak, kambing Bapak lepas dan menjarah tanaman-tanaman mahal saya!” muka Pak Suir semakin memerah, muka Pak Samidi ikut memerah pula.
“Maaf, Pak. Seberapa mahal tanaman Bapak itu?! Saya tidak habis pikir dan tidak tahu bagaimana harus menghadapi orang kikir seperti Anda!” balas Pak Samidi membentak. Hampir saja dua gaek itu baku hantam jikalau warga sekitar tidak mencium aroma perselihan diantara kedua orang itu.
Sardi sama sekali tidak mengetahui perselisihan itu. Baru dua hari setelah itu ia dapat penjelesan tentang duduk perkaranya dari abangnya. Dengan perasaan bersalah Sardi jadi bertekad akan menggembalakan kembali kambing yang diberikan ayahnya itu. Meggembalakan dengan sebaik-baiknya. Ia berjanji tidak akan melepaskan kambing itu lagi.
Esok harinya Sardi terbangun lebih pagi dari biasanya. Sepanjang malam ia bermimpi tentang kambingnya itu, juga tentang sepeda motor impiannya. Dalam mimpi itu ia menyaksikan kambingnya berlari kencang, melebihi kencang sepeda motor orang-orang. Ia merasa itu seperti sebuah peratanda. Maka lepas menunaikan salat subuh Sardi beranjak menemui kambingnya itu. Ia perhatikan kambingnya lekat-lekat. Kambing yang sekehendak perutnya saja itu. Kambing yang tidak bisa membedakan mana yang boleh dimakan dan tidak boleh dimakan. Ah, sepertinya kambing memang harus diberi tali. Lebih baik memang didiamkan di kandang, biar aku yang menyabitkan rumput, pikir Sardi. Selesai sekolah siang nanti Sardi berniat ingin memasangkan kembali tali kambingnya itu.
***
Sekolah telah berakhir, secepat kilat ia berganti baju. Saat hendak mengunjungi kambingnya itu Sardi berpikir mungkin lebih baik jika ia makan dulu. Ia langkahkan kakinya ke ruang makan. Di sana ia temui ayah dan ibunya tengah asyik menyuap nasi. Sardi bergegas ke dapur, mengambil sepiring nasi untuk ia santap. Kemudian betapa terkejutnya ia melihat gulai kambing tertonggok manis di sebalik tudung saji. Seketika itu juga Sardi berlari ke kandang kambingnya. Kandang kambing itu kosong. Sardi cuma bisa bengong. Hatinya panas sekali. (*)
Biodata Penulis:
Fadli Hafizulhaq lahir di nagari Kataping di pinggiran pantai Sumatera Barat pada 08 Maret 1992. Penulis merupakan alumni S3 Ilmu Pertanian, Universitas Andalas. Saat ini menetap di Padang dan berprofesi sebagai peneliti serta narablog. Penulis sudah mendapatkan hingga 32 penghargaan/prestasi nasional di bidang blogging semenjak 2019. Buku solo pertamanya adalah Muslim Ace Student yang diterbitkan pada tahun 2018. Penulis dapat dihubungi melalui surel hafizulhaq.fadli@gmail.com. Amanah terkini di Forum Lingkar Pena Wilayah Sumatera Barat adalah Ketua FLP Sumbar dengan NRA 034/D/003/001.
Pendidikan Moral dalam Karya Sastra
Oleh: Azwar Sutan Malaka, M.Si.
(Dewan Penasihat Pengurus FLP Wilayah Sumatera Barat dan
Dosen Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, UPN Veteran Jakarta)
Karya sastra adalah salah satu media untuk menanamkan karakter atau nilai-nilai kepada pembacanya. Sebagaimana sifatnhya, karya sastra yang merupakan tiruan kehidupan manusia tentu saja memuat nilai-nilai yang dapat digunakan untuk melanjutkan kehidupan. Melalui karya sastra, pembaca bisa memetik pelajaran berharga yang mungkin saja tidak didapatkan dari media lainnya. Melalui karya sastra, pengarang dapat berkomunikasi dengan pembacanya. Pengarang menyampaikan pesan-pesan yang dititipkan dalam cerita yang dibangunnya.
Beberapa ahli sastra atau akademisi sudah menunjukkan bagaimana karya sastra sebagai media untuk menanamkan nilai kepada pembaca. Wahyuni (2017) menyebutkan bahwa melalui tokoh-tokoh dan beragam rangkaian cerita, pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan yang disampaikan atau diamanatkan. Pengarang berusaha agar pembaca mampu memperoleh nilai-nilai tersebut dan bisa merefleksikannya dalam kehidupan. Berbagai nilai yang ingin disampaikan oleh pengarang lewat karyanya menggunakan balutan perasaan dan keindahan pemilihan penyampaian nilai-nilai kehidupan. Berbagai aspek dalam sebuah karya sastra terpadu secara sistematis dengan menggunakan unsur keindahan berbahasa, konflik batin manusia, moral ketepatan ekspresi, keserasian, keagungan dan lain- lain.
