Ketika Berbagi
Cerpen: Ali Usman
Mengenang itu semua, aku putuskan untuk tidak cerita apa pun kepada keluarga. Aku pendam sendiri. Tapi aku merasa menjadi orang lain. Ada yang berubah dalam diriku. Diri ini terasa tidak berharga lagi. Perasaan was-was selalu menghampiriku. Dalam keadaan berkecamuk. Aku ambil keputusan untuk periksa diri kepada dokter.
“Gimana, Dok? Apa yang terjadi pada saya?”
“Tidak apa-apa, Ris. Alhamdulillah sehat.” Nada suara agak sumbang.
Aku terdiam setelah mendengar perkataan Bu Tantri. Aku tidak yakin. Hati ini bertanya-tanya. Mungkinkah Bu Tantri membohongiku? Tegakah seorang dokter menyembunyikan penyakit yang diderita pasiennya? Aku semakin resah. Pikiranku semakin berkecamuk.
***
Tok-tok… tok-tok… tok-tok… “Assalamu’alaikum! Assalamu’alaikum!”
“Bu…! Risa, Bu!” Sahut suara dari depan pintu.
“Wa’alaikumussalam.” Jawaban dari dalam rumah. Membuka pintu.
“Alhamdulillah. Kamu pulang, Ris. Kemana aja? Ibu khawatir. Nggak biasanya kamu pulang telat.
“Nggak kemana-mana kok, Bu.” Balas Risa sambil menunduk. Berlalu menuju kamar.
Ibu Risa melongo. Jawaban Risa menyematkan tanda tanya di pikirannya. Tatapan mata penuh tanya mengiringi langkah Risa menuju kamar.
***
Di kamar. Risa menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur. Risa tetap merasa tidak tenang. Gelisah. Perasaan ini selalu menghantui pikirannya. Ia semakin tidak berani cerita kepada keluarga. Perasaan takut pun menghampirinya. Kalau diceritakan mereka pasti heboh dan memaki-makiku. Kalau seperti itu Risa bisa tambah down. Prustasi plus tertekan.
Karena semakin tidak tenang, Risa kembali memeriksa dirinya ke klinik. Hasil diagnosa membuat jiwa Risa goncang. Tidak percaya. Apa yang ditakutkannya benar-benar terjadi ia tak sanggup lagi menahan air mata yang sudah menganak sungai.
Sepanjang perjalanan pulang dari klinik, ia tak bisa menghentikan tangisnya. Ia tak tahu. Kemana hendak pulang?
“Taksi… taksi…!” seraya melambaikan tangan menyetop taksi yang lewat.
“Di antar kemana Neng?” Gas sudah ditancap. Taksi melaju dengan kencang.
“Kemana-mana aja Pak yang penting saya senang.”
“Eit…!” seraya ngerem. “Aduh Neng… mau kemana? Jawabannya kok gitu. Saya tuh nggak tau Neng, kemana-mana itu, kemana?”
“Sudahlah Pak. Jalan aja dulu. Bawa saya jalan-jalan. Terserah Bapak.”
Sopir taksi memukul jidadnya seraya menancap gas. Melemparkan pandangan ke kaca pemantau penumpang. Tampaklah bayangan seorang gadis yang bingung dan gelisah.
Hening. Taksi melaju dengan tenang. Sopir taksi geleng-geleng kepala. Tak lama kemudian, sampai mereka di Pantai Padang.
“Stop…!! Di sini aja Pak. Saya turun di sini. Berapa Pak?” Sembari merogoh tas dan mengambil dompetnya.
“Sepuluh ribu aja Neng” Risa memberikan selembar uang sepuluh ribuan.
Ia meninggalkan taksi menuju pantai diiringi tatapan kerut sopir taksi. Di tepi pantai. Ia berteriak sejadi-jadinya. Sekuat suara menghantam ombak ditumpahkan sesak di dadanya.
“Tidaaaaaaak…! Kenapa ini harus terjadi pada sayaaa? Tersungkur dan menangis. Hampir saja Risa membuang tubuhnya ke laut. Namun, ada sesuatu yang menahannya. Jangan! Jangan Risa. Jangan kau lakukan itu. Bunuh diri tidak akan menyelesaikan masalah. Bunuh diri adalah tindakan yang ceroboh dan konyol. Setan akan menertawakanmu jika hal konyol itu kau lakukan.
