Oleh: Roudhatul Salsabilla
(Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia Universitas Andalas)
Disahkannya Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) pada awal tahun 2025 menimbulkan berbagai respon dari masyarakat sipil. Salah satu keresahan datang dari para pegiat seni, akademisi, dan sastrawan. Hal ini membuat kekhawatiran potensi kembalinya praktik-praktik otoriter yang pernah ada dalam catatan sejarah Indonesia. Praktik otoriter yang pernah terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru telah membuktikan bagaimana masa itu tentara juga mengawasi dan mengatur gerak-gerik masyarakat salah satunya ialah mengatur apa bacaan masyarakat dan pelarangan buku-buku dan juga sensor.
Sensor terhadap karya sastra bukanlah hal baru yang pernah terjadi. Hal ini juga selalu terjadi dari orde lama, orde baru, reformasi hingga sekarang. Di era orde lama, pemerintah melakukan penyensoran yang bersifat ideologis. Buku-buku yang bersifat anti revolusi atau kolonialis dilarang beredar. Pada era sekarang ini penyensoran karya juga ada terjadi, tetapi tidak banyak yang mengetahui, namun masa ini adalah era kebebasan berekspresi. Dengan revisi UU TNI yang baru, muncul kekhawatiran kebebasan berekspresi di negara ini akan mengulang kisah lama yang ada. Ketika militer memiliki kendali dalam urusan sipil, kontrol terhadap informasi akan semakin ketat.
Dalam sejarah sastra Indonesia, Orde Baru merupkan masa yang kelam yang penuh tekanan terhadap kebebasan berekspresi, melalui kekuasaan militer dan penyensoran melakukan pembungkaman terhadap karya sastra dan pemikiran kritis. Buku-buku yang dianggap berbahaya, yang bertentangan dengan ideologi negara dibakar, dilarang beredar, atau ditarik dari peredaran. Bahkan para penulis juga mengalami penderitaan, penulis yang dianggap menganggu diasingkan, di penjara, dan juga diawasi dengan ketat. Masa itu yang menjadikan mengapa buku-buku ditarik adalah buku-buku yang beraliran kiri dan berbahaya menurut pemerintahan. Kini, ketika RUU TNI disahkan membuka peluang bagi militer untuk lebih aktif dalam urusan sipil, hal ini akan berdampak pada kebebasan berekspresi, ingatan akan praktik sensor kembali membayang masyarakat masa kini.
Sensor karya sastra sudah ada sejak masa dulu, namun kejadian pembredelan yang paling aktif terjadi pada masa pemimpinan Orde Baru, yaitu masa Suharto. Setelah peristiwa G30S PKI, negara segera membungkam berbagai hal mengenai “kiri”. Hal ini dilakukan karena bertentangan dengan ideologi negara. Pembungkaman ini juga terjadi kepada karya dan penulis masa itu. Salah satu yang paling terkenal adalah pelarangan beredarnya karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Karyanya yang dibredel ialah Tetralogi Pulau Buru, Hoakiau di Indonesia, Mereka Jang Dilumpuhkan, Di Tepi Kali Bekasi, dan lain-lain . Kedekatan Pram dengan sayap kiri atau LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) cukup menjadi alasan bagi pemerintah untuk melabelinya sebagai orang yang berbahaya. Ia dipenjara tanpa pengadilan dan tidak diperbolehkan menulis. Buku-bukunya dilarang terbit hingga era reformasi.
Tidak hanya Pram, berbagai buku lainnya juga menjadi daftar buruan untuk dihilangkan. Pemerintah juga menerbitkan daftar buku terlarang yang memuat sejarah, pemikiran politik dan sastra yang dianggap menggoyahkan kesatuan negara. Beberapa di antaranya: Siti Djamilah (Jubaar Ajub), Api (Rijono Praktiko), Indonesia di Bawah Sepatu Lars (Sukamdani Indro Tjahjono), karya-karya Wiji Thukul, dan puisi-puisi antalogi politik perlawanan. Dalam masa ini bukan hanya penulis saja yang dikejar-kejar pemerintah, namun pembaca yang membaca karya yang dilarang juga dianggap sebagai sebuah kejahatan.
Indonesia bukan negara satu-satunya yang pernah mengalami pembredelan, pada negara yang memiliki sistem otoriter, sensor juga terjadi. Pada negara Uni Sovyet, pemerintah melarang hal-hal yang bertentangan dengan ideologi komunis. Pada negara Tiongkok, melarang hal-hal mengenai komunis. Melihat kejadian di atas bisa dilihat jika negara mulai membatasi kebebasan literasi, ruang diskusi akan tiada dan tidak ada lagi pemikiran kritis.
Revisi UU TNI yang baru disahkan membuat kekhawatiran kemungkinan militer kembali secara aktif dalam ranah sipil, termasuk kebudayaan dan pendidikan. Meskipun tidak secara eksplisit tidak menyebutkan kewenangan untuk menyensor karya sastra atau hal budaya lainnya. Perluasan peran TNI dalam urusan non-militer membuka celah yang bisa disalahgunakan. Dalam masa seperti itu, literatur atau para penulis berada dalam posisi rentan, mereka yang selama ini menjadi penyuara keadaan sosial, pengkritik keadaan negara, namun ketika militer diberi ruang dalam urusan ini bisa kembali dibungkam melalui tindakan yang bernarasi untuk menjaga keamanan negara.
Beberapa dampak yang mungkin akan terjadi seperti sensor diri penulis yang memilih untuk tidak berurusan dengan menulis isu sosial karena takut terjerat hukuman, lalu karya sastra yang muncul setelahnya adalah karya yang memilih untuk aman, maksudnya karya yang dihasilkan tidak memepertanyakan kekuasaan, ini akan menyebabkan sastra dibungkam. Para penulis, dosen, sastrawan yang membahas tema kekuasaan, kritik dan militer bisa mendapat tekanan atau intimidasi. Penulis era sekarang yang dalam karyanya membahas sejarah Indonesia antara lain, Leila S. Chudori, dalam karyanya Laut Bercerita yang membahas mengenai kerusuhan Mei 98’, Pulang dan Namaku Alam yang membahas bagaimana tapol yang melarikan diri ke luar negeri dari kejaran pemerintah. Okky Maddasari dalam karyanya Entrok yang membahas era kekuasaan Suharto.
Dengan kondisi seperti itu, pengulangan sejarah karya yang dibredel bisa saja terjadi, peran militer dalam ranah sipil bukan hanya ancaman ruang demokrasi, tetapi juga pada ranah kebebasan berekspresi. Revisi UU TNI tidak secara langsung menunjuk perihal karya, namun ada ruang dari pelonggaran peran militer yang bisa menjalar ke berbagai sektor, termasuk ke ruang literasi. Saat militer mulai ikut campur dalam urusan sipil, logika kekuasaan pun ikut masuk seperti ketundukan dan pengawasan.