Rumput yang Tak Pernah Bergoyang
Cerpen: Adelia Febriyossa
“Noorsaid…” pekik Dalilah.
“Noorsaid, kamu di mana?” teriak Dalilah lagi.
“Iya Bu, sebentar saya ke sana,” jawab Noorsaid.
Tergopoh-gopoh Ia menuju ruangan Dalilah sembari membawa beberapa tumpukan rim kertas HVS di tangannya.
“Lama sekali kamu!” bentak Dalilah.
“Maaf saya tidak mendengar panggilan Ibu karena tadi sedang serah-terima tumpukan ini dengan Mang Ujang” jawab Noorsaid lirih.
“Kalau saya panggil ya langsung kes ini, ini lho kamu selalu saja tidak dengar apa yang saya bilang. Sengaja yo?” tanya Dalilah dengan sorot mata tajam.
“Ndak Bu, mana berani saya,” jawab Noorsaid menunduk.
“Untuk apa itu?” tunjuk Dalilah ke tumpukan yang dibawa Noorsaid.
“Anu..itu..anu…Bu tumpukan rim kertas HVS. Tadi Mang Ujang ngasih ke saya untuk disusun di lemari resepsionis soalnya beliau ganti shift dengan saya dan mau langsung pulang katanya,” jawab Noorsaid mantap.
“Yowes, sana lanjutkan lagi pekerjaanmu!” usir Dalilah.
“Maaf Bu, kalau boleh tahu ada apa Ibu memanggil saya ke sini?” tanya Noorsaid penasaran.
“Oh iya hampir saja lupa, minggu depan kampus akan mengadakan seminar kesehatan yang akan dihadiri oleh Pejabat Daerah dan perwakilan asosiasi profesi. Jadi, mulai minggu depan kamu stand by di kampus untuk mengurusi perlengkapan acara” jawab Dalilah tegas.
“Tapi Bu, minggu depan saya libur. Ada kegiatan Bu, Mang Ujang piket minggu depan Bu, mungkin beliau bisa membantu” ucap Noorsaid.
“Ujang sudah saya tugaskan untuk menyebarkan undangan untuk tamu dan Pak Mamit akan menjaga di pos satpam” suara Dalilah mulai meninggi.
Dalilah kemudian melanjutkan ucapannya lagi “Kamu akan saya tugaskan di bagian perlengkapan bersama Wongso resepsionis. Untuk penjelasan lebih lanjut akan disampaikan di rapat nanti, kamu bisa geser jadwal liburmu setelah kegiatan ini selesai”.
“Bu, tapi maaf sebelumnya bukan saya mau melanggar perintah Ibu namun minggu depan saya ada perlombaan,” Noorsaid mencoba meyakinkan Dalilah untuk mengubah keputusannya.
“Pertandingan apa memangnya sebegitu penting bagimu. Kegiatan kampus ini juga lebih penting!” gerutu Dalilah.
“Ingat, kamu hanya seorang Office Boy di sini. Kamu dibawah aturan saya. Saya tidak suka ada yang melanggar perintah dan suka membuat alasan yang tidak penting seperti ini” lanjut Dalilah.
“Tapi Bu….” Noorsaid memelas.
“Sudah…sudah.., tidak ada lagi tapi tapi. Sana kamu lanjut kerja. Jangan lupa minggu depan bertugas di kegiatan seminar” Dalilah menutup percakapan.
Noorsaid berjalan keluar dari ruangan Dalilah dengan gontai. Minggu depan ia akan mengikuti Lomba Tahfidz Tingkat Nasional. Ia merupakan perwakilan dari Madura, kampung halamannya. Jika menang, ia akan dikirim ke Kairo Mesir untuk melanjutkan Pendidikan menjadi seorang Hafidz Quran. Noorsaid berpikir bagaimana caranya ia tetap bisa pulang kampung, namun pekerjaannya disini tidak terbengkalai. Noorsaid seketika itu memiliki ide.
“Saya harus menemui Mang Ujang atau Mas Wongso barangkali mereka bisa membantu menggantikan tugas saya pada saat seminar nanti,” Noorsaid bergumam dalam hati.
Noorsaid seketika sampai di resepsionis, Ia langsung meletakkan tumpukan rim kertas HVS di dekat meja Wongso, sang resepsionis yang kebetulan sedang duduk di meja kerjanya sambil mendengarkan sebuah lagu.
Tubuhku terguncang
Dihempas batu jalanan
Hati tergetar menatap
kering rerumputan
Perjalanan ini pun
Seperti jadi saksi
Gembala kecil
Menangis sedih …
“Hai Boy, kenapa mukamu masam sekali seperti cuka saja,” sapa Wongso dengan nada mengejek.
