Cerpen: Nayla Annakamiko
Waktu mengalir begitu saja tanpa kusadari. Aku ingat sebelas tahun yang lalu ketika aku menangis tiada henti, bersikeras ingin ikut ke rumah sakit. Aku tidak pernah ingat bagian sebelumnya ketika aku menaiki ambulan menuju kota. Yang aku ingat dengan pasti adalah betapa bahagianya aku ketika adikku lahir. Sebenarnya aku juga tidak ingat apa pun saat itu. Ketika aku masih berusia 3 tahun, apakah aku mengerti apa definisi memiliki seorang adik? Apakah aku mengerti definisi menjadi seorang kakak. Kalau dipikir-pikir, saat itu aku tidak peduli tentang adik sama sekali.
Dua orang adik papa berusaha menenangkanku dan membujukku untuk tetap tinggal di rumah Nenek ketika Mama dibawa ke rumah sakit. Akan tetapi, aku tidak mau. Aku tetap menangis bersikeras untuk ikut. Kalau ditanya sekarang, aku tidak tahu bagaimana jalan pikiranku ketika kecil, tapi aku tahu saat itu aku tidak peduli dengan memiliki seorang adik. Mungkin satu-satunya yang kukhawatirkan saat itu adalah mama.
Karena keras kepala, berakhirlah aku tidur di rumah sakit ketika itu. Ingatan malam itu mulai kabur dalam ingatanku. Namun, aku tahu pasti tidak akan bisa kulupakan sepenuhnya karena aku tahu malam itu adalah hari kelahiran adikku. Tidak, bukan malam itu. Seingatku, mama dan papa bilang adikku lahir pada hari Minggu pagi. Jadi, malam itu pastilah malam minggu. Aku penasaran bagaimana reaksiku ketika tahu aku punya adik. Aku ingin tahu apa komentarku ketika melihat bayi kecil mungil itu. Aku ingin tahu apa saat itu aku tahu persis bahwa peranku sebagai kakak sudah dimulai. Kurasa tidak. Entah itu pagi, siang atau malam, aku tidak ingat pasti. Namun, setelah malam itu, papa pulang. Kalau aku tidak salah ingat, saat itu Papa sedang kuliah S2 di Jawa. Dibandingkan kelahiran adikku, aku lebih bersemangat membongkar bungkusan-bungkusan mainan yang dibawa papa.
Aku tahu aku bahagia saat-saat itu. Entah itu karena kelahiran adikku atau karena mainan-mainan yang dibelikan papa. Sebelas tahun sudah berlalu sejak saat itu. Sulit bagiku untuk percaya bahwa bayi kecil itu telah mulai remaja sekarang.
Bertengkar adalah agenda sehari-hariku dengan adikku. Perbedaan usia kami hanya tiga tahun. Biasanya saudara yang jaraknya dekat itu sering bertengkar satu sama lain. Kalau dipikir ulang, kami kadang bertengkar untuk hal yang tidak penting, misalnya berebut mainan. Padahal, rata-rata mainan kami itu serba dua.
Kami akan saling berteriak marah untuk hal yang tidak penting. Akhirnya cuma dua, dimarahi mama atau adikku akan menangis. Tidak ada yang menguntungkan bagiku. Sebagai kakak, aku dituntut untuk mengalah. Atau kalau masalahnya sedikit lebih besar, seperti ah entahlah. Aku tidak ingat masalah apa yang sering membuat kami bertengkar dulu. Emosi kami masih labil saat kecil. Kadang, kalau sedang sangat marah, kami bisa adu fisik. Bukan cuma saudara laki-laki yang kalau bertengkar adu fisik. Sekali aku dan adikku bertengkar, meskipun kami sesama perempuan, sudah seperti pertandingan gulat.
Saat ini kami beranjak remaja. Adik kecil yang dulu selalu merengek supaya dibela mama setiap bertengkar selalu menggigit atau menendang setiap pertengkaran kami sampai ke tahap adu fisik, kini mulai berubah.
Terlepas dari kenyataan bahwa adikku masih sering menendang, kami mulai berubah. Bukannya tidak pernah bertengkar. Emosiku sebenarnya cukup stabil. Hanya saja terlalu sensitif untuk hal-hal yang tidak penting. Seperti ketika adikku dengan sangat menyebalkannya membangunkanku yang berencana tidur kembali setelah subuh hanya untuk menemaninya menonton TV. Aku kesal, tapi pada akhirnya menemani juga. Adikku adalah anak paling penakut menurutku, bahkan untuk menonton TV sendiri di ruang keluarga saja dia tidak berani. Atau pernah ketika aku sedang lelah-lelahnya serta sangat kesal akibat permasalahan di sekolah, adikku yang saat itu masuk siang minta diantar ke sekolah. Sementara itu, aku sedang sangat lelah dan sangat malas kembali ke sekolah dan bertemu wali kelasku yang menyebalkan.
Aku membentak adikku dan menyuruhnya berangkat sendiri.
“Kalau tidak bisa berangkat sekolah, tidak usah sekolah saja!”
Aku emosi sungguh saat itu. Namun, setelah adikku pergi membanting pintu, aku malah cepat-cepat menyambar kerudung dan mengawasinya dari jauh serta memastikannya sampai di sekolah dengan selamat.
Atau di lain hari. Aku itu kalau tidur biasanya mati lampu. Aku akan sangat sensitif ketika lampu tiba-tiba dihidupkan dan terbangun. Adikku tahu pasti, tapi dia sengaja sekali membangunkanku yang sangat kelelahan. Tidak ada alasan khusus dia membangunkanku. Hanya ingin menggangguku. Tentu saja aku kesal. Biasanya aku akan langsung berteriak marah. Namun, kala itu Ramadan, aku sedang puasa. Aku memilih menutup seluruh tubuhku dengan selimut dan mengabaikannya. Dia tidak pernah tahu bahwa saat itu aku menangis.
