Oleh: Mita Handayani
(Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Linguistik FIB Universitas Andalas)
Pelajarilah olehmu bahasa, niscaya kamu akan mengetahui (sebagian hakikat) manusia. Pesan ini disampaikan oleh Prof. Dr. Jufrizal, M.Hum. seorang linguis asal Sumatera Barat dalam bukunya yang berjudul “Tata Bahasa Minangkabau”. Agar dapat berbahasa, seseorang harus memahami bunyi, kata, frasa, klausa, dan kalimat. Hal itu agar pembelajar bahasa dapat mengaplikasikannya dalam tulisan maupun tuturan.
Kali ini saya akan membahas tentang predikasi dan struktur argumen dalam sebuah kalimat yang merupakan ranah kajian sintaksis. Dalam ilmu kebahasaan, istilah predikasi setara dengan proposisi. Proposisi merupakan bongkahan kata yang memiliki makna. Kac dalam Jufrizal (2013: 99) telah menjelaskan bahwa predikasi adalah konstruksi dalam bentuk klausa (kalimat sederhana) yang terdiri atas predikat dan argumen-argumennya. Apa pun bahasanya, wujud ideal sebuah klausa tersusun atas unsur-unsur yang mempredikati (predicating elements) dan unsur-unsur yang bukan mempredikati (non-predicating elements). Van Vallin Jr dan Lapolla telah membuat sebuah rumus untuk mengetahui struktur klausa ini. Formula tersebut yakni argumen inti + predikat + bukan argumen inti.
Secara sederhana, argumen bisa dipahami sebagai “teman-teman predikat”. Argumen inti terdiri dari subjek (S), objek langsung (OL) dan objek tidak langsung (OT). Sementara itu, yang bukan argumen inti diisi oleh adjungta, oblik, dan preposisi. Keberadaan bukan argumen inti adalah manasuka. Artinya, kehadirannya boleh ditiadakan atau tidak wajib hadir. Jika bukan argumen inti tidak dilibatkan dalam sebuah kalimat, kalimat tersebut tetap dapat dipahami.
Predikasi sangat berkaitan erat dengan valensi. Dalam ilmu linguistik, valensi berbicara tentang sejauh mana kemampuan verba (yang menempati unsur predikat) mampu mengikat argumen-argumennya. Oleh sebab itu, yang menjadi sentra dalam ruang lingkup ini adalah predikat. Jenis predikat akan menentukan apa dan berapa banyak argumen yang akan hadir. Dalam dunia sintaksis, dikenal dua jenis verba secara umum. Kedua verba tersebut adalah verba intransitif dan verba transitif. Verba intransitif adalah verba yang tidak menuntut kehadiran objek. Sementara itu, verba transitif adalah verba yang menuntut kehadiran objek. Di sisi lain, Van Vallin Jr. dan LaPolla dalam Yusdi (2012:208) mengemukakan bahwa ada tiga jenis verba, yakni verba intransitif, monotransitif (ekatransitif), dan bitransitif (dwitransitif).
(2a) I believe. (saya percaya)
(2b) Mamak mamakai sarawa randai. (Paman memakai celana randai)
(2c) Pak Juprianto mengajarkan bahasa Inggris pada mahasiswa minggu kemarin.
Klausa pada (2a) adalah contoh dari verba intransitif. Ciri verba ini adalah menginginkan kehadiran satu argumen inti. Dalam hal ini, argumen yang diikat adalah subjek (I). Kemudian, verba believe juga tidak menuntut kehadiran objek. Maksudnya, klausa ini tetap dapat dipahami pembaca/pendengar meskipun tidak ada objek yang mengikutinya. Kalimat (2b) adalah contoh dari verba monotransitif (ekatransitif). Verba ini menuntut kehadiran dua argumen inti. Hal ini dapat terjadi karena adanya pemarkahan morfologi prefix ma– dalam verba mamakan (memakan). Kondisi morfologis menaikkan ketransitifan verbanya. Oleh sebab itu, verba mamakan menuntut kehadiran dua argumen inti, yakni subjek (mamak) dan objek (sarawa randai). Verba jenis ini sangat menuntut hadirnya sebuah objek. Apabila objek tidak dilibatkan, akan menimbulkan keambiguan dalam pemaknaan.
Sementara itu, kalimat (2c) berjenis verba bitransitif/dwitransitif meminta kehadiran tiga argumen inti. Adanya pemarkahan morfologis afiks me– dan –kan pada kata mengajarkan menyebabkan hadirnya argumen inti berupa subjek (Pak Juprianto), objek langsung (bahasa Inggris) dan objek tidak langsung (mahasiswa). Dalam kasus ini, turut pula hadir yang bukan argumen intim, yaitu adjungta (minggu kemarin). Frasa minggu kemarin hanyalah sebuah bentuk keterangan waktu (adverb of time) tentang kapan kejadian itu terjadi. Jika frasa ini dihilangkan, kalimatnya tetap bisa dimaknai.
Sebenarnya, posisi predikat tidak hanya dapat diisi oleh verba, tetapi juga bisa ditempati oleh nonverba seperti adjektiva, nomina, pronominal, numeral, dan prepoposional. Untuk lebih lanjut, masing-masing predikat nonverba tersebut akan digambarkan dalam bahasa Minangkabau berikut ini:
(3a) Mamak bangih cako (Paman marah tadi)
(3b) Anaknyo tukang angkek di Pasa Aua. (Anaknya kuli di Pasar Aua)
(3c) Rumahnyo ampe. (Rumahnya empat)
(3d) Sumando di rumah. (Semenda di rumah)
Dalam contoh (3a), predikat diisi oleh adjektiva (bangih/marah). Predikat pada (3b) diisi oleh nomina (tukang angkek/kuli). Kemudian, posisi predikat pada (3c) ditempati oleh numeral (ampek/empat) dan (3d) adalah predikat prepoposional (di rumah).
Keterikatan informasi antara predikat (verba/nonverba) dan argumen-argumennya akan membentuk sebuah struktur argumen. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, argumen ini terdiri dari argumen inti (subjek, objek langsung dan objek tidak langsung) dan bukan argumen inti (adjungta, oblik dan preposisi). Konstruksi klausa/kalimat dari predikat beserta teman-temannya ini yang akan membentuk suatu informasi utuh yang dinamakan sebagai struktur argumen.
Demikian ulasan tentang predikasi dan struktur argumen dalam klausa/kalimat. Ternyata, belajar sebuah bahasa tidak sesulit itu ya, Sobat Bahasa. Intinya, pembelajar bahasa harus mengerti poin-poin kunci saat mempelajari sebuah bahasa. Apabila hal ini sudah dilakukan, belajar bahasa terasa lebih menyenangkan. Lain kali, kita akan bahas hal-hal menarik lainnya terkait dengan ilmu kebahasaan.
Discussion about this post