“Ah, Mas Wongso jangan mengejek begitu lah, saya sedang galau ini,” balas Noorsaid sambil menyimpan kertas HVS di lemari resepsionis.
“Ayolah, jangan bawa perasaan begitu. Coba dengarkanlah laguku ini mungkin bisa membantu meredam kegalauan hatimu,” Wongso tertawa renyah sambil bersenandung kecil.
Barangkali di sana
ada jawabnya
Mengapa di tanahku terjadi bencana
Mungkin Tuhan mulai bosan
Melihat tingkah kita
Yang selalu salah dan bangga
dengan dosa-dosa
Atau alam mulai enggan
Bersahabat dengan kita
“Saya sedang tidak ingin bercanda Mas Wongso. Jika Mas Wongso tidak keberatan, saya ingin meminta bantuanmu,” ucap Noorsaid dengan mata berkaca-kaca.
“Mau meminta bantuan apa?” Wongso mulai memperhatikan Noorsaid dengan serius.
Kemudian, Wongso melanjutkan kembali kata-katanya “Kalau begitu coba saja kau tanya pada rumput yang bergoyang seperti lagu itu. Barangkali, ia dapat membantumu” Wongso tertawa kencang.
Coba kita bertanya pada
Rumput yang bergoyang – (Ebiet G. Ade)
“Tuh kan, lagi-lagi Mas Wongso mengejek saya. Mana bisa bertanya pada rumput, kan mereka tidak bisa menjawab. Paling nanti yang jawab adalah ternak yang makan rumput,” jawab Noorsaid ketus.
“Haha, kau ini serius sekali menanggapinya makanya hidupmu seperti itu-itu saja dari tahun ke tahun. Ingat anak muda, usiamu baru 16 tahun tetapi kau sudah seperti Bapak-Bapak 40 tahunan,” balas Wongso tidak mau kalah.
“Ya sudahlah, terserah Mas Wongso saja menanggapi hidup saya seperti apa, tetapi yang paling terpenting adalah saya ingin hidup lebih baik di masa depan,” Noorsaid menanggapi dengan mantap.
Noorsaid melanjutkan kembali hal yang ingin disampaikannya kepada Wongso “Begini Mas, tadi sewaktu saya masuk ke ruangan Bu Dalilah beliau menyampaikan bahwa minggu depan akan ada seminar kesehatan di kampus kita ini. Saya diminta untuk membantu bagian perlengkapan sebelum dan setelah kegiatan,” Noorsaid menjelaskan kepada Wongso.
“Ya bantu saja lah, kan memang tugasmu membantu semua kegiatan disini,” jawab Wongso.
“Bukan begitu Mas, begini… saya sangat-sangat bersedia membantu kegiatan yang ingin diadakan Bu Dalilah, tetapi masalahnya minggu depan adalah jadwal libur saya dan saya akan mengikuti perlombaan Hafidz Quran yang ada di Madura,” Noorsaid menjelaskan lebih lanjut.
“Jadi, kau ingin pulang kampung minggu depan dan mengikuti Lomba itu?” selidik Wongso.
“Betul sekali Mas Wongso,” senyuman kecil mengembang di bibir Noorsaid.
“Terus bagaimana tugas Bu Dalilah?” tanya Wongso datar.
“Nah itu Mas, tadi Bu Dalilah memberitahu bahwa nanti saya akan bertugas bersama Mas Wongso di bagian perlengkapan. Jadi, saat kegiatan berlangsung apakah Mas Wongso bisa membantu mengambil-alih atau menggantikan tugas saya di perlengkapan?” Noorsaid bertanya penuh harap.
“Kau kan tahu Said pekerjaan kita di sini sangat banyak apalagi di resepsionis hanya ada saya yang juga merangkap admin, bisa terbengkalai pekerjaanku jika semua tugasmu saya yang handle. Jika kau pergi jumlah panitia pun berkurang, kasihan kami semua Noorsaid jika kau tak ada,” jawab Wongso tegas.
“Lalu bagaimana dengan perlombaanku Mas? Hanya itu satu-satunya harapanku untuk bisa menggapai mimpi. Punya mimpi yang bisa diwujudkan adalah suatu hal besar yang paling saya syukuri dalam hidup ini. Ini adalah kesempatan emas yang tidak akan saya lewatkan begitu saja,” ucap Noorsaid sembari menyeka air mata yang mulai membasahi pipinya.
