Oleh: Rizky Amelya Furqan
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Berbicara mengenai sastra, tentunya tidak hanya terpaku pada sastra modern saja, tetapi juga membicarakan sastra lama atau klasik yang lahir di berbagai daerah, khususnya di Indonesia. Salah satunya, kisah wayang yang kembali ditulis oleh beberapa penulis Indonesia, di antaranya Seno Gumira Ajidarma, Sujiwo Tejo, Remi Silado, dan sebagainya. Tidak hanya sastra Jawa, kaba yang merupakan bagian dari sastra Minangkabau juga menjadi objek yang dituliskan kembali dalam bentuk genre sastra yang berbeda.
Kehidupan sastra tradisional Minangkabau boleh dikatakan cukup subur. Karya sastra Minangkabau cukup banyak jumlahnya, khususnya kaba, pantun, petatah-petitih, dan sebagainya. Karya sastra Minangkabau tersebar secara lisan dan tertulis. Karya sastra Minangkabau yang tertulis dapat ditemukan berupa naskah atau berupa buku cetakan (Djamaris, 2002; 3). Terkait dengan pemaparan Djamaris tersebut, dapat diketahui kehidupan sastra di Minangkabau berkembang dengan baik, tidak hanya berupa cerita, tetapi juga berupa nasihat-nasihat seperti yang terdapat di dalam petatah-petitih.
Kehidupan sastra Minangkabau diawali dengan berkembangnya sastra lisan. Salah satu contoh sastra lisan yang digunakan masyarakat Minangkabau adalah pantun atau peribahasa. Setelah itu, berkembang sastra Minangkabau yang berupa naskah dengan menggunakan huruf Arab-Melayu, kemudian dengan huruf latin. Selanjutnya, berkembang sastra tertulis yang berupa buku cetakan, seperti kaba yang sudah diterbitkan. (Djamaris, 2002; 5-8). Kaba adalah salah satu sastra Minangkabau yang juga sering dibicarakan. Djamaris (2003; 78) menjelaskan kaba adalah cerita prosa berirama, berbentuk narasi (kisahan), dan tergolong cerita panjang sama dengan pantun Sunda. Dari segi isi cerita, kaba ini sama dengan hikayat dalam sastra Indonesia lama atau novel dalam sastra Indonesia modern
Kaba ini tergolong sastra lisan (oral literature), suatu karya sastra yang disampaikan secara lisan dengan didendangkan atau dilagukan, dan adakalanya diiringi alat musik saluang (alat musik tiup dari bambu) atau rebab. Cerita kaba dengan mudah didendangkan karena gaya bahasa yang digunakan dalam kaba adalah bahasa prosa berirama (Djamaris, 2003; 78).
Kaba dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu kaba lama (kaba klasik) dan kaba baru (kaba tak klasik). Junus (1984; 19). Kaba lama atau klasik memiliki ciri, yaitu (1) ceritanya mengenai perebutan kekuasaan antara dua kelompok, satu darinya adalah orang luar bagi satu kesatuan keluarga; (2) ceritanya dianggap berlaku pada masa lampau yang jauh, tentang anak raja dan kekuatan supranatural. Contoh kaba ini adalah Kaba Cindua Mato, Si Untuang Sudah, Magek Manandin, dan sebagainya, sedangkan, kaba baru atau kaba tak klasik yaitu kaba yang mengisahkan peristiwa masa kini. Cerita yang disampaikan bisa diterima oleh akal dan pikiran atau tidak percaya lagi pada kekuatan-kekuatan yang tidak kelihatan. contoh kaba baru adalah Kaba Rang Mudo Salendang Dunia, Si Rambun Jalua, Sitti Fattimah, dan sebagainya.
Salah satu kaba lama yang sering dibicarakan adalah Kaba Sabai Nan Aluih yang sering dijadikan sebagai naskah drama atau teater oleh masyarakat Minangkabau. Dengan demikian, sampai saat ini kaba ini masih sering dibicarakan. Cerita dalam Kaba Sabai Nan Aluih juga menginspirasi salah seorang penulis asal Sumatera Barat yaitu Vera Yuana dengan novelnya yang berjudul Senandung Sabai. Tidak hanya itu, salah seorang penulis naskah teater, Ashadi Akbar, yang berasal dari Institut Seni Indonesia Padang Panjang juga tertarik meresepsi Kaba Sabai Nan Aluih dalam naskah teaternya yang berjudul Siklus Dendam Sabai.
Kaba Sabai Nan Aluih ini dikisahkan terjadi di Padang Tarok, Sumatera Barat. Di sana hidup Rajo Babandiang dan Sadun Saribai, yang memiliki rumah bergonjong di sekitar hilir Sungai Batang Agam. Mereka memiliki dua orang anak. Anak sulung mereka seorang perempuan sangat cantik yang bernama Sabai Nan Aluih, sedangkan anak bungsu mereka laki-laki bernama Mangkutak Alam. Kemudian, dalam naskah teater Siklus Dendam Sabai ada tokoh “orang-orang” yang menanyakan kepada Sabai, apakah mendengar berita duka atau tidak. Lalu, Sabai menjawab agar segera menyebarkan dendam. Sabai menyimpan dendam yang sangat dalam.
