Oleh: Ummu Sholihah, M.Si.
(Ketua Bidang Kaderisasi Nasional KOPRI PB PMII 2021-2024)
Dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), seperti efek domino yang akan berujung pada rembetan kenaikan harga berbagai hal, mulai dari biaya transportasi, sembako, dan kebutuhan harian lainnya. Dengan kemiskinan semakin meningkat, ketimpangan ekonomi semakin nyata, serta fenomena kekerasan perempuan semakin tidak terbendung di ujung itu semua. Perempuan dan anaklah yang akan merasakan derita paling awal dan paling berat.
Bagi buruh perempuan, kenaikan harga BBM tentu akan sangat memberatkan. Pertama, mereka harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk transportasi menuju tempat bekerja karena angkutan umum telah menaikkan ongkos untuk menutup setorannya. Kedua, mereka terpaksa harus kembali “mengencangkan ikat pinggang” karena harga bahan pokok semakin naik, sedangkan upah mereka tidak pernah bergerak naik. Selanjutnya, naiknya harga BBM pasti memperbesar ongkos produksi dalam satu perusahaan. Bagi pengusaha, pilihan yang mungkin diambil adalah mengurangi jumlah pekerja PHK atau melipatgandakan produksi dengan memaksa buruh bekerja lebih lama agar perusahaan tidak mengalami kerugian yang besar tanpa memperhatikan kesejahteraan buruh. Di sini nampak begitu jelas bahwa buruh sangat terancam penghidupannya serta seluruh keluarganya dan mendapatkan kerugian terdalam akibat kenaikan harga BBM.
Bagi buruh migrant perempuan, kenaikan harga BBM telah mencekik keluarga-keluarga buruh migran di tanah air. Oleh sebab itu, tentu saja jepitan kemiskinan akan semakin memaksa keluarga-keluarga miskin di Indonesia untuk bekerja ke luar negeri. Di tengah sistem penempatan yang penuh dengan pemerasan seperti sekarang, keadaan ini akan justru memperburuk kehidupan rakyat Indonesia. Pun demikian dengan biaya pemberangkatan dan pemulangan yang secara otomatis akan meningkat.
Bagi perempuan tani, terutama yang tidak memiliki tanah dan bekerja sebagai buruh tani pada tuan-tuan tanah juga akan merasakan hal serupa. Biaya produksi, khususnya terkait dengan distribusi benih, pupuk dan obat untuk pertanian pasti akan bergerak naik. Sehingga dalam satu kali proses produksi (mulai tanam hingga panen) ongkos produksi yang dikeluarkan pasti akan semakin mahal. Disisi lain, hasil pertanian kaum tani masih saja dihargai dengan harga yang rendah. Bisa dipastikan, kerugian akan menjadi ancaman bagi kaum tani diseluruh negeri. Derita ini tentu saja akan semakin bertambah karena harga barang kebutuhan pokok juga beranjak naik dan semakin menurunkan daya beli mereka serta memaksa kaum tani hidup dalam keterpurukan. Sementara pekulan terbarat akan menimpa buruh tani, upah yang sangat kecil berbanding terbalik dengan kenaikan harga harga kebutuhan pokok yang disebabkan kenaikan harga BBM.
Kenaikan harga BBM juga menyebabkan para perempuan nelayan menjadi tidak berani melaut, bukan karena faktor cuaca melainkan karena takut merugi. Biaya ini tentu saja melonjak tajam pasca kenaikan BBM. Sementara pendapatan nelayan rata-rata tidak mengalami peningkatan. Harga jual ikan tangkapan ditentukan sepihak oleh tengkulak. Akibatnya, nelayan-nelayan sedang dan miskin mengalami kebangkrutan. Dalam keadaan itu, nelayan-nelayan buruh menjadi pihak yang pertama kali tersingkir, menganggur, dan dibelit utang. Kondisi ini semakin memberatkan pasca pandemi Covid-19 yang hampir seluruh dunia merasakan dampaknya dalam kestabilan ekonomi.
