Oleh: Yori Leo Saputra
(Alumnus Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Kekayaan bahasa Indonesia tidak hanya terlihat pada kosakata yang dimiliki. Namun, kekayaan bahasa Indonesia itu juga terlihat dari berbagai macam imbuhan yang dimiliki. Menurut Kridalaksana (2011:91), imbuhan adalah afiks. lebih lanjut, Kridalaksana (2011:3), mendefinisikan afiks adalah bentuk terikat yang bila ditambahkan pada bentuk lain akan mengubah maknanya. Pada dasarnya, afiks memiliki kesanggupan untuk melakat pada satuan-satuan lain, seperti di muka dasar, di dalam dasar, dan di belakang dasar, serta di muka dan di belakang dasar.
Jika ditelusuri dari asalnya, afiks bahasa Indonesia dikelompokkan menjadi dua jenis. Pertama, afiks asli; dan. Kedua, afiks serapan. Yang dimaksud dengan afiks asli adalah imbuhan yang asalnya dari bahasa Indonesia. Dengan kata lain, imbuhan tersebut bersumber dari bahasa Indonesia. Sementara itu, yang disebut dengan afiks serapan adalah imbuhan yang asalnya atau bersumber dari bahasa asing dan bahasa daerah.
Secara umum, jenis-jenis afiks meliputi prefiks (awalan), infiks (sisipan), sufiks (akhiran), simulfiks, konfiks, suprafiks, interfiks, dan kombinasi afiks (imbuhan gabung). Dari jenis-jenis afiks tersebu terlihat sufiks merupakan salah satu bagian dari jenis afiks. Kridalaksana (2011:230) menyebut sufiks sebagai imbuhan yang ditambah pada bagian pangkal. Imbuhan ini disebut juga dengan akhiran. Imbuhan ini memiliki fungsi pembentuk kata benda atau membendakan serta membentuk kata kerja transitif. Contohnya: imbuhan -an pada kata laut menjadi lautan, imbuhan -kan pada kata membaca menjadi membacakan. Berikut adalah bentuk imbuhan asli dalam bahasa Indonesia, yaitu –an, -kan, -i, dan –nya, sedangkan imbuhan serapan lebih bervariasi bentuknya, seperti –man, -wan, -wati, -a, -i, -in, -at, -ani, -iah, -is dan –isme.
Topik ulasan saya kali ini adalah imbuhan –isme. Dalam penggunaan bahasa sehari-hari, kita mungkin sudah sering menemukan kosakata yang berakhiran –isme. Jika dilihat lagi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, banyak sekali penggunaan kosakata yang berakhiran –isme. Contoh penggunaan -isme ini dapat dilihat pada kata-kata, seperti absolutisme, agamaisme, amatirisme, federalisme dan sebagainya.
Secara etimologi, Babudu (1984:80) dalam Inilah Bahasa Indonesia yang Benar menyebutkan bahwa imbuhan –isme bukanlah imbuhan yang dipungut dari bahasa Inggris, melainkan imbuhan –isme dipungut dari bahasa Belanda. Hal ini disebabkan bentuk-bentuk –isme yang digunakan dalam kosakata bahasa Indonesia lebih dekat kepada bahasa Belanda dibandingkan bahasa Inggris. Namun, berbeda dengan bahasa Malaysia yang memungut imbuhan –ism dari bahasa Inggris, yang kemudian ditambah bunyi /a/ di belakang atau di akhir kata sehingga menjadi -isma. Contoh ini dapat dilihat pada kata kolonialisma, modenisma, dan komunisma.
Dalam Kamus Besar Besar Bahasa Indonesia V (2016), imbuhan -isme dirtikan sebagai sistem kepercayaan berdasarkan politik, sosial, atau ekonomi. Imbuhan ini memiliki fungsi sebagai pembentuk nomina. Contohnya: terorisme, liberalisme, dan komunisme. Sementara itu, Putrasaya (2008:32) dalam Kajian Morfologi menyebutkan imbuhan –isme bermakna untuk menyatakan paham atau aliran. Definisi tersebut senada yang disebut oleh Badadu.
Menurut Badudu (1984:80), imbuhan –isme mengandung tiga makna, yaitu ‘ajaran, paham, dan aliran’. Pertama, imbuhan -isme yang mengandung makna ‘ajaran’. Makna ini dapat dilihat pada kata-kata, seperti islamisme ‘ajaran Islam’, yudaisme ‘ajaran Yahudi’, buddhisme ‘ajaran yang dikembangkan oleh Sidarta Gautama’, antroposentrisme ‘ajaran yang menyatakan bahwa pusat alam semesta adalah manusia’, dan indeterminisme ‘ajaran tentang kehandak (kemauan) manusia yang bebas tidak terbatas’.
Kedua, imbuhan –isme yang mengandung makna ‘paham’. Kosakata yang mengadung makna ini, seperti kata fundamentalisme ‘paham yang cenderung untuk memperjuangkan sesuatu secara radikal’, daerahisme ‘paham kedaerahan’, dogmatisme ‘paham yang berdasarkan dogma’, faksionalisme ‘paham yang berhubungan dengan faksi’, dan homoseksualisme ‘paham homoseksual’.
Ketiga, imbuhan –isme yang mengandung makna ‘aliran’. Makna dari imbuhan ini dapat dilhat pada penggunaan kata, seperti humanisme ‘aliran yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik’, idealisme ‘aliran ilmu filsafat yang menganggap pikiran atau cita-cita sebagai satu-satunya hal yang benar yang dapat dicamkan dan dipahami’, futurisme ‘aliran dalam seni, musik, atau sastra (yang dimulai di Italia sekitar tahun 1909) yang ditandai, terutama oleh usaha memberikan pernyataan formal kekuatan dinamis dan gerak proses mekanis’, ekspresionisme ‘aliran kesusastraan yang lebih mementingkan soal kejiwaan daripada menggambarkan kejadian yang nyata’ dan eklektisme ‘aliran filsafat yang mangambil yang terbaik dari semua sitem’.
Selain itu, adapun juga imbuhan –isme yang memiliki makna ‘kepercayaan’. Penggunaan dari makna ini dapat dilihat pada kata, seperti totemisme ‘sistem religi yang berkeyakinan bahwa warga kelompok unilineal adalah keturanan dewa-dewa nenek moyang, yang satu dengan yang lainnya mempunyai hubungan kekerabatan’, politeisme ‘kepercayaan atau pemujaan kepada banyak Tuhan’, panteisme ‘penyembahan (pemujaan) kepada semua dewa berbagai kepercayaan’, dan monoteisme ‘kepercayaan kepada satu Tuhan’.
Jika dilihat pada perkembangan bahasa sekarang, penggunaan imbuhan –isme sudah mulai kelihatan keluar dari bahasa asalnya (bahasa Belanda). Badudu (1984:80) menyebutkan hal itu disebabkan oleh orang sudah mulai meletakkan imbuhan itu bukan pada kata Belanda sehingga dalam kosakata bahasa Indonesia ditemukan kata seperti bapakisme, bebekisme, dan wadamisme. Dari kata tersebut terlihat bapak, bebek, dan wadam bukanlah kata bahasa asing.
Jadi, demikianlah penjelasan mengenai imbuhan –isme dan maknanya dalam bahasa Indonesia. Semoga penjelasan singkat ini lebih dan kurangnya bermanfaat bagi pembaca. Semoga mencerahkan. Syukran ‘alaa kulli syai’in.
Discussion about this post