Noorsaid melanjutkan ucapannya “Gaji disini tidak mencukupi untukku melanjutkan sekolah bahkan untuk makan sehari-hari di sini masih pas-pasan. Saya juga masih harus mengirim uang berobat Emak di kampung. Untuk itu Mas, saya harus mengambil setiap kesempatan yang ada jika tidak saya akan menyesal seumur hidup.”
“Ya sudah, kerjakan saja dulu tugasmu sebelum kau libur. Nanti jika memang bisa akan kubantu,” ucap Wongso sembari berjalan menuju pintu keluar.
Malam harinya mata Noorsaid tak mau terpejam. Bagaimana pun Ia harus mengikuti dan memenangkan perlombaan tersebut agar kelak hidupnya menjadi lebih baik. Tidak mungkin Noorsaid membantah aturan yang dibuat Bu Dalilah. Beliau termasuk pimpinan yang keras, tidak ada ampun bagi karyawan yang menentang dan tidak mengikuti aturannya.
“Sepertinya tidak ada yang bisa membantuku saat ini. Apa benar yang dikatakan Mas Wongso sebaiknya bertanya saja pada rumput yang bergoyang. Mungkin mereka bisa membantu,” gumam Noorsaid yang tampak putus asa.
Beberapa hari kemudian
“Sini, sini, mari ikut saya kesini Pak Ujang… yang ini harus diangkat,” Wongso menunjuk pojok ruangan akademik yang dipenuhi kursi dan meja.
“Baik Mas Wongso, semua kursi dan meja ini yang harus dipindahkan ke aula kan ya?” tanya Ujang.
“Iya Betul Pak, mari saya bantu” Wongso dan Ujang mulai mengangkat kursi.
Dari ruangan lain, sebuah suara terdengar jelas memanggil dua orang karyawan yang sedang bekerja memindahkan meja dan kursi.
“Saya kan sudah menyuruh Noorsaid yang mengerjakannya, mengapa anda berdua yang mengerjakan?” bentak Dalilah.
“Benar Bu, tapi kami berdua juga ikut membantu Noorsaid karena saat ini Noorsaid belum datang” Ujang menjelaskan kepada Dalilah dengan nada takut.
“Noorsaid sudah mencicil pekerjaannya dari beberapa hari yang lalu, bahkan ia juga ikut menyebarkan undangan bersama Pak Ujang,” Wongso menambahkan.
“Siapa suruh si Noorsaid itu tidak datang di saat kita sedang banyak kegiatan. Anak itu selalu saja melanggar perintah saya,” marah Dalilah.
“Jika besok anak itu tidak datang, surat pemecatan akan langsung saya keluarkan! Tolong sampaikan kepada si Noorsaid itu,” suara Dalilah terdengar mengancam.
“Ba.., Bbb… Baik Bu Dalilah,” Ujang dan Wongso kompak menjawab.
Siang itu, di tempat lain
“Kapan kamu berangkat, Nak?” Emak Noorsaid bertanya lirih padanya.
“Jika tidak ada aral melintang, lusa Said akan berangkat ke kota,” jawab Noorsaid sambil memijit-mijit kaki Emaknya.
“Tapi Mak, Said masih ragu untuk mengikuti lomba itu. Said tidak bisa meninggalkan Emak sendirian dengan kondisi sedang sakit begini,” lanjut Noorsaid dengan wajah murung.
“Tidak apa Nak, Emak baik-baik saja. Dari dulu Mak juga sendirian di sini semenjak kamu bekerja di Jakarta. Kamu janji harus tetap ikut, Nak. Mak selalu mendukungmu,” ucap Emak sambil membelai rambut Noorsaid.
“Kalau Said pergi, lalu siapa yang akan menjaga Emak disini? Untuk bisa menang Said harus melalui beberapa tahap penyisihan dan itu memakan waktu beberapa hari,” Noorsaid bersikeras tetap ingin menjaga Emaknya.
“Tidak apa, Pergilah Said… ini mimpimu semenjak dulu. Emak tahu lomba ini teramat penting bagimu sama besarnya dengan rasa sayangmu pada Emak. Ada Bi Ratih tetangga kita, nanti Emak bisa minta bantuan padanya jika tiba-tiba sakit,” Emak mencoba menenangkan Noorsaid.
“Tapi Mak,,, Emak harus janji pada Said untuk tetap sehat dan obatnya diminum tepat waktu. Jangan lupa setiap saat kabari Said agar Said tahu kondisi Emak,” ucap Noorsaid dengan mata berkaca-kaca.
“Iya Nak…,” ucap Emak sembari tersenyum.
