Ketika Kita Saksikan Saudagar Mengurut Perut di Waktu Iftar
bilang saja kau empati, jiwa matamu menceritakan sayat hatimu yang retak beling
ketika kau saksikan saudagar jadah mengasapkan mulutnya, bagai haus yang diuapkan
naik-turun teguknya mampu kau catat baik-baik, persis ketika kau menahan dahaga
dan kering tenggorokan sepanjang kau jalankan ibadah saummu di bulan suci ini.
bilang saja, kita rogoh saku di celana berharap receh menghuni di dalamnya
tapi masakah pada logam saja ia minum?
tapi masakah kita yang mampu servis sedan dan ganti lampu sennya cuma beri sepeser?
di manakah nurani?
oh, empati kita cuma sekelumit dari gas yang terbang dan mengambang di udara
seperti kerabunan dan temaram di atas kepala pabrik dan mesin mobil tua yang mogok
kita tak lebihnya seorang dengan banyak hal yang sia dan sukar untuk menghidang rela.
selepas sambekala, kita tunaikan lapar pada sepiring dengan bergumpal nasi
berharap lekas karamlah keroncong dan seteko air dingin yang tandas di bibir kita
telah kita ikhlaskan saudagar itu pada lalu-lalang setelah kita, pastilah bumi mahfum
pastilah alam menyuguh seorang berhati mulia, seperti orang-orang taurat yang rendah hati
… barangkali demikianlah puasa kita sia
puasa cuma darma, saum cuma fardu, pasir-pasir meliarkan kisruhnya demi ditahu kita
bahwa kitalah orang-orang salah dengan bajik yang kita puasakan pula, pada saudagar itu
pada ia yang sepanjang musim hidupnya memuliakan puasa sebagai kelumrahan.
baginya, tiada jam iftar untuknya.
baginya, saum ialah jalan hidupnya.
Solo, 17 April 2022
seperti: Aku adalah Butir di Tengah Megah Sulaiman
hendak kubaringkan ringkih tubuh menjelma serdak pada kitab-kitab yang berselimut perak
di hadap dalil aku cuma diam tak berandil, menaruh tabah di lapang sajadah menepi semarak
suaraku sekadar lirih angin yang bersusah-payah memadahkan tartil di tengah riuh mayapada
seperti tualang sengketa meluangkan dosa semata kenyangkan nawaitu dalam sekejap mata.
aku, tak pernah bersungguh-sungguh menganyam kekhidmatan
sepanjang labuh dedoa dan rubuh tubuhku di muka sajadah nan ugahari.
pada Allah yang maha, akulah bau jelaga yang meranggaskan kehinaan kepada tanah
di mana kaki-Nya berpijak menanamkan keajaiban-keajaiban, menjelma pohon madah
tengah ramai bertengger merpati dan kawanan harap yang dipunya anak-anak dunia, seperti:
mari gegaslah Tuhan mengaminkan sembahyang ibu
mari lugaslah Tuhan mewariskan kemegahan Sulaiman
kepada kami, yang gemar mencatatkan perjalanan tengkar dan gulat amunisi
di ambang jemala musala, menyejarahkan khusyuk yang sukar kami tempuhi.
aku, sebenar-benarnya yakni ramal
yang tak pernah kuasa menafsir takdir.
dalam rahim rahman-Mu ya Allah, cermin-cermin menjelma muhasabah
menyaksikan renik ragaku di tengah megah bergelimpang emas Sulaiman
Kaulah mahia keagungan, niscayalah bumi menggaung-gaungkan agung-Mu
sedang aku cuma butir, cuma kerikil yang lengkara jadi kerakal bagi tanah-Mu.
Solo, 17 April 2022
Mereka Cuma Memoles Ramadan
di pasar ramai handai-taulan merunut jalanan menuju ibukota, melintasi spanduk diskon
tawaran obral dan ramah kaki lima yang bukan lagi mendagangkan teh botol atau air mineral
sebab telah musimnya serban dan sarung Wadimor berjejer, kerudung dan jilbab baru dijual
bagi mereka-mereka yang gencar merayakan Ramadan dalam kemewahan bumi semata.
kupotret laju pincang seorang yang kalut rupa dengan tatih langkah yang rumit
ia menebarkan pandangnya sebagai jala di tengah kerumun jala pada perahu-perahu besar
ia cuma arombai kecil yang tengah melarungkan keinginan menjaja segala yang di pasar
tapi ia sekadar kemustahilan, kehinaan dan cela kerap menyuburi tabah hatinya
bukankah ia seorang ilafi?
jiwanya sepadan serban putih nan suci
bukankah ia seorang duafa?
raganya meriwayatkan pertarungan dahaga.
barangkali, saban musafirnya ialah saum
setepat-tepatnya kalbu dalam rapuh tubuhnya telah menjelma baitulmal
: rumah perbendaharaan, bagi segenap harta yang anak-anak dunia perjuangkan
demi menempuh surga, demi menempuh kemuliaan, tapi tidak demikianlah
jika orang-orang cuma mendandani Ramadan seperti yang tampak pada sebelah mata
dan orang itu, yang dingklang langkahnya seperti tengah membatin dalam kecemasan,
“mereka cuma memoles Ramadan!”
Solo, 17 April 2022
(*) penulisan huruf kecil semua semata kesengajaan sebagai tipografi puisi tak terikat.
Biodata Penulis:
Vania Kharizma lahir dan dibesarkan di Kota Surakarta. Kegemarannya selain menyanyi di toilet adalah berkompetisi puisi. Prestasi terbaik Juara 1 Lomba Puisi Tingkat Internasional yang diselenggarakan Institut Pendidikan Indonesia Kota Garut. Bisa bersua dengannya melalui media Instagram @vaniakharizma atau surel vaniakharizma@gmail.com.
Monolog Otokritik
Oleh: Ragdi F. Daye
(buku terbaru yang memuat puisinya Sebuah Usaha Memeluk Kedamaian, 2021)
aku, tak pernah bersungguh-sungguh menganyam kekhidmatan
sepanjang labuh dedoa dan rubuh tubuhku di muka sajadah nan ugahari
Waluyo (1991:25) menyatakan puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa dan pengonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya. Struktur fisik puisi terdiri atas baris-baris puisi yang sama membangun baris-baris puisi (diksi, pengimajian, kata konkret, majas, verifikasi dan tipografi), sedangkan struktur batin puisi terdiri atas tema, nada, perasaan dan amanat.
Sebuah karya sastra tidak hanya menyuguhkan keindahan semata, tetapi juga mampu membuka mata masyarakat terhadap kekurangan-kekurangan di dalam tautan kehidupan masyarakat yang di dalamnya juga memunculkan pesan-pesan yang dapat diambil masyarakat sebagai pembacanya atau penikmat. Karya sastra merupakan sebuah media yang tepat untuk menggambarkan ketimpangan-ketimpangan, kondisi sosial, dan sekaligus untuk melontarkan kritik terhadap keadaan