Risa bengong. Suara itu menyadarkannya. Entah dari mana suara misterius itu. Tapi, suara itu sangat dekat dengannya. Sedekat urat nadinya. Inikah suara nuraniku yang suci? Tempat dimana ada suara ilahirabbi. Mengingatkanku dari kekonyolan ini. Terdiam.
Risa merasa itu hari terburuk dalam hidupnya hingga ia ingin mati saja. Ia jadi malas shalat. Walau tidak pernah ia tinggalkan. Namun, seringkali di akhir waktu. Sempat bersarang di pikirannya bahwa Allah tidak adil kepadanya. Ujian seberat ini? Ia seperti tidak ikhlas. Aku sudah menutup aurat dengan rapat, sudah dua tahun berdakwah. Kok masih begini? Gugat jiwa Risa kepada Sang Khaliknya.
***
Ketika kuliah semester dua, Risa mulai ingin memakai jilbab. Walaupun masih seadanya. Setelah ikut muhasabah Forum Studi Islam di kampus, barulah hatinya bergetar dan timbul tekad ingin mendalami Islam. Ia memperbaiki jilbabnya yang tadi seadanya jadi cukup panjang. Di semester tiga, Risa rutin mengaji dan belajar Islam. Ghiroh-nya semakin tinggi. Semangatnya membara. Hafalan Alquran tiap hari bertambah. Ia suka membaca semua buku keislaman.
Satu tahun kemudian, ia diamanahkan sebagai Koordinator Keputrian di Forum Studi Islam. Organisasi yang digeluti menjadikannya semakin istiqomah dan qonaah serta amanah terhadap tugas dan tanggung jawab yang diberikan. Hari-hari yang dilalui sangat menyenangkan hatinya. Usai rapat di Forum, Risa segera pulang karena hari sudah sore. Ia buru-buru pulang takut kemalaman di jalan. Jarak rumah ke kampus lumayan jauh. Kira-kira memakan waktu setengah jam perjalanan.
Di perjalanan, tiba-tiba angkot mogok. Penumpang lain langsung pindah ke angkot lain. Tapi, Risa jalan sambil menunggu bus. Ia pikir tanggung kalau naik angkot lagi. Sudah beberapa lama menunggu bus, tidak kunjung datang.
Tak lama kemudian, lewat seorang laki-laki. Kira-kira umur 30 tahun. Laki-laki itu berpapasan dengan Risa.
“Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikumussalam” seraya menoleh ke sumber suara.
“Numpang nanya dek. Tau alamat ini?” seraya menatap dan menyodorkan secarik kertas.
Risa sempat melihat mata laki-laki itu. Ia merasa aneh melihat wajah orang tersebut. Tapi, tiba-tiba Risa merasa pusing. Pandangannya berkunang-kunang dan tubuhnya roboh ke arah laki-laki itu. Tak sadarkan diri.
Saat azan subuh, Risa terbangun di tempat yang agak tersembunyi. Pakainnya tetap rapi seperti tidak terjadi apa-apa. Tapi, uang dan dompetnya hilang. Risa diam. Terpaku. Bengong seperti orang linglung. Ia termenung dengan pandangan kosong.
Usai shalat subuh ia masih termenung dan melamun sampai waktu shalat dhuha.
“Assalamu’alaikum Mbak?” Suara Marbot masjid memecah kesunyian.
“Apa?” menoleh ke arah suara. Terdiam.
“Wa’alaikumsalam” sahutnya kemudian setelah tersadar.
“Kenapa melamun Mbak? Ada masalah ya?” Risa cengengesan dengan seutas senyum getir dan kecewa.
“Nggak ada apa-apa Ustadz. Maaf mengganggu. Assalamu’alaikum,” sambil berdiri menuju pintu keluar masjid.
“Wa’alaikumsalam” dengan nada lambat Ustadz Marbot masjid menimpali seraya memperhatikan tingkah Risa.
***
Aku curiga sepertinya ada sesuatu yang lain di diriku. Aku cemas. Pertanyaan-pertanyaan buruk muncul di benakku. Apakah aku diperkosa Aku sangat takut. Aku ingat keluarga di rumah. Ibu sedang sakit-sakitan dan ayah pun penyakitnya komplikasi.