Malam harinya tepat pukul 21.00 sebelum Noorsaid masuk ke dalam kamarnya, ia mampir terlebih dulu ke kamar Emak untuk melihat kondisinya. Betapa terkejutnya ia mendapati Emaknya terjatuh dari tempat tidur.
“Astaghfirullah, Emak…Emak…Ya Allah, Emak kenapa?” pekik Noorsaid berusaha mengangkat tubuh Emak ke tempat tidur.
“Tolong…Tolong…apa masih ada orang di luar sini??” Noorsaid yang sudah tiba di luar rumah dan menjerit minta tolong.
“Ada apa Said? Mengapa malam-malam begini kau berteriak?” Ustadz Khomaruddin berlari kecil menghampiri Noorsaid yang tampak panik.
“Emak Ustadz…Emak saya tidak sadarkan diri setelah terjatuh dari tempat tidur” airmata mulai membanjiri kedua pipi Noorsaid.
“Astaghfirullah, Ayo.. Mari segera kita bawa ke Rumah Sakit,” ucap Ustadz Khomaruddin.
“Baik Ustadz,” Noorsaid mengajak Ustadz Khomaruddin masuk ke dalam rumah.
Noorsaid bersama Ustadz Khomaruddin dan dibantu beberapa orang warga membawa Emak Noorsaid ke Rumah Sakit terdekat. Warga yang mengantar pun sudah pulang dan hanya tersisa Noorsaid bersama Ustadz Khomaruddin yang menemaninya di ruang tunggu ICU.
“Kau tenang saja Said, Bapak yakin Ibumu akan baik-baik saja,” Ustadz Khomaruddin menenangkan Noorsaid.
“Saya takut Ustadz jika hal buruk menimpa Emak. Apalagi tadi dokter mengatakan bahwa penyakit Bronkitis Emak sudah menjalar ke jantung, sewaktu-waktu Emak bisa saja anfal,” Noorsaid terlihat semakin cemas.
“Perbanyak mendoakan kesembuhan Ibumu ya, Said. Serahkan semuanya kepada Yang Maha Kuasa dan para dokter disini,” Ustadz Khomaruddin merangkul Noorsaid.
“Ohya, bagaimana dengan lombamu? Bapak dengar lusa kau akan berangkat untuk bertanding Tahfidz di Provinsi, benarkah?” Ustadz Khomaruddin mulai mencairkan suasana.
“Iya Stadz, rencananya jam 08.00 pagi saya bersama Tim pendamping dari Kabupaten sudah berangkat ke kota, tapi saya masih ragu berangkat terlebih melihat kondisi Emak yang masih di ICU,” mata Noorsaid tampak menerawang.
“Tenanglah Said, kau pergilah. Usah risau, Kejarlah mimpimu. Masih ada aku dan para warga di sini yang akan menjaga Ibumu,” Ustadz Khomaruddin membesarkan hati Noorsaid.
“Tapi…Ustadz, saya sudah banyak merepotkan warga,” Noorsaid tetap bersikeras.
“Itulah gunanya sesama manusia saling tolong-menolong. Tenang saja Said, tidak merepotkan,” Ustadz Khomaruddin tersenyum kecil.
Pagi Harinya …
rrgggzzzzz….zzzggrrrhh….rrgggzzzzhhh… Handphone Noorsaid bergetar.
Noorsaid membuka HP nya dan membaca pesan yang tertera untuknya.
Bunyi Pesan:
Said, kau di mana? Dari kemarin sulit sekali ku hubungi. Bu Dalilah kemaren siang marah-marah dan memintaku untuk menyampaikan pesan ini padamu. Hari ini kegiatan seminar dimulai, kau diminta untuk hadir ke kampus. Jika tidak, Bu Dalilah akan memecatmu – Wongso.
Jleb…hati Noorsaid begitu tersayat-sayat setelah membaca pesan dari Wongso. Ia pikir Dalilah tidak akan mempermasalahkan liburnya, bahkan setelah ia menyelesaikan tugasnya, namun ternyata tenaganya memang dibutuhkan pada saat kegiatan berlangsung.
“Selain mengikuti lomba, saya mengajukan libur juga untuk merawat Emak yang sedang sakit. Namun, mengapa semuanya terasa begitu sulit?” ucap Noorsaid menahan tangis.
“Tuhan, saya serahkan segala takdir hidup ini kepada Mu,” gumam Noorsaid pasrah.
Pagi itu Ustadz Khomaruddin pamit pulang ke rumah dan berjanji kepada Noorsaid akan kembali lagi petang nanti.