Aku tidak tahu kenapa aku menangis. Mungkin karena begitu kesal namun tidak bisa marah padanya. Bukan sekali atau dua kali justru aku yang menangis karena adikku. Seperti malam ini, aku menatapnya yang telah tertidur pulas setelah kami menyelesaikan dongeng pengantar tidur. Dia tidak pernah percaya saat aku bilang cuma aku satu-satunya kakak yang masih mendongeng untuk adiknya menjelang tidur. Tentu saja bukan dongeng-dongeng putri-putrian atau fabel. Kami punya dunia imajinasi sendiri yang mampu membuat senyuman sebelum tidur. Senyuman itu telah luntur dari wajahku. Ketika menatap wajah adikku. Aku sadar, dia telah tumbuh. Dia juga mulai remaja. Tinggal menunggu waktu bahwa dia akan melampauiku.
Dia selalu iri kala melihat diriku di sekolah dengan segala prestasi. Namun, dia tidak pernah tahu bahwa aku iri padanya tentang hal lain. Kemampuannya beradaptasi. Adikku selalu berpikir bahwa ia tidak akan pernah mencapai diriku apalagi melampauiku. Namun, dia tidak tahu bahwa aku justru takut dia melampauiku begitu jauh. Akhirnya, ia tak lagi menoleh ke belakang.
Aku masih tidak paham kenapa aku menangis. Hany dengan melihatnya, aku menangis. Merenung bahwa mungkin aku bukan kakak yang baik. Menutup mata ketika teman-temanku melukainya dengan perkataan buruk, demi mempertahankan pertemananku sendiri. Atau mengabaikan ketika teman-temannya mengganggunya karena merasa itu bukan urusanku. Bahkan dengan jahatnya, aku tersenyum kala orang-orang membandingkannya dengan diriku. Ketika orang-orang meremehkannya tak mampu menyamai diriku. Dia mulai berteriak marah padaku dan menyalahkan semua pencapaianku. Tahukah kamu, adikku bahwa dibalik semua itu, kakakmu ini yang paling sering menangis dalam diam ketika memikirkanmu. Kakakmu ini yang paling terlukai hatinya kala orang-orang bicara buruk tentangmu.
Aku ingin bilang bahwa adikku hebat dengan caranya. Aku ingin bilang bahwa adikku ini adalah adik terbaik. Namun, aku tidak bisa mengatakannya. Jangankan pada orang-orang, pada adikku sendiri aku tidak berani mengatakannya. Itu tidak sesuai dengan image-ku yang seolah tak peduli selama ini. Andai waktu bisa diulang, aku ingin membalas semua perkataan teman-temanku yang busuk itu! Aku akan memarahi teman-teman adikku yang menganggu adikku, yang dengan teganya mengkhianati adikku, lantas berbicara buruk di belakangnya. Jika bisa, aku ingin menutup mulut semua orang yang hanya bisa menghakimi. Suka sekali membanding-bandingkan tanpa sadar bahwa perasaan adikku terluka. Perbandingan itu bisa menjadi dua hal. Bisa menjadi motivasi atau justru menjatuhkan mental.
Aku tahu adikku kuat. Dia telah tumbuh lebih dewasa dariku. Ia mulai melampaui diriku. Aku yang tetap berada di zona nyaman, tidak mau menerima kenyataan bahwa aku telah tumbuh dewasa, terus bersikap kekanak-kanakan.
“Kakak antar sampai sini saja. Itu teman-teman adek sudah berkumpul. Dadah!” Dia melambaikan tangan.
Mama memintaku mengantar adikku yang akan pergi bukber bersama teman-temannya. Aku menatap langkahnya yang mulai menyeberangi jalan dan bergabung bersama teman-temannya. Dengan mudahnya berbaur dalam pembicaraan.
Sungguh aku iri. Adikku saja sudah dua kali menghadiri acara bukber bersama teman-temannya. Sementara aku? Tidak satupun. Bukan karena tidak ada yang mengajak, melainkan aku lebih memilih berada dalam zona nyaman.
Ajakan bukber alumni, bukber ekskul, bukber bersama teman dekat, tak satupun kuhadiri karena aku lebih memilih bersama mama dan papa. Aku takut menerima kenyataan bahwa aku telah remaja dan harus mulai berbaur dengan gadis seumuranku, hangout, atau sekedar berkumpul membicarakan gosip terbaru. Aku lebih memilih kasur dan novel serta HP menjadi temanku. Karena aku takut berbaur, satu hal yang selalu membuatku iri dengan adikku, yaitu kemampuannya beradaptasi dengan mudah. Dia tak pernah memusingkan pendapat orang lain. Dia tidak sepertiku. Dia dengan mudah berbaur ke dalam topik pembicaraan meskipun tidak mengerti. Dia tidak seperti aku yang memilih diam.
Sekali lagi aku menatapnya, sekali lagi pula aku menyadari adikku telah jauh melampauiku. Dia mulai beranjak dewasa. Satu hal yang perlu dia ketahui. Tak peduli meski suatu hari nanti adikku berhasil melampaui tinggiku. Bagiku, dia tetaplah adik kecilku yang imut. Apa pun alasannya dia tetaplah adik kecilku. Aku tak peduli seberapa dewasa dia. Aku akan selalu memperlakukannya seperti anak kecil karena dia adalah adik kecilku, selalu dan selamanya.
Discussion about this post