Aku benar-benar merasa sendirian. Walau lingkungan tidak ada yang tahu, tapi aku merasa mereka menghinaku. Kalau teman-teman tertawa, aku merasa ditertawakan dan merasa dicibirkan. Aku merasa orang yang paling kotor di dunia. Merasa terpojok dan tersisih. Aku menjauh dari mereka. Keluar dari pengajian. Tidak mau bicara dan terima telepon dari siapa pun. Aku tidak ingin orang lain tahu.
Dengan keluarga aku selalu menghindar. Berangkat pagi-pagi sekali dan pulang malam. Tiba di rumah, langsung masuk kamar. Mengurung diri dan menangis. Interaksi dengan keluarga sangat kecil. Ibu sempat bertanya dengan sikapku, tapi selalu aku katakan tidak apa-apa.
***
Setelah diperiksa di klinik itu, Risa merasa terpukul karena malu dan takut dikucilkan. Ia tak mau cerita kepada siapa pun tentang kejadian buruk yang dialaminya. Ia belum berani untuk cerita. Seorang ustadz, seniornya di kampus, diam-diam memperhatikan tingkah Risa. Ia melihat ada yang aneh pada Risa. Suatu ketika Ustadz Amin menyapa dan mengajak Risa untuk berkenalan. Beberapa minggu setelah perkenalan itu, mereka sering komunikasi.
“Ada apa Ris? Sepertinya kamu ada masalah?”
Risa terdiam. Ia terkejut dengan pertanyaan itu. Hening.
“Ada apa Ris? Ceritalah! Agar kamu tidak seperti ini.”
Mendengar bujukan Ustadz Amin, akhirnya pertahanan Risa untuk diam jebol. Ia menceritakan semua tanpa ada yang ditutup-tutupi. Risa memilih bercerita dengan Ustadz Amin karena dari segi agama lebih paham.
Risa merasa lega setelah bercerita. Di luar dugaan, Ustadz Amin tidak melihat Risa dengan hina. Ia justru mengatakan banyak hal yang membuat Risa melihat dan sisi lain. Hikmah di balik kejadian itu.
“Astagfirullah Ris, kamu dizalimi. Semua ini bukan salah kamu. Dan tentu saja bukan salah Allah. Jangan sampai cobaan itu membuat kamu lari dari Allah, tapi justru sebaliknya.” Risa terdiam. Untuk kedua kalinya ia tersadar setelah ia diingatkan oleh nuraninya. Bukan aku yang hina tapi, sipelaku itu yang pasti akan diazab Allah, kalau tidak di dunia tentu di akhirat.
***
Beberapa hari berlalu. Setelah mendengar nasihat Ustad Amin, Risa telah menemukan kembali kepercayaan dirinya yang hilang, ia mulai kembali bergabung di pengajiannya. Amanah yang ada di pundaknya sudah mulai dikerjakan lagi yang sempat ia tinggalkan.
“Assalamu’aalaikum, Kaifa haluk Ris!” Sapa Ustadz Amin suatu ketika. “Alhamdulillah bilkhair ustadz” diiringi senyuman.
“Ris. Saya mau bicara denganmu sebentar. Kayaknya urgen dan serius” dengan nada datar.
“Masalah apa Ustadz?” Pikiran Risa dihampiri tanda tanya.
“Masalah kita Ris” seraya menunduk dan malu-malu.
“Risa… Apakah kamu …” Hening. “Apakah kamu…. kamu mau jadi istri saya?” Risa merasa ditantang oleh pertanyaan itu.
Diam. Ternyata saya tidak dibiarkan sendirian oleh Allah menjalani hari-hari ini. Apakah dia mau menerima saya apa adanya? Pertanyaan itu meragukan Risa. Risa mengangkat kepalanya dan memandang Ustadz Amin. Terlempar seutas pengharapan untuk Ustadz Amin. (*)
Biodata Penulis:
Ali Usman lahir di Padang, 25 Februari 1982. Memiliki satu istri dan empat orang mujahid dan mujahidah. Sehari-hari bertugas sebagai Guru Bahasa Indonesia di SMP Perguruan Islam Ar Risalah (Islamic Boarding School) Kota Padang Sumatera Barat. Pernah beberapa kali terpilih sebagai kepala sekolah berprestasi tingkat Kota Padang dan Provinsi Sumatera Barat.
Sastra dan Nasib Kaum Perempuan
Oleh:
Azwar Sutan Malaka, M.Si.
(Penasihat Pengurus FLP Wilayah Sumatera Barat dan
Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta.)
