Lastry Monika
(Kolumnis Rubrik Renyah Scientia.id)
Pernahkah pembaca berinteraksi dengan seseorang yang tidak bisa memegang omongannya? Misalnya, hari ini ia berkata begini, tetapi kemudian ia malah berkata begitu. Dalam kurun waktu tertentu ia bisa mengubah omongannya yang semula A menjadi B, C, D, dan lainnya sesuka hati. Kok bisa ya orang sebegitunya tidak punya pendirian? Mungkin bakal ada pikiran macam itu dalam benak kita, tetapi tuduhan itu mungkin saja tidak melulu tepat.
Barangkali, orang-orang serupa itu memiliki kemungkinan lain mengapa ia tidak bisa memegang omongannya. Beragam kemungkinan berikut sebetulnya hanya dugaan-dugaan, bisa jadi benar dan bisa pula salah. Tentu saja juga bisa ditambahkan beragam kemungkinan lain dari pembaca yang pernah mengalaminya.
Kemungkinan pertama, orang yang bersangkutan sedang berkampanye. Bukankah memang sering terjadi, ketika berkampanye seseorang berkata fafifu. Kemudian, ketika orang lain sudah menaruh harap dan kepercayaan padanya, yang terjadi malah wasweswos. Ya, mungkin saja ia berbakat untuk menjadi oknum pejabat tipikal lain di mulut lain pula realisasinya di kemudian hari.
Kemungkinan selanjutnya, orang yang tidak bisa pegang omongan mungkin memang sudah pikun. Ketika yang ngomong itu adalah seorang berusia lanjut, lazim saja bila bicara, pendapat dan keputusannya berubah-ubah. Akan tetapi, bila terjadi pada seorang yang masih muda, ini yang menjadi masalah. Namun, bukankah di media sosial kerap pula ditemukan “remaja jompo”. Beberapa di antaranya mengunggah cerita sembari menyertakan foto koyo dan obat pegal-pegal lain yang menyertai aktivitasnya. Maka mungkin saja, ia yang tidak bisa pegang omongan itu tergolong “remaja jompo” yang tidak hanya sering pegal-pegal, tetapi juga sering pelupa tentang pembicaraan dan janji yang pernah dibuatnya.
Kemungkinan berikutnya, tidak bisanya seseorang memegang omongan memang karena sudah tabiatnya. Bila sudah begini, yang bisa mengubahnya adalah kemauan dari dirinya sendiri. Bukan nasihat dan dorongan dari orang-orang dekat di sekitarnya. Lalu, bagaimanakah cara menyikapi orang yang seperti ini? Mungkin tidak pula secara gegabah langsung dijauhi. Bisa pula dicoba untuk bertanya dan memberinya ruang untuk menjelaskan mengapa sesuatu yang ia sepakati sebelumnya, bisa berubah kemudian. Di sini, bukankah bisa pula dinilai apakah penjelasannya tersebut masuk akal atau tidak?
Memang sulit untuk tidak marah ketika dibohongi oleh orang-orang yang tidak bisa pegang omongan, tetapi ada baiknya pula mencoba seperti yang diutarakan Marcus Aurelius dalam Meditations, yaitu “Ketika seseorang berbuat salah padamu, pertimbangkan persepsi mereka tentang baik dan buruk yang telah mendorongnya untuk menyakitimu. Ketika kau telah memahaminya, kau akan merasa iba kepada orang tersebut dan tidak lagi merasa marah”.
Namun, bila hal seperti itu selalu berulang dan seperti rantai yang tidak putus-putus, serta saran dari Marcus Aurelius terlalu sulit untuk diterapkan, lebih baik menghindari orang-orang serupa itu. Sebab, memang benar pula apa yang dikatakan Kotaro dalam serial Kotaro Lives Alone, “Rasanya sakit tak bisa memercayai orang yang ingin kau percayai”.
Discussion about this post