Naiknya harga kebutuhan pokok termasuk naiknya harga BBM memiliki pengaruh yang sangat besar bagi perempuan-perempuan dari keluarga-keluarga miskin baik di perkotaan maupun pedesaan. Sebagaimana diketahui, perempuan Indonesia yang mayoritas masih berada dalam kungkungan peran tradisional, sebagai ibu rumah-tangga. Hal itu merupakan transistor yang menampung berbagai beban dan berkewajiban mendistribusikan berbagai pendapatan bagi seluruh anggota keluarganya. Kekangan budaya patriarki dengan sandaran ekonomi pertanian feodalisme di pedesaan masih kerap mengisolisasi suara-suara perempuan. Tuntutan untuk emansipasi, kesetaraan, dan kebebasan dari segala bentuk kekerasan kerap terpenjara oleh adanya fundamentalisme. Akibatnya, tidak sedikit kaum perempuan Indonesia yang dengan sadar maupun tidak terdorong untuk mengakhiri hidup atau bekerja dengan segala daya—termasuk bekerja di sektor-sektor terburuk seperti prostitusi—dan melupakan fungsi reproduksi hanya untuk mempertahankan hidup keluarganya.
Demikian bagi perempuan miskin perkotaan, kenaikan harga BBM tidak akan pernah membuat hidup mereka sejahtera. Naiknya harga bahan pokok dipastikan menjadi ancaman besar yang dapat menentukan hidup mati mereka. Bagi kaum perempuan, beban ekonomi keluarga akan semakin menghimpit ditengah naiknya harga kebutuhan bahan pokok, karena selama ini kaum perempuan-lah yang banyak berperan dalam mengatur ekonomi keluarga. Bagaimana kaum perempuan harus bekerja lebih keras untuk mengatur pemenuhan sandang dan pangan bagi keluarga serta mengatur pemasukan dan pengeluaran dengan baik agar kebutuhan di dapur, pendidikan sekolah anak, kesehatan tetap bisa dipenuhi.
Sebagai perempuan, saya pikir mendapatkan bansos namun terjadi kenaikkan harga BBM tidak akan menjadi solusi yang kongkrit karena bantuan-bantuan tersebut hanya bersifat sementara dan tidak akan memenuhi bea kehidupan jangka Panjang di dalam rumah tangga. Belum lagi dengan bansos-bansos yang tidak tepat sasaran, jadi hampir sama dengan kasus BBM bersubsidi yang tetap dinikmati sebagian besar oleh kaum menengah ke atas bahkan plat merah.
Di mana subsidi untuk solar yang beredar di pasar, 89%-nya dinikmati oleh dunia usaha. Adapun untuk jenis BBM penugasan jenis Pertalite subsidinya dinikmati oleh 86% kalangan mampu. Besarnya konsumsi BBM bersubsidi oleh kalangan mampu disebabkan mekanisme subsidi saat ini bersifat terbuka dan diberikan ke produk energi. Artinya, siapapun bisa mengakses BBM bersubsidi tersebut jika tanpa pembatasan. Oleh sebab itu, pemerintah harusnya bisa mempertimbangkan kebijakan-kebijakan yang diambil dengan tetap mengawasi agar BBM tepat sasaran.
Oleh karena itu, dari banyaknya dampak yang timbul terhadap mayarakat, khususnya perempuan sebagai kelompok yang paling merasakan dampak dari kenaikan harga BBM. Terdapat tiga tuntutan yang harus menjadi perhatian pemerintah. Pertama, kenaikan harga BBM akan berdampak pada menurunnya daya beli dan kualitas hidup, menurunnya kapasitas untuk pemenuhan kebutuhan spesifik seperti kesehatan reproduksi dan hak anak untuk belajar dan bermain hingga meningkatkan risiko kekerasan dalam berbagai bentuk akibat dampak lanjutan dari peningkatan beban hidup. Oleh karena itu, pemerintah harus melindungi kehidupan rakyat termasuk perempuan, anak dan lansia dengan kebijakan yang strategis dan berkeadilan gender. Kedua, persoalan kenaikan harga BBM akan memicu meningkatnya persoalan yang lebih luas bagi persoalan ekonomi maupun sosial politik yang lain. Lebih daripada sekadar meningkatnya biaya bahan bakar, kenaikan BBM juga telah memicu kenaikan harga bahan baku, bahkan sebelum kenaikan ini ditetapkan sehingga pemerintah harus segera menerapkan kebijakan subsidi tepat sasaran. Ketiga, pemerintah harusnya menghapus pos-pos anggaran APBN yang berujung pada pemborosan. Soal beratnya beban APBN, saya yakin masih ada jalan untuk melakukan koreksi, di antaranya dengan melakukan efisiensi belanja pemerintah serta perbaikan strategi pengelolaan energi.(05/09/22)
Discussion about this post