Cerpen “Ketika Berbagi” karya Ali Usman merupakan cerpen yang menarik karena bercerita tentang masalah perempuan yang sangat jarang diangkat di dalam karya sastra. Tema sensitif dalam cerpen ini jarang diangkat karena biasanya dalam realitas kehidupan yang muncul justru penghakiman kepada perempuan-perempuan yang justru sedang menghadapi kekerasan seksual ini. Cerpen ini semakin menarik karena tema sensitif dalam cerpen ini ditulis oleh penulis laki-laki dan berasal dari komunitas sastra religius seperti Forum Lingkar Pena (FLP).
Cerpen “Ketika Berbagi” bercerita tentang seorang Risa, aktivis perempuan yang aktif di organisasi Keputrian Forum Studi Islam di kampusnya. Risa semenjak semester dua kuliah sudah memilih jalan aktivis untuk berpartisipasi memperbaiki kondisi umat manusia, memperbaiki peradaban. Ia berdakwah sambil terus belajar nilai-nilai agama. Sembari kuliah, Risa terus beraktivitas menggerakkan dakwah di kalangan perempuan sebagai ketua di organisasi Keputrian Forum Studi Islam.
Pada suatu malam yang naas bagi Risa, angkot yang ditumpanginya menuju rumahnya mogok dan ia melanjutkan perjalanan pulang ke rumah dengan jalan kaki. Ia berani jalan kaki pada malam itu karena merasa rumahnya tidak terlalu jauh. Di tengah jalan, dia bertemu seorang laki-laki yang menyodorkan sebuah alamat padanya pada sebuah kertas. Ternyata kertas itu berisi obat bius sehingga Risa tidak sadarkan diri. Laki-laki jahat itu membawanya ke sebuah tempat dan memperkosa Risa serta menculik uang beserta dompet Risa.
Risa sebagai perempuan baik-baik merasa kecewa karena Tuhan membiarkan laki-laki kurang ajar memperkosanya. Padahal, menurutnya dia sudah berusaha menjaga dirinya, menjaga auratnya dengan berhijab dan juga menjaga pergaulannya, tapi mengapa Allah SWT masih membiarkan takdir terburuk dan sangat hina bagi perempuan menimpa dirinya? Inilah realitas hidup, kejadian yang menimpa Risa walaupun hanya dalam kisah fiktif dalam cerpen “Ketika Berbagi” karya Ali Usman ini akan, tetapi sangat mungkin terjadi dalam kehidupan ini.
Berdasarkan data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dalam ranah personal yang tercatat di lembaga layanan mencapai 2.363 kasus pada 2021. Di antara kasus itu, kasus perkosaan mendominasi. Tercatat, jumlah kasus perkosaan terhadap perempuan mencapai 597 kasus atau 25% dari total kasus. Kasus pemerkosaan dalam perkawinan (marital rape) menempati posisi kedua dengan jumlah mencapai 591 kasus. Selanjutnya, kasus incest (inses) dengan jumlah mencapai 433 kasus. Incest berarti hubungan seksual antara orang-orang yang mempunyai hubungan darah atau hubungan bersaudara dekat yang dianggap melanggar adat, hukum, dan agama. Lalu, sebanyak 374 kasus merupakan pelecehan seksual. Kasus persetubuhan dan ranah siber tercatat masing-masing sebanyak 164 kasus dan 108 kasus. Sebanyak 63 kasus merupakan pencabulan. Adapula kasus perbudakan seksual sebanyak 17 kasus, eksploitasi seksual 14 kasus, dan percobaan perkosaan 2 kasus (Katadata, https://databoks.katadata.co.id/ 2022).
Berdasarkan data tersebut, sangat jelas bahwa kasus kekerasan seksual terhadap perempuan sangat tinggi. Berdasarkan data dari Komnas Perempuan, kasus yang dilaporkan saja menjadi lebih dari 2000 kasus, apalagi kasus-kasus yang tersembunyi, kasus-kasus yang tidak terungkap dan tidak dilaporkan korban dengan berbagai alasan. Alasan utama tentu saja karena korban merasa malu dan takut diintimidasi masyarakat karena dianggap perempuan hina walaupun sebenarnya dia adalah korbannya.