“Terima Kasih atas segala kebaikan Ustadz. Semoga Emak bisa segera membaik,” Noorsaid menyalami gurunya itu sembari mengantar beliau menuju pintu keluar.
“Iya Said, kau harus tetap kuat dan tegar. Jika ada apa-apa dengan kondisi Ibumu segera kabari aku,” balas Ustadz Khomaruddin yang sudah sampai di pintu keluar rumah sakit.
“Baik Ustadz. Hati-hati di jalan,” ucap Noorsaid sembari melangkah masuk kembali menuju ruang ICU. Sore itu, Dokter memanggil Noorsaid yang ada di ruang tunggu ICU dan menyampaikan kondisi Emaknya yang semakin memburuk. Noorsaid yang dari semalam belum diijinkan bertemu langsung dengan Emaknya akhirnya diperbolehkan masuk ke dalam ICU.
“Mak….,” Noorsaid berbisik lirih di telinga Emaknya.
Suara Noorsaid begitu berat menahan tangis. Digenggamnya tangan kurus nan mulai keriput itu. Ia cium perlahan seraya melafazkan doa di dalam hati. Noorsaid begitu takut kehilangan Emaknya, sedari kecil ia hanya hidup berdua dengan Emaknya. Bapaknya sudah lama meninggalkannya, pergi bersama wanita lain.
“Jangan tinggalkan Said, Mak. Mak janji akan selalu bersama Said, bukan?” Noorsaid mulai terisak. Emak Noorsaid hanya bisa memandanginya. Akibat kondisinya yang memburuk, Emak Noorsaid kesulitan berbicara. Ia tahu Noorsaid menangis dan berbicara padanya, namun ia kesulitan mengeluarkan kata. Ia pelan-pelan menggerakkan tangannya dan menempelkan telunjuk ke telinganya yang mengisyaratkan agar Noorsaid mendekat kepadanya.
“Ssaid..idd…jjangann menangisss aanakku..,” bisik Emak terbata-bata.
“Kkk..kamu haruss tetap melanjutkan hhduppmu. Emaak selalu bersamamu,” lanjut Emak. Air mata Noorsaid bertambah deras. Ia dapat merasakan Emaknya begitu menyayanginya.
“Said sayang Emak. Emak harus kuat dan sembuh,” Noorsaid memeluk Emaknya. Emak Noorsaid menggeleng. Ia tahu waktunya sudah tidak lama lagi. Penyakitnya sudah menyerang jantung, organ vitalnya. Selama ini ia selalu menyembunyikan kondisinya. Terakhir Noorsaid pulang, ia sempat batuk darah tetapi dirahasiakannya dari Noorsaid. Ia tidak ingin anak lanangnya itu khawatir dan cemas. Pukul 03.00 dini hari akhirnya Emak Noorsaid menghembuskan napas terakhirnya.
Sore itu Noorsaid berjalan-jalan sendirian di taman bunga yang ada di pinggiran kota Madura. Sudah hampir sebulan ibunya meninggal baru berani ia kembali menghadapi dunia. Bagaimana tidak, setelah kehilangan ibunya ia juga mendapati surat pemecatan dari tempat kerjanya dan yang lebih menyayat hati adalah lomba yang seharusnya bisa diikutinya harus rela ia lepaskan kendati di saat bersamaan ibunya meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Udara di sore itu terasa cukup berangin. Noorsaid melemparkan pandangannya pada bunga warna-warni yang ada di taman itu. Sekilas ia mengamati rumput yang tumbuh subur di sekitar tanah tempat bunga-bunga itu tumbuh, kemudian ia menghampirinya.
“Di sini cukup berangin, tetapi mengapa kau tidak bergoyang wahai rumput-rumput?” tanya Noorsaid pada rumput.
“Padahal, bunga-bunga di sekitarmu bergoyang dengan indahnya” lanjut Noorsaid.
“Bergoyanglah rumput agar saya bisa bercengkerama denganmu. Mas Wongso mengatakan padaku saat banyak masalah, hidup tak berpihak dan butuh tempat untuk bercerita mengadulah pada rumput yang bergoyang mungkin saja kalian bisa membantu menghiburku” suara Noorsaid mulai bergetar.
“Bergoyanglah agar saya tahu bahwa kau mendengarku, rumput,” ucap Noorsaid diiringi isak tangis.
Hening.
