Dua Bidadariku
Cerpen: Rasyafa Sabrakamila
Ini hanyalah kisah perjalanan temanku dan aku hanya ingin menceritakannya kepada kalian agar bisa sedikit membagi rasa kesepian dan kegembiraan temanku. Ya temanku ini bernama Rendi. Ia terlihat murung dan kesepian. Aku selalu melihat dia sendirian dan tak ingin berinteraksi kepada siapa pun. Sebenarnya aku ingin mengajaknya berbicara, tapi selalu ada halangannya. Entah kenapa setiap aku ingin menyapanya ia selalu pura pura tidak melihatku. Aku juga selalu berusaha untuk mengajaknya bicara dan pada hari ini aku sedang beruntung. Aku memperkenalkan diriku dan di saat ia memperkenalkan diri wajahnya tampak pucat. Ia terbata-bata mengucapkan rangkaian huruf “per-ke-nal-kan na-ma-ku Ren-di”. Setelah itu, kami kehabisan kata dan terjebak dalam kesunyian. Untungnya bel berbunyi saat itu dan aku langsung berlari menuju kelasku.
***
Setelah kejadian itu, Rendi selalu menghindariku. Ya mungkin karena dia jarang bersosialisasi, tapi aku tidak menyerah dan inilah cerita di mana aku bisa dekat dengan Rendi. Waktu itu, aku ada kerja kelompok bersama temanku di sekolah. Kira-kira aku pulang sore, aku meminta orang tuaku untuk menjemput pukul lima sore. Namun, orang tuaku belum datang juga dan teman-teman sudah pada pulang. Untunglah aku masih melihat Rendi di depan gerbang sekolah. Lima menit telah berlalu namun orang tuaku belum juga datang. Aku sedikit takut karena hari ini mau badai. Daun beterbangan membuat lapangan sekolah menjadi kotor oleh dedaunan dan langit tampak gelap. Akhirnya, rasa kesepian ini berhenti. Orang tuaku sudah menjemput tepat sebelum badai.
“Ma, mama kok lama jemputnya kan aku takut”, ucapku.
“Maafkan mama, Tasya. Tadi di jalan macet dan mama banyak kerjaan di kantor,” ujar mama yang baru datang.
Aku pun lantas membalas ucapan mama dengan santai dan nada rendah.
“Iya Ma, nggak apa-apa. Lagian temanku masih ada yang belum pulang,” ucapku menenangkan mama. Lantas mama melihat ke arah di sekitarku.
“Yang itu temanmu? Kok dia belum pulang?’’ tanya mama. Aku pun melihat orang yang dibicarakn oleh mama. Ya, aku kenal dia. Dia sama sepertiku. Menunggu jemputan.
“Iya Ma, mungkin orang tuanya sibuk,” jawabku asal.
Tiba-tiba, suara petir terdengar keras tanda akan turun hujan lebat dan angin kencang. Suara petir membuatku takut, tapi aku teringat Rendi masih di depan gerbang. Aku bergegas mengeluarkan payung dan membuka pintu mobil. Aku berjalan menuju ke arah Rendi. Wajah Rendi amat pucat. Mungkin ia ketakutan karena belum dijemput dan tadi ada petir yang keras.
“Ren, kamu pulang sama aku aja. Hari mau hujan,” bujukku. Dia melihat ke arahku sekilas. Lantas memberikan jawaban penolakan.
“Nggak usah. Papaku bentar lagi datang,” ujarnya.
“Nggak, nanti telepon aja papamu. Sekarang kamu pulang sama aku aja.”
Aku berusaha membujuknya mengingat sebentar lagi hujan akan turun.
“Iya.” Ucapnya karena takut. Rendi ikut pulang bersamaku. Aku banyak berbincang bersamanya selama di perjalanan pulang.
“Rumah kamu di jalan mana, Ren?” kepoku.
“Rumahku di Jalan Galaksi Blok 2A Nomor 5,” jawabnya datar.
“Berarti dekat rumahku dong, tapi kok nggak pernah ketemu?” tanyaku kembali. Mengingat kami satu komplek.
“Oo, karena aku jarang keluar rumah kecuali ada hal yang penting,” jawabnya dengan nada yang sepertinya agak malas bicara atau ditanya.