Kembali kepada cerpen “Ketika Berbagi” karya Ali Usman yang dimuat pada Kreatika edisi ini, kita bisa melihat beberapa usaha penulis untuk memperjuangkan nasib perempuan dalam karya sastra. Tania Intan dan Ferli Hasanah (2021) dalam tulisan mereka berjudul “Resiliensi Perempuan Korban Kekerasan Seksual dalam Metropop Scars and Other Beautiful Things karya Winna Efendi” yang dimuat dalam Jurnal Belajar Bahasa Volume 6 Nomor 2 tahun 2021 menyampaikan bahwa perjuangan perempuan melawan kekerasan telah dilakukan Intan Andaru melalui novel Perempuan Bersampur Merah. Intan Andaru mengungkap bahwa stigma dan pandangan negatif masyarakat pada para tokoh perempuan dilawan melalui perilaku resilien mereka. Sementara itu, Margareth Widhy Pratiwi melalui novel Kinanti juga mengangkat bahwa kelemahan biologis perempuan dimanfaatkan oleh pelaku kekerasan namun pada akhirnya tokoh perempuan berusaha untuk melawan dengan keterbatasannya.
Pada karya-karya sebelumnya perjuangan perempuan juga dapat ditemukan dalam perjuangan Nyai Ontosoroh atau Sanikem salah satu tokoh dalam The Buru Quartet nya Pramoedya Ananta Toer. Dalam cerita itu, Nyai Ontosoroh ditampilkan sebagai perempuan super dengan segala idealisme dan perjuangannya. Nyai Ontosoroh seakan-akan seorang perempuan yang mustahil hidup di zaman Kolonial Belanda meskipun dia ada. Di tangan Nyai Ontosoroh, Herman Mellema harus bertekuk lutut. Padahal, Herman Mellema adalah pria Belanda yang telah menjadikannya gundik mainan tidurnya. Di tangan Nyai Ontosoroh juga, beberapa pejabat Belanda tunduk tidak memandangnya sebagai perempuan pribumi biasa, mungkin sebagai dewi kakak beradik dengan Ratu Belanda. Nyai Ontosoroh adalah perempuan pribumi yang mampu menaklukkan banyak orang Belanda, Prancis, dan Pribumi Hindia. Nyai Ontosoroh adalah perempuan yang mampu mengendalikan kampung perusahaan besar dengan ratusan anak buahnya.
Dalam karya lain, ada tokoh Cok, perempuan yang digambarkan Ayu Utami sebagai perempuan yang jujur, terus terang, blak-blakan, namun juga nakal dan liar. Dalam novel Larung, Cok digambarkan oleh penulis sebagai perempuan yang mampu menceritakan persoalan tabu teman-temannya Yasmin dan Saman dan juga Laila dan Sihar.
Munculnya perjuangan-perjuangan tentang persoalan hidup perempuan dalam karya sastra karena karya sastra pada dasarnya adalah media perjuangan itu sendiri. Nasib tragis yang dialami perempuan dalam dunia nyata disuarakan oleh pengarang-pengarang dalam karyanya. Dalam cerpen “Ketika Berbagi” ini, sekali lagi usaha Ali Usman menyuarakan persoalan sensitif dunia perempuan perlu diapresiasi. Ia peduli terhadap hal-hal yang sangat tabu dan jarang dibicarakan di dunia perempuan. Ali mengajak pembaca untuk peduli pada korban-korban kekerasan seksual, bukan malah menghina perempuan korban pemerkosaan tersebut.
Keberpihakan penulis pada nasib perempuan terlihat dari sikap Ustad Amin yang bersedia menikahi Risa korban pemerkosaan demi menjaga nama baik Risa yang memang baik itu. Cerpen ini tentu saja memberikan solusi yang mungkin hanya ada dalam dunia khayal pengarang. Dalam dunia nyata, sulit memberikan solusi baik untuk perempuan-perempuan korban kekerasan seksual. Solusi yang seperti hadiah Tuhan dari langit untuk Risa ini tentu jalan pintas yang ditawarkan Ali. Hal ini membuat solusi instan ini menjadi kelemahan cerita ini. Seandainya masih ada ruang dan tempat mungkin Ali bisa mengeksplorasi cerita untuk memberikan solusi dari masalah tabu yang dihadapi Risa. Walau ada kekurangan, tapi cerpen ini luar biasa, peduli pada persoalan-persoalan perempuan yang lemah dan berani mengangkat hal-hal tabu dalam dunia ralitas kita. (*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini disediakan untuk penulis pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post