Oleh: Arina Isti’anah, S.Pd., M.Hum.
(Dosen Sastra Inggris, Universitas Sanata Dharma dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora, Universitas Gadjah Mada)
Perspektif dalam berbahasa merujuk pada sudut pandang yang kita gunakan sebagai prinsip yang mendasari pilihan linguistik dalam berkomunikasi. Beberapa perspektif dalam berbahasa sebenarnya telah kita terapkan dalam komunikasi sehari-hari. Dalam konteks pendidikan, bahasa memegang peran penting dalam mempengaruhi perspektif anak didik terhadap fenomena yang terjadi dalam kehidupan mereka. Sebagai contoh, penggunaan kalimat dalam buku pelajaran sekolah, “Ayah pergi ke kantor dan Ibu pergi ke pasar” dapat membentuk perspektif bahwa ayah atau sosok laki-laki diasosiasikan dengan pekerjaan kantoran, sedangkan ibu atau sosok perempuan lekat dengan pekerjaan rumah tangga.
Jika dikritik dari perspektif kesetaraan gender, contoh di atas dianggap memuat nilai ketimpangan representasi laki-laki dan perempuan. Pada kenyataannya, tidak sedikit perempuan yang memiliki kemampuan dan kompetensi untuk bekerja di kantor. Laki-laki juga dapat bekerja di sektor lain yang tidak identik dengan kantor. Membuka usaha di rumah atau bekerja dari rumah saat ini juga sudah lazim dilakukan oleh orang dewasa dan tidak dibatasi oleh jenis kelamin. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa bahasa merupakan piranti untuk mengkonstruksi pola pikir dan perilaku penggunanya.
Contoh lain yang berkaitan dengan perspektif bahasa ditemukan dalam pilihan sumber semiotika, baik verbal dan visual dalam kampanye pola hidup vegan. Zhdanava dkk. (2021) menemukan bahwa dalam kampanye Go Vegan World, pembuat poster sengaja memilih pronominal “she”, “her mother” dan “her calves” untuk merujuk pada binatang yang biasa kita konsumsi. Posisi pengambilan gambar binatang dalam poster juga diletakkan sejajar dengan mata penonton poster. Pilihan semiotika tersebut merupakan motivated choice dari pembuat poster dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran manusia atas ancaman konsumsi makanan yang berasal dari hewan secara berlebihan. Hewan dalam perspektif veganisme bukanlah instrumen atau mesin untuk memuaskan kebutuhan perut manusia saja, melainkan bagian dari ekosistem.
Lalu, apakah yang dimaksud perspektif ekologis?
Jika kita berbicara mengenai ekologi, prinsip penting yang seharusnya kita pahami dahulu adalah mengenai ekosistem, bukan hanya tentang lingkungan alam. Ekosistem terdiri atas populasi organisme yang hidup dalam suatu lingkungan (do Coutto, 2014). Organisme di sini merujuk pada manusia dan spesies nonmanusia termasuk flora dan fauna. Bahasa dalam perspektif ekologis merupakan suatu jaring-jaring yang menunjukkan inter-relasi di antara organisme dalam suatu populasi dengan lingkungannya. Oleh sebab itu, dapat kita katakan bahwa ekosistem dalam bahasa merupakan komunitas tutur yang terdiri atas penutur sebagai bagian dari organisme di dalamnya.
Lingkungan dalam perspektif ekologis seharusnya tidak direduksi hanya sebagai lingkungan fisik di mana penutur tinggal. Oleh Døør dan Bang (1996), lingkungan merujuk pada tiga jenis dimensi, yakni dimensi biologis (natural), ideologis (mental), dan sosiologis (sosial). Dimensi biologis merupakan lingkungan di mana inter-relasi dalam bahasa terjadi. Dimensi ideologis merupakan inter-relasi bahasa yang terjadi dalam sistem kognitif penuturnya, sedangkan dimensi sosiologis merujuk pada suatu komunitas tutur atau masyarakat yang menggunakan kode-kode berbahasa.
Dalam dimensi biologis, berbagai penelitian telah membuktikan inter-relasi antara bahasa dan lingkungan yang terwujud dalam keberagaman bahasa sebagai pengaruh dari keberagaman hayati. Sebaliknya, kepunahan bahasa yang disebabkan oleh kerusakan alam juga menunjukkan bukti inter-relasi manusia dengan lingkungan fisik di sekitarnya. Dalam artikelnya yang berjudul “Ekolinguistik dalam Puisi-puisi Pablo Neruda” (Scientia,id, 26 Juni 2022), Elly Delfia juga membuktikan bahwa pilihan kata tepung, anggur, dan biji gandum merupakan bukti inter-relasi Pablo Neruda dengan lingkungan alam di Spanyol di mana spesies fauna dalam puisinya tumbuh sesuai dengan ekosistemnya.