Pradopo (1995) menyampaikan bahwa suatu karya sastra yang baik adalah sebuah karya sastra yang langsung memberi didikan dan pembelajaran melalui unsur amanat kepada pembaca tentang budi pekerti dan nilai-nilai moral. Konsep moral sering digunakan sinonim dengan etika. Moral selalu dikaitkan dengan kewajiban khusus, dihubungkan dengan norma sebagai cara bertindak yang berupa tuntutan relatif atau mutlak. Moral merupakan wacana normatif dan imperatif dalam kerangka yang baik dan yang buruk, yaitu keseluruhan dari kewajiban-kewajiban kita. Jadi kata moral mengacu pada baik buruknya manusia terkait pada tindakannya, sikannya, dan cara mengungkapkannya.
Amiruddin (2011) menuliskan bahwa moral merupakan perbuatan atau tidakan yang dilakukan sesuai dengan ide-ide atau pendapat-pendapat umum yang diterima yang meliputi kesatuan sosial lingkungan-lingkungan tertentu. Sejalan dengan itu, Suseno (1989) menyampaikan bahwa moral seringkali juga diajarkan dalam sebuah karya sastra lewat cerita yang disampaikan oleh pengarang melalui peran tokoh di dalamnya. Istilah kata moral selalu mengacu pada baik buruknya sikap dan perbuatan sebagai manusia. Dasar nilai moral sering kali menjadi patokan untuk menentukan betul-salahnya sikap dan tindakan manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas.
Pada Kreatika edisi ini, redaksi menayangkan cerpen berjudul “Ayam dan Kambing” karya Fadli Hafizulhaq, Ketua FLP Sumatera Barat. Fadli bercerita tentang bagaimana Pak Samidi, mengajari anak-anaknya agar memiliki kesibukan. Tokoh Samidi yang dihadirkan Fadli memiliki keyakinan sebagaimana layaknya orang tua di Minangkabau. Kearifan lokal untuk mengajari anak-anak Minangkabau agar dapat memanfaatkan waktu dengan baik. Kearifan lokal untuk mendidik anak-anak hidup. Sebuah pelajaran yang tidak akan didapatkan di lembaga Pendidikan formal.
Kearifan lokal dalam mendidik anak-anak itu adalah salah satunya dengan memberikan anak-anak kesibukan yang bermanfaat agar waktu anak-anak tersebut tidak digunakan untuk bermain saja. Kearifan lokal masyarakat Minangkabau ini disampaikan oleh Fadli secara menarik dalam cerpen berjudul “Ayam dan Kambing” ini. Melalui tokoh Samidi, diceritakan bahwa Samidi membelikan anaknya Sidi, seekor ayam. Sidi sangat senang sekali mendapatkan ayam yang diberikan ayahnya itu. Setiap hari selain sekolah, Sidi memelihara ayamnya itu. Dengan adanya kesibukan memilihara ayam, harapan Samidi setidaknya anak-anaknya tidak hanya bermain-main saja yang kadang banyak hal buruknya. Dengan memelihara ayam setidaknya Sidi diajarkan ayahnya bagaimana cara menjalani hidup.
Singkat cerita Samidi juga memberikan ayam kepada anaknya yang lain Sardi. Sardi didik oleh Samidi sebagaimana ia mendidik anak sulungnya Sidi. Perbedaan anak sulung dengan anak bungsu ini, Sardi anak yang berbeda dari kakaknya Sidi. Sardi harus dimotivasi agar mau memelihara ayam dengan kemauannya sendiri. Sardi ingin membeli sepeda, namun Samidi mengatakan kepada anak bungsunya itu, peliharalah ayam ini terlebih dahulu. Nanti ayam tersebut bisa berkembangbiak, bisa bertelur dan bisa dijual. Uang hasil penjualan telur dan ayam itu nanti bisa ditabung untuk membeli sepeda.
Pelajaran pertama Samidi untuk Sardi berhasil, Sardi dengan tekun memelihara ayamnya, kemudian berkembangbiak dan akhirnya bisa membeli sepeda. Setelah umurnya bertambah, Sardi punya keinginan lain yaitu ingin beli motor sebagaimana teman-temannya. Ayahnya, Samidi punya resep yang sama. Ia tidak membelikan Sardi motor, tapi membelikan anak itu kambing. Sardi tentu kecewa, namun dengan pemahaman yang baik, ayahnya mengatakan nanti kalau kambingnya sudah banyak, bisa dijual untuk membeli motor.