Sudah tiga puluh menit Noorsaid duduk menjongkok di taman bunga itu, tetapi rumput-rumput itu tak jua menggoyangkan dirinya. Noorsaid mulai menikmati kesunyiannya ditemani angin yang perlahan menghapus air mata yang membasahi pipinya. Noorsaid kemudian bangkit dari jongkoknya “Benar dugaanku, kalian memang tak pernah bergoyang,” ucapnya kesal pada rumput yang sedari tadi tak pernah bergoyang. Lalu, Noorsaid pun melangkah pergi meninggalkan taman bunga. (*)
Biodata Penulis:
Adelia Febriyossa lahir di Padang, Sumatera Barat tanggal 05 Februari 1992. Anak pertama dari lima bersaudara yang mengenyam Pendidikan Sarjana Biologi di Universitas Andalas tahun 2009 lalu melanjutkan Pendidikan Magister di Institut Teknologi Bandung tahun 2015 dengan jurusan yang sama. Saat ini telah mengabdikan ilmu sebagai seorang Dosen di salah satu Perguruan Tinggi Nasional. Cerpennya pernah dimuat di media Tulis.me yang berjudul Mengukir Janji Di Bianglala (2020). Sekarang telah tergabung sebagai penulis muda dalam Forum Lingkar Pena (FLP). Ia bisa dihubungi melalui E-mail: dessawalastra@gmail.com.
Antara Dialog dan Narasi, Analisis Cerpen “Rumput yang Tak Pernah Bergoyang”
Oleh:
Azwar Sutan Malaka, M.Si.
(Dosen Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, UPN Veteran Jakarta dan
Dewan Penasihat Pengurus FLP Wilayah Suumbar)
Cerpen sesuai dengan namanya adalah cerita pendek baik dari sisi isi cerita juga dari sisi panjang cerita. Bahkan, cerita pendek juga pendek dari sisi pembacaan karyanya. Prof. Dr. Agus Nuryatin, M.Hum. dan Retno Purnama Irawati, S.S., M.A. Dalam buku berjudul Pembelajaran Menulis Cerpen (2016), mereka menuliskan bahwa pada hakikatnya cerpen adalah cerita fiksi atau cerita rekaan. Secara etimologis, fiksi atau rekaan berasal dari bahasa Inggris, yakni fiction. Kleden (1998) menyatakan bahwa dalam bahasa Inggris, perkataan fictive, atau fictious, mengandung pengertian nonreal. Dengan demikian, fiction berarti ‘sesuatu yang dikonstruksikan, dibuat-buat atau dibuat’. Jadi, kalau pun ada unsur khayal maka khayalan di sana tidak menekankan segi nonrealnya, tetapi segi konstruktif, segi inventif, dan segi kreatifnya.
Lebih jauh, Nuryatin dan Irawati (2016) menyampaikan bahwa secara etimologis cerpen pada dasarnya adalah karya fiksi atau ”sesuatu yang dikonstruksikan, ditemukan, dibuat atau dibuat-buat”. Hal itu berarti bahwa cerpen tidak terlepas dari fakta. Fiksi yang merujuk pada pengertian rekaan atau konstruksi dalam cerpen terdapat pada unsur fisiknya. Sementara itu, fakta yang merujuk pada realitas dalam cerpen terkandung dalam temanya. Dengan demikian, cerpen dapat disusun berdasarkan fakta yang dialami atau dirasakan oleh penulisnya.
Sudjiman (Ed.) (1984) juga menyampaikan bahwa banyak definisi tentang cerpen. Salah satu definisi yang relatif lengkap menyatakan bahwa cerpen adalah kisahan pendek (kurang dari 10.000 kata) yang dimasudkan memberikan kesan tunggal yang dominan; cerita pendek memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi pada satu ketika. Meskipun persyaratan ini tidak terpenuhi, cerita pendek tetap memperlihatkan kepaduan sebagai patokan. Cerita pendek yang efektif terdiri dari tokoh atau sekelompok tokoh yang lewat lakuan lahir dan batin terlibat dalam satu situasi. Tikaian dramatik, yaitu merupakan perbenturan antara kekuatam yang berlawanan, merupakan inti cerita pendek”
Membaca cerpen Adela Febriyossa yang berjudul “Rumput yang Tak Pernah Bergoyang” mengingatkan saya pada cerpen Putu Wijaya yang berjudul “Bersiap Kecewa Bersedih Tanpa Kata-Kata”. Cerpen lawas yang dimuat tanggal 17 Juli 2011 itu ditulis dengan banyak menggunakan dialog di dalamnya. Penulis menjalin cerita melalui dialog-dialog dengan sedikit narasi di dalamnya. Walau sedikit narasi, cerpen “Bersiap Kecewa Bersedih Tanpa Kata-Kata” karya Putu Wijaya itu tetap menarik. Selain karena jaminan nama besar Putu Wijaya, kreativitas mengelola kata-kata dalam cerpen itu tentu menjadi nilai lebih dalam cerita.