“Oo, kapan-kapan ke rumahku ya No 2,” tawarku. Dia hanya diam tanpa merespon sedikit pun.
***
Rendi itu anaknya baik, sopan, dan asyik. Namun, ya dia jarang bersosialisasi. Rendi juga menganggap Tasya sama seperti yang ia pikirkan. Namun, lebih dari itu. Tasya amat peduli kepadanya karena belum ada satu orang pun yang menganggapnya ada. Setelah kejadian itu mereka lebih akrab dari awal bertemu. Saat di sekolah mereka selalu bersama seperti ke kantin, ruang guru, bahkan pulang bareng. Sekarang mereka pulang bersama jalan kaki tanpa di jemput orang tua karena mereka ingin menjadi orang yang mandiri. Di sepanjang perjalanan pulang, mereka bicara.
“Ren, nanti kamu ke rumah aku ya, ngerjain tugas kelompok.”
“Oke, pukul berapa Sya?”
“Sekitar pukul satu siang aja Ren setelah makan dan salat zuhur.”
“Oke Sya…”
“Iya.”
Sesampainya di rumah, Tasya langsung mandi dan mengganti pakaiannya menjadi pakaian rumah. Setelah mand, Tasya langsung melaksanakan salat Zuhur tepat waktu karena tidak baik ditunda-tunda. Setelah makan, ia langsung mengambil makanan yang sudah mamanya siapkan tadi pagi di meja makan. Selesai makan, Tasya langsung mencuci piring bekasnya tadi. Beberapa saat kemudian ada yang mengetuk pintu rumah Tasya.
“Assalamualaikum Sya,” ucapnya dari depan pintu.
“Waalaikumsalam, bentar.” Jawab Tasya sedikit berteriak dari dapur. Tasya pun membukakan pintu.
“Masuk Ren, anggap aja rumah sendiri,” ujarnya.
“Iya.” Setelah Rendi datang mereka langsung menyelesaikan tugas bersama.
Pekerjaan itu dikerjakan bersama-sama jadi ya cepat selesai. Karena bosan hanya bermain kartu, mereka saling bercerita tentang rahasia mereka. Hari ini Rendi menceritakan semua masalahnya selama ini kepada Tasya.
“Sya, sebenarnya aku sedih banget karena kehilangan ibu yang amat kucintai. Setiap hari aku selalu menangis, nggak mau bertemu siapa pun, bahkan sulit untuk diajak makan sama papa. Setiap mau makan aku teringat mama yang udah masakin aku dan banyak bertanya mengenai sekolahku, tapi semenjak mama pergi aku malas hanya makan berdua dengan papa. Papa kasihan dengan aku yang selalu sedih dan iri saat melihat temanku bahagia mempunyai ibu. Papa putusin untuk menikah lagi agar aku mempunyai ibu dan lebih bahagia.”
“Maaf ya Ren. Aku gak tau semoga mama kamu tenang di sisi Yang Maha Kuasa,” doaku.
“Iya nggak papa. Aamiin. Sebenarnya aku nggak mau bersosialisasi karena aku terus mikirin mamaku yang sudah pergi.” Akunya.
“Oo gitu, terus kenapa kamu begitu murung?” Tanyaku lagi. Rasanya aku begitu ingin tahu apa yang dirasakan oleh Rendi. Mengingat aku yang masih memiliki mama.
“Aku belum bisa melupakan ibu kandungku.”
“Memangnya kenapa? Ibu tirimu jahat?”
“Nggak, bukan begitu. Ibu tiriku sangat baik malah sebaliknya aku yang jahat. Aku selalu mengacuhkannya dan nggak mau menerima apa pun yang diberikannya. Aku banyak menyimpan kenangan indah bersama ibu kandungku dan tak mau digantikan oleh dia.”
“Ren, kita harus bisa mengiklaskan seseorang yang amat kita sayangi pergi Ren. Mungkin kamu banyak menyimpan kenangan indah bersama ibu kandungmu, tapi ingatlah kamu punya ibu baru yang amat baik. Ia mau menghabiskan seluruh masa mudanya untuk merawatmu. Ia sangat menyayangimu dan menganggapmu sebagai anaknya sendiri. Ibu tirimu adalah duplikat ibu kandungmu. Hatinya amat bersih dan tulus menyayangimu yang hanya beda hanyalah wajahnya namun hatinya sama.”