Nah, disinilah penulis menghadirkan konflik dalam cerpen “Ayam dan Kambing” ini. Ternyata memelihara kambing tidak semudah memelihara ayam. Tantangan memelihara kambing sangat besar. Seperti kambing bisa berbahaya karena bisa memakan tanaman orang lain. Hal ini menjadi konflik baru yang harus dihadapi Sardi. Beberapa kali kambingnya menimbulkan masalah. Suatu hari, kambing Sardi menimbulkan masalah karena memakan tanaman Pak Suir. Pak Suir marah-marah menemui Samidi, karena kambing anaknya memakan tanaman Pak Suir.
Sebagai cerita untuk menanamkan nilai-nilai yang baik, pada satu sisi cerpen ini sudah berhasil memainkan perannya untuk menanamkan nilai tersebut. Hal yang dapat ditauladani dari kisah ini adalah bagaimana orang tua tidak hanya memberikan apa yang diinginkan anak-anaknya. Sebagai bukti cinta orang tua kepada sang anak, orang tua harus mengajari anak-anak untuk bekerjakeras mendapatkan apa yang mereka inginkan. Cara bekerjakeras itu dalam kearifan lokal Minangkabau diajarkan dengan berusaha.
Namun, cerpen “Ayam dan Kambing” ini pada ending cerita gagal memberikan solusi yang baik. Pak Samidi karena menganggap Sardi gagal memelihara kambing mengambil pilihan yang kurang bijak. Karena tidak ingin berkonflik dengan tetangga soal kambing Sardi, Pak Samidi langsung memotong kambing Sardi dan memasaknya untuk dimakan. Padahal, Sardi yang pada awalnya masih malas-malasan menggembala kambing itu sudah mulai memahami bahwa memelihara kambing untuk memperoleh keinginannya membeli motor bisa terwujud.
Sardi juga sudah menemukan solusi bagaimana kambing peliharaannya itu agar tidak memakan tanaman orang lain. Sardi sudah mendapat pelajaran dari kakaknya Sidi bahwa kambing tersebut nanti akan dikandangkan, tidak dilepas seperti biasa. Dengan dikandangkan, risikonya adalah Sardi harus mencarikan rumput untuk makan kambing itu. Sardi dengan bantuan kakaknya Sidi sudah memahami itu adalah pilihan terbaik. Sardi sendiri sudah bersedia untuk mencarikan rumut sebagai pakan kambing yang dikurung di kendang itu.
Begitulah ending cerita yang sarat pesan moral ini diakhiri dengan tidak baik. Nilai-nilai moral yang diberikan Samidi justru pada sisi lain gagal memberikan pelajaran lain bahwa setiap masalah ada solusi terbaiknya. Terkait kalimat terakhir ini, ternyata Samidi gagal memberikan solusi terbaik untuk masalah yang dihadapi anaknya. Bukan hanya gagal memberikan solusi atas masalah, justru Samidi ceroboh dengan memberi masalah baru untuk anaknya.
Seandainya Samidi bijak dengan mengikuti logika berpikir anaknya Sidi dan Sardi bahwa kambing itu menjadi masalah karena dilepas sehingga ia memakan tanaman tetangga. Solusi dari masalah itu adalah kambing harus diikat atau dikurung dikandang, walau konsekuensi dari solusi itu adalah makanan kambing harus disediakan karena kambing harus makan untuk bisa berkembangbiak.
Nilai-nilai yang bisa diambil dari cerpen ini adalah pertama, ajarilah anak-anak untuk hidup dan menghadapi kehidupan. Pelajaran hidup ini tidak selalu ada di bangku pendidikan formal. Belajar hidup dengan bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan adalah pelajaran berharga yang kadang tidak didapatkan anak-anak. Kedua, waktu kosong anak-anak, kadang menjadi berdampak negatif karena orang tua tidak kreatif dalam mengisi waktu luang anak-anak. Ketiga, kadang solusi terbaik itu tidak selalu datang dari orang tua, akan tetapi bisa jadi datangnya dari anak-anak muda. Keempat, orang tua bisa salah dalam mengambil keputusan atas masalah yang dihadapi anak-anaknya.
Dengan demikian, melalui pelajaran moral dalam cerpen “Ayam dan Kambing” ini semoga menjadi pelajaran berharga bagi pembaca.(*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post