Selain cerpen dengan mengandalkan dialog-dialog dalam ceritanya, ada juga cerpen yang tanpa dialog. Artinya cerpen yang dibangun dengan kekuatan narasi pengarangnya. Membaca cerpen “Perempuan yang Tergila-gila pada Idenya” karya Ni Komang Ariani yang dimuat di Koran Kompas, tanggal 22 Mei 2011. Walaupun hanya dengan kekuatan narasi, cerpen Ni Komang Ariani tersebut tetap saja menarik.
Cerpen-cerpen lain yang banyak ditemukan adalah cerpen yang dibangun dengan menggabungkan kekuatan dialog dan narasi. Jika cerpen hanya menggunakan dialog saja atau hanya menggunakan narasi saja tentu muncul pertanyaan apakan cara-cara seperti itu salah? Tidak ada yang salah dalam kreativitas pengarang. Apapun cara yang dilakukan dalam menyampaikan cerita itu sah-sah saja, itulah kreativitas pengarangnya. Persoalan ini dapat dipahami bahwa berkarya (dalam hal ini menulis cerpen) bisa dilakukan dengan cara dan metode yang sesuai keinginan penulis (kreator).
Bahkan, dalam karya-karya eksperimental seperti dalam puisi, sudah banyak muncul ragam karya kreatif pengarang. Hal ini tentu boleh-boleh saja, bahkan pada satu titik eksplorasi atas metode penyampaian cerita dalam karya sastra menjadi poin penting untuk menemukan karya-karya baru. Bukan hanya dari sisi keunggulan cerita, tetapi juga dari sisi kreativitas menyampaikan cerita tersebut.
Kembali kepada cerpen “Rumput yang Tak Pernah Bergoyang” karya Adela Febriyossa yang dimuat pada Kreatika edisi ini, pembaca dapat melihat bagaimana corak penulisan penulisnya. Penulis nyaman bercerita dengan menuliskan banyak dialog dalam ceritanya. Sedikitnya narasi mengesankan cerita ini menjadi ringan untuk dibaca. Secara psikologi, pembaca merasa tidak terbebani dengan banyak narasi namun pada sisi lain kelemahannya adalah pembaca gagal menangkap latar cerita secara utuh karena minimnya deskripsi di dalam cerita. Berikut sebuah cuplikan cerpen ini:
Noorsaid…” pekik Dalilah.
“Noorsaid, kamu dimana?” teriak Dalilah lagi.
“Iya Bu, sebentar saya kesana,” jawab Noorsaid.
Tergopoh-gopoh Ia menuju ruangan Dalilah sembari membawa beberapa tumpukan rim kertas HVS ditangannya.
“Lama sekali kamu!” bentak Dalilah.
“Maaf saya tidak mendengar panggilan Ibu karena tadi sedang serah-terima tumpukan ini dengan Mang Ujang” jawab Noorsaid lirih.
“Kalau saya panggil ya langsung kesini, ini lho kamu selalu saja tidak dengar apa yang saya bilang. Sengaja yo?” tanya Dalilah dengan sorot mata tajam.
“Ndak Bu, mana berani saya,” jawab Noorsaid menunduk.
“Untuk apa itu?” tunjuk Dalilah ke tumpukan yang dibawa Noorsaid.
“Anu..itu..anu…Bu tumpukan rim kertas HVS. Tadi mang Ujang ngasih ke saya untuk disusun di lemari resepsionis soalnya beliau ganti shift dengan saya dan mau langsung pulang katanya,” jawab Noorsaid mantap. (Febriyossa, 2022)
Setelah membaca cerpen karya Adela Febriyossa peserta Kelas Menulis FLP Wilayah Sumatera Barat tahun 2022, saya tentu tidak akan fokus pada membandingkan keunggulan narasi atau dialog dalam cerpen. Saya mengajak pembaca untuk melihat bagaimana Adela gagal menyampaikan pesan dalam ceritanya yang cukup panjang sebagai sebuah cerpen ini. Cerita ini tentang seorang anak muda bernama Noorsaid yang merupakan seorang petugas kebersihan (office boy) di sebuah kampus di Jakarta. Noorsaid yang masih muda karena baru berusia 16 tahun memiliki cita-cita untuk kuliah di Kairo, Mesir. Ia sudah punya strategi untuk meraih cita-cita itu, yaitu dengan mengikuti lomba Tahfidz di tingkat Provinsi. Jika ia menang dalam lomba itu ia akan mendapat hadiah yaitu beasiswa untuk melanjutkan kuliah ke Kairo.