“Makasih ya Sya udah mau dengar semua curhatanku dan mau ngasih saran yang amat baik ini,” pujinya dengan wajah tersenyum.
Mereka menghabiskan waktu sore itu dengan saling bercerita dan memberi saran yang baik. Tiba-tiba, ada yang mengetuk pintu rumah Tasya. Tasya bergegas membuka pintu dan melihat siapa orang yang berada di luar sana. Ternyata itu ibu tirinya Rendi.
“Ren, kita mau pergi ziarah ke kuburan almarhumah ibu kamu. Yuk ganti baju dan pamit sama teman kamu,” ucap ibu tiri Rendi.
“Sya, aku pergi dulu ya sama Mama aku. Makasih ya untuk yang tadi. Assalamualaikum.” Pamitnya.
“Walaikumsalam.” Balasku.
Rendi bersama papa dan mamanya pergi ziarah ke kuburan almarhum ibunya. Sesampainya di sana, Rendi meminta maaf ke almarhum ibunya.
“Ma, maafin Rendi selama ini jadi anak nakal dan nggak mau dengarin nasihatnya mama baru. Mama jangan sedih ya. Rendi janji bakal dengarin semua perintahnya mama Nita. Yang tenang di sana ya, Ma. Doa terbaik anakmu akan selalu mengalir,” ucapnya dengan air mata yang mengalir di pipi. Selesai meminta maaf Rendi langsung membaca doa dan Al-fatihah. Setelah itu, mereka langsung pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, Rendi juga meminta maaf kepada mama barunya.
“Ma, maafin Rendi ya Ma,” sambil mencium tangan mama Nita.
“Maaf kenapa sayang?’’ jawab Mama Rendi heran.
“Pokoknya maafin Rendi selama ini bandel dan nggak mau mendengarkan perkataan Mama ya.”
“Iya, yaudah kamu mandi gih udah bau tau,” gurau mama.
Selesai mandi Rendi langsung menuju meja makan untuk makan malam bersama. Saat makan malam, mereka tampak bahagia terutama Rendi yang sudah mengiklaskan mamanya pergi dan menerima mama barunya. Ia mencoba menerima kehadiran seorang yang menyayanginya seperti mamanya.
Semenjak itu, Rendi lebih bahagia, tidak ada Rendi yang dulu yang suka murung. Kini Rendi bahagia sudah lahir kembali. Setelah itu, Rendi sangat menyayangi mama barunya dan menganggap sama sebagai ibu kandungnya. Rendi juga membuat banyak kenangan indah bersama mama barunya yang tak kalah bagus bersama ibu lamanya. Rendi selalu menyayangi kedua bidadarinya karena itu adalah harta yang amat beharga baginya dibanding kekayaan.
Sekarang Rendi menghargai semua orang yang ada di dekatnya karena itu adalah harta yang paling beharga yang kita miliki. Kita juga harus mengiklaskan orang yang amat kita sayangi pergi karena di saat kita diberi ujian yang amat berat kita harus bisa mengiklaskannya pergi. Itu adalah hal terbaik yang diberikan Tuhan kepada kita. Ingatlah Tuhan selalu memberi ujian sesuai dengan kesanggupan hamba-Nya dan tidak ada yang di luar kendalanya. Aku yakin suatu saat Rendi akan bertemu dengan dua bidadarinya ditempat yang amat bagus dan indah lebih tepatnya di surga. (*)
Biodata Penulis:
Rasyafa Sabrakamila merupakan pelajar SMPIT Adzkia Padang.
Ia juga merupakan anggota ekstrakurikuler menulis di sekolahnya.
Dunia Kecil dalam Cerpen “Dua Bidadari” Karya Rasyafa Sabrakamila
Oleh:
Azwar Sutan Malaka, M.Si.