Terjadi transformasi alur pada kaba dan naskah teater. Alur yang digunakan dalam naskah Kaba Sabai Nan Aluih adalah alur maju karena menceritakan dari awal mula kehidupan Sabai Nan Aluih dan keluarganya, sampai Rajo Nan Panjang mengutus utusannya untuk melamar Sabai pada Rajo Nan Babandiang. Lamaran tersebut ditolak oleh Rajo Babandiang sehingga menimbulkan pertengkaran antara keduanya dan pembalasan dendam Sabai pada Rajo Nan Panjang karena kematian ayahnya. Hal yang berbeda terjadi pada naskah teater Siklus Dendam Sabai. Terdapat alur penceritaan mundur yang dimulai dengan Sabai yang ingin membalaskan dendam ayahnya yang telah dibunuh oleh Rajo Nan Panjang.
Selain tranformasi alur, perubahan beberapa tokoh dan latar dalam naskah teater yang ditulis oleh Ashadi juga berbeda dengan apa yang terdapat dalam Kaba Sabai Nan Aluih. Dalam naskah teater Siklus Dendam Sabai, terjadi pengurangan dan penambahan tokoh dari Kaba Sabai nan Aluih. Hal itu terlihat pada penambahan tokoh seseorang yang ada pada naskah teater ini. Seseorang seperti menjadi seseorang yang menceritakan kehidupan Sabai Nan Aluih. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut,
“Masih adakah ingatan-ingatan itu hidup dalam dunia yang semakin muda ini, pada sebuah petikan sejarah atau fitnah masa lampau, yang telah mendamparkan dan menuakan aku di sini. Bersama nyanyian padi dan ilalang yang menjelma menjadi onggokan gedung pencakar langit. Akan kuceritakan peristiwa ini, aku ingat pada suatu ketika di masa lampau, ketika burung elang masih bercanda riang dengan keluarga ayam, atau ketika sayub-sayub jangkrik berderik. Tatkala fitnah itu menunjukku sebagai sang dendam.”
Seseorang ini juga digambarkan seperti Rajo Nan Panjang. Namun, seseorang juga digambarkan seperti Mangkutak Alam. Di sini terlihat seperti ada unsur magis yang tercampur dalam naskah teater Siklus Dendam Sabai. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut,
“Saya Mangkutak Alam orang yang cinta damai, kamajuan negeri tempat dendam dari kita, untuk kita, dan bagi kita.”
Hal ini tidak terlihat dalam Kaba Sabai Nan Aluih. Dalam naskah kaba, Mangkutak Alam diceritakan sebagai adik kandung Sabai. Tidak ada tokoh seseorang dalam naskah kaba aslinya. Hal ini juga terlihat oleh tokoh Narawatu yang diperankan dalam naskah teater, tetapi tidak terlihat dalam naskah kaba Sabai Nan Aluih.
Perubahan selanjutnya yang dilakukan oleh Ashadi berkaitan dengan masalah pokok dan tema walaupun hal tersebut tidak diubah oleh Ashadi Akbar secara keseluruhan. Masalah yang sama, yaitu berkaitan dendam Sabai yang ingin membalaskan dendam kepada Rajo nan Panjang karena telah membunuhnya ayahnya, Rajo Babandiang. Dalam naskah teater masih berkaitan dengan hal tersebut. Namun, diceritakan bagaimana dendam Sabai masih saja hidup pada Rajo Nan Panjang dan juga pada adiknya Mangkutak Alam yang tidak bisa berbuat apa-apa. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.
“Rajo nan Panjang dan Mangkutak Alam Bangsat !!”
Pada kutipan tersebut terlihat bagaimana Sabai masih menyimpan dendam pada Rajo Nan Panjang, begitu juga pada adiknya yang pengecut. Namun, pada naskah teater ini dendam itu juga beralih pada Sabai karena adanya hasutan dari seseorang kepada tokoh orang-orang, sedangkan pada naskah Kaba Sabai Nan Aluih tidak ditemukan hal tersebut.
Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa adanya transformasi tokoh, alur, dan latar yang coba diubah oleh Ashadi Akbar. Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan adanya rekonstruksi pada naskah teater Siklus Dendam Sabai. Tidak hanya itu, Ashadi juga mencoba mencampurkan antara unsur real dan magis dalam naskah teaternya. Namun, dapat diketahui bahwa realisme magis yang coba dibangun oleh Ashadi belum memenuhi lima kriteria yang dipaparkan oleh Wendi B. Faris.