Di dalam cerita, sayangnya Noorsaid dihadapkan pada persoalan pelik yang hadir bersamaan. Pertama di tempat dia bekerja dia harus berhadapan dengan Dalilah, pimpinan di kampus itu yang sangar. Dalilah tiba-tiba saja meminta Noorsaid untuk lembur karena kebetulan di kampus ada kegiatan. Padahal, Noorsaid sudah berencana untuk pulang ke Madura untuk mengikuti lomba Tahfidz yang akan mengantarkannya meraih cita-citanya. Masalah kedua adalah Noorsaid harus menghadapi kenyataan lain bahwa ibunya sedang sakit. Noorsaid akhirnya memilih pulang ke Madura untuk mengikuti lomba, dengan semangat ia harus mengubah nasibnya. Sesampai di Madura, dia akhirnya gagal mengikuti lomba tersebut karena harus menemani ibunya yang masuk rumah sakit.
Begitulah akhir cerita ini dibuat dengan ending menyakitkan oleh penulis cerita. Akhir cerita yang pesimis menghadapi dunia ini dibiarkan begitu saja membuat pembaca kecewa, tidak mendapatkan semangat positif dari cerita ini. Noorsaid harus kehilangan pekerjaannya di Jakarta karena dipecat Dalilah, ia pun harus menerima takdir bahwa ibunya dipanggil Yang Maha Kuasa, serta bersamaan dengan itu ia kehilangan kesempatan untuk mengikuti Lomba Tahfidz tingkat provinsi saat itu. Adela mengakhiri cerita sampai di situ. Kemudian, ia membuat renungan melalui tokoh Noorsaid, dimana laki-laki muda itu bertanya pada rumput-rumput (terisnpirasi dari lagu Ebiet G Ade) yang pada kenyataannya Noorsaid harus menyadari bahwa rumput itu pun tidak pernah bergoyang seperti dalam manisnya sebuah lagu. Di dalam cerita Adela menuliskan sebagai berikut:
“Disini cukup berangin tetapi mengapa kau tidak bergoyang wahai rumput-rumput?” tanya Noorsaid pada rumput.
“Padahal bunga-bunga di sekitarmu bergoyang dengan indahnya” lanjut Noorsaid.
“Bergoyanglah rumput agar saya bisa bercengkerama denganmu. Mas Wongso mengatakan padaku saat banyak masalah, hidup tak berpihak dan butuh tempat untuk bercerita mengadulah pada rumput yang bergoyang mungkin saja kalian bisa membantu menghiburku” suara Noorsaid mulai bergetar.
“Bergoyanglah agar saya tahu bahwa kau mendengarku, rumput” ucap Noorsaid diiringi isak tangis.
Hening. (Febriyossa, 2022)
Ada beberapa catatan terhadap cerpen karya Adela Febriyossa ini, di antaranya adalah pertama pengarang sudah mulai mengeksplorasi dialog-dialog dalam ceritanya. Hal ini selain sebagai sebuah kreativitas mengolah cerita, juga bagian dari siasat penulisnya untuk menutupi kelemahannya dalam bercerita secara naratif. Kedua, dari sisi semangat dalam cerita ini sebagaimana diuraikan di atas, pembaca tidak menemukan semangat positif dalam cerita karya Adela ini. Hal itu karena pengarang lebih ingin membiarkan Noorsaid sebagai tokoh utama kalah dalam pergulatan hidupnya. Noorsaid adalah tokoh yang pada saat ini, pada ending cerita berada dalam titik nadir hidupnya. Tokoh utama ditimpa kekalahan dalam menghadapi pekerjaanya, ia kalah dengan takdirnya dan ia kalah menghadapi tantangan untuk menggapai cita-citanya.
Terakhir, sehubungan dengan hal di atas muncul pertanyaan, apa sebenarnya yang ingin disampaikan pengarangnya? Apakah hanya ingin menceritakan kegagalan tokoh Noorsaid ini? Kalau hanya itu, masih banyak tokoh-tokoh lain di dunia ini yang ditimpa kemalangan bertimpa-timpa. Nasib Noorsaid belum terlalu tragis untuk menggambarkan betapa menderitanya seorang anak manusia. Tidak ada pesan moral yang positif dalam cerpen ini karena hanya menggambarkan kegagalan Noorsaid remaja 16 tahun yang sebenarnya masih panjang perjalanan hidupnya. Saya membayangkan ada semangat positif di dalam cerita ini, tetapi sebagai sebuah ekspektasi pembaca, saya gagal mendapatkannya. (*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini disediakan untuk penulis pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com