Bagaimana kita menerapkan perspektif ekologis dalam berbahasa?
Sebagai bagian dari organisme yang memiliki kesadaran kognitif, kita memiliki piranti yang disebut bahasa yang dapat kita aplikasikan untuk mencapai fungsi-fungsi tertentu. Contoh fungsi bahasa oleh van Dijk (2008) adalah fungsi sosial dan ideologis yang memungkinkan kita untuk menunjukkan identitas kita sebagai bagian dari suatu kelompok sosial yang memiliki kesamaan prinsip atau perspektif terhadap dunia. Perspektif ekologis bertujuan untuk meningkatkan kesadaran atas peran manusia sebagai bagian dari suatu ekosistem yang lebih luas sehingga kita menyadari bahwa kehidupan kita bergantung pada organisme lain, termasuk lingkungan alam dan spesies nonmanusia.
Pola-pola kebahasaan yang telah dianggap mapan dan memarginalkan bagian ekosistem nonmanusia dianggap tidak bersifat ekologis. Stibbe (2015) mencontohkan penggunaan bahasa iklan yang mempromosikan perilaku konsumtif berlebihan. Sebagai contoh, diskon akhir tahun besar-besaran mengajak kita untuk meningkatkan pembelian berbagai macam barang dan jasa. Dalam perjalanan wisata akhir tahun misalnya, padatnya jadwal penerbangan dan transportasi lain menimbulkan tingkat polusi yang lebih tinggi. Perilaku dalam pembelian tersebut merupakan bentuk reproduksi dari ideologi konsumtif nonekologis yang dibentuk oleh wacana dalam iklan.
Perspektif ekologis tidak berhenti pada deskripsi atas organisme nonmanusia, melainkan mempromosikan pola-pola kebahasaan yang tidak hanya bersifat antroposentris. Sebagai contoh, dalam wacana ekowisata di Pulau Fraser, Australia, Mühlhaüsler & Pace (2001) menemukan bahwa pemandu wisata menggunakan istilah endless beaches dan untamed wilderness untuk merujuk pada lingkungan alam Pulau Fraser. Perjalanan ekowisata menawarkan lingkungan alam yang belum terjamah dan liar sehingga manusia merupakan subjek yang berhak dan berkemampuan untuk menjinakkan alam liar. Contoh tersebut memosisikan manusia sebagai subjek dalam suatu organisme yang berkuasa dan memiliki kemampuan untuk menaklukkan alam. Padahal, dalam perspektif ekologis, alam merupakan bagian dari ekosistem yang menyediakan sumber daya untuk keberlangsungan hidup manusia dan spesies lain.
Pola-pola kebahasaan dalam teks awig-awig di Bali sarat akan perspektif ekologis. Teks awig-awig dari Desa Pegringsingan merupakan hukum tertulis yang memuat aturan dan sanksi sebagai pedoman bertingkah laku dalam masyarakat (Dharmika, 1992). Teks tersebut disusun oleh para leluhur penduduk desa sekitar abad ke-11 dan ditulis dalam bahasa Bali. Astawa dkk. (2019) menemukan bahwa teks awig-awig memuat perspektif ekologis yang tertuang dalam tingkatan leksikal, terutama dalam bentuk verba. Leksem ‘anyandayang’ (menggadaikan) dan ‘angadol’ (menjual) merupakan contoh pilihan linguistik untuk melarang penduduk Pegringsingan menjual tanah warisan yang berbentuk kebun, sawah, dan pekarangan. Aturan tersebut memang dibuat untuk mempertahankan lingkungan desa dan perubahan fungsi area desa untuk tujuan industri. Dengan demikian, teks awig-awig dikatakan bersifat ekologis karena sejalan dengan filosofi Tri Hita Karana yang bertujuan menciptakan relasi harmonis antara alam, manusia, dan pemertahanan nilai spiritual.
Beberapa contoh di atas menguraikan bahwa perspektif ekologis dalam berbahasa tidak hanya terwujud dalam pilihan berbahasa yang dipengaruhi oleh tempat di mana penutur berasal. Lebih dari itu, bahasa juga merupakan wujud dari sistem kognitif dan sosial penuturnya. Sebagai bagian dari ekosistem, hendaknya kita menggunakan bahasa sebagai piranti untuk mendudukkan kita sebagai bagian dari lingkungan, bukan satu-satunya subjek dalam ekosistem. Bahasa tentunya dapat kita gunakan untuk mempromosikan kesadaran atas peran spesies nonmanusia dan lingkungan sebagai bagian penting yang menopang kehidupan. Dengan demikian, berbahasa secara ekologis dapat membentuk persepsi dalam memperlakukan lingkungan.
Discussion about this post