(Dewan Penasihat Pengurus FLP Wilayah Sumatera Barat)
Prosa sebagai salah satu jenis karya fiksi merupakan sebuah dunia yang dibangun oleh seorang penulis. Penulis menciptakan tokohnya, memberinya watak-watak yang sesuai dengan penokohannya, membangun latar hidup cerita seperti tempat kejadian, waktu cerita dikisahkan, membangun alur hidup cerita, menciptakan konflik-konlfik yang harus dihadapi tokoh ceritanya. Kemudian, penulis juga menghadirkan musuh-musuh tokoh utama dan penulis juga memberi solusi atas masalah yang dihadapi dalam cerita. Menulis prosa merupakan usaha membangun dunia kecil dengan segala persoalannya oleh seorang penulis.
Dirfantara Hairuddin dan Kartika Digna Radmila (2020) dalam artikel mereka berjudul “Hakikat Prosa dan Unsur-Unsur Cerita Fiksi” menyampaikan bahwa prosa sebagai sebuah karya fiksi dikategorikan ke dalam salah satu karya tulis nonilmiah karena cerita bersifat subjektif. Artinya, cerita tidak terjadi di dunia nyata sama sekali secara persis walaupun cerita bersumber dari kisah nyata.
Hairuddin dan Radmila (2020) lebih jauh menyampaikan bahwa prosa bersifat imajinatif. Beberapa karya fiksi yang merupakan prosa adalah cerita pendek, cerita bersambung, dan novel. Prosa dalam kesusastraan sering disebut juga dengan istilah fiksi. Kata prosa diambil dari bahasa Inggris, yakni prose. Prosa atau fiksi memiliki arti sebuah karya naratif yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, tidak berdasarkan kenyataan atau dapat juga berarti suatu kenyataan yang yang lahir berdasarkan khayalan.
Sementara itu, Kosasih (2011) dalam bukunya berjudul Ketatabahasaan dan Kesusastraan, yang diterbitkan penerbit Yrama Widya, Bandung, berpendapat bahwa prosa adalah karya sastra yang disusun dalam bentuk cerita atau narasi. Prosa berbentuk cerita atau narasi. Jika kemudian di dalam cerita atau narasi tersebut terdapat kata-kata yang puitis, sebagaimana yang ada dalam banyak cerita, tapi hal itu tidak akan mengubah definisi prosa sebab bentuk utamanya tetap cerita dan narasi.
Begitulah prosa, baik itu cerita pendek ataupun cerita panjang (novel) ia merupakan dunia kecil yang diciptakan oleh pengarangnya. Dunia itu hadir sebagaimana maksud dan tujuan pengarangnya membuat cerita. Ada banyak motif pengarang dalam membuat cerita, apakah hanya sekadar mengisi waktu luang, merangkai kata-kata indah dalam cerita, mendokumentasikan kisah-kisah pribadi ataupun kisah orang lain yang berkesan baginya, dan bahkan mungkin menjadikan karya prosa sebagai senjata untuk pemberontakan atas fenomena sosial, politik, dan budaya tertentu.
Biasanya, pengarang akan membangun dunia kecil dalam karya sesuai dengan pengalaman hidupnya. Pada Kreatika edisi minggu ini, redaksi menayangkan sebuah cerita pendek berjudul “Dua Bidadari” karya Rasyafa Shabrakamila, seorang pelajar di SMP Islam Terpadu, Adzkia, Padang. Rasyafa sebagaimana latar hidupnya yang masih seorang remaja muda, membangun dunia kecil dalam prosa sesuai dengan pengalaman hidupnya.
Menurut Rasyafa, memiliki ibu tiri mungkin dipandang musibah bagi banyak orang. Hal ini berangkat dari cerita-cerita yang selama ini beredar di tengah-tengah masyarakat bahwa ibu tiri merupakan manusia yang kejam. Citra yang sudah terbentuk itu, sudah mandarahdaging dalam pikiran masyarakat, sehingga susah untuk dihilangkan. Padahal, banyak orang yang memiliki ibu tiri, justru hidupnya baik-baiknya saja dan bisa bahagia. Sebaliknya, ada beberapa orang yang hidup dengan ibu kandungnya justru menderita karena perlakuan sang ibu.
Begitulah Rasyafa, mencoba menyampaikan pesan moral yang menarik dalam dunia kecil yang dibangunnya. Dalam cerpen “Dua Bidadari” Rasyafa ingin mengubah citra ibu tiri yang kejam. Dengan sudut pandang yang tidak mainstream (keluar dari kebiasaan umum) Rasyafa menyampaikan bahwa ibu tiri tidak selamanya buruk sebagaimana mitos yang sudah terbangun di dalam masyarakat. Dalam cerpennya Rasyafa mengatakan:
“Ren, kita harus bisa mengiklaskan seseorang yang amat kita sayangi pergi Ren. Mungkin kamu banyak menyimpan kenangan indah bersama ibu kandungmu, tapi ingatlah kamu punya ibu baru yang amat baik…” (Rasyafa Shabrakamila, 2022).
Pesan penulis dalam cerpennya itu sangat tegas bahwa takdir atas hidup dan kematian adalah urusan Allah SWT. Oleh sebab itu, mengiklaskan kepergian seseorang (dalam hal ini ibu kandung) adalah bagian dari keimanan seseorang. Begitu juga tentang jodoh yang merupakan takdir tuhan, menerima jodoh orang tua setelah kepergian pasangannya juga merupakan bagian dari keimanan seorang muslim. Nah, Rasyafa melalui tokoh Tasya ingin menyampaikan bahwa kehadiran ibu tiri dalam keluarga sahabatnya, Rendy merupakan takdir yang harus diterima dengan baik. Penulis melanjutkan dalam kutipan berikut:
“…Ia mau menghabiskan seluruh masa mudanya untuk merawatmu, ia sangat menyayangimu dan menganggapmu sebagai anaknya sendiri. Ibu tirimu adalah duplikat ibu kandungmu. Hatinya amat bersih dan tulus menyanyangimu yang hanya beda hanyalah wajahnya namun hatinya sama.” (Rasyafa Shabrakamila, 2022).
Dengan dasar sudut pandang seperti di atas, Rasyafa mengatakan bahwa ibu tiri dan ibu kandung yang baik merupakan “Dua Bidadari” bagi anak-anak mereka. Judul “Dua Bidadari” merupakan frasa yang tepat untuk menggambarkan tentang dua ibu yang baik. Melalui pilihan judul ini, Rasyafa memberikan pandangannya yang antimainstream bahwa ibu tiri itu jahat. Walaupun mengubah persepsi masyarakat itu merupakan suatu hal yang sangat berat, Rasyafa berusaha menghadirkan sudut pandang baru bahwa kebaikan seorang ibu tidak tergantung apakah dia ibu tiri atau ibu kandung. Kebaikan seorang ibu tentu saja ada pada bagaimana dia menyayangi anak-anaknya, apakah anak kandung atau anak tiri. Keduanya bagi ibu yang baik sama saja, karena mereka adalah bagian dari hidupnya.
Begitulah cerpen “Dua Bidadari” ini, ditulis dengan menarik oleh seorang siswa SMP. Untuk penulis remaja seusia Rasyafa, cerpen ini sudah baik, bahkan Rasyafa sudah bisa bermain dengan sudut pandang penceritaannya. Pada bagian awal cerita, Rasyafa menulis dengan sudut pandang orang pertama di mana dia berlaku sebagai “Aku” dalam cerita. Seolah-olah penulis merupakan tokoh utama dalam cerita ini yang menceritakan kehidupan sahabatnya Rendy.
Pada bagian selanjutnya, Rasyafa memilih menarik diri sebagai orang ketiga yang seolah-olah berada di luar cerita. Pilihan ini membuat penulis leluasa mengisahkan bagaimana Tasya dan Rendy memcahkan masalah yang terpusat pada kehidupan Rendy. Pilihan perubahan sudut pandang penceritaan ini dalam prosa modern merupakan hal yang biasa, untuk mengurangi kebosanan pembaca.
Dari sisi cerita, walaupun cerita ini masih cerita-cerita umum yang alurnya biasa dan ending-nya dapat ditebak pembaca, cerita ini cukup baik untuk penulis remaja yang masih duduk di bangku SMP. Penulis ke depannya diharapkan semakin banyak membaca cerita-cerita penulis senior dan banyak berlatih dalam membuat cerita.(*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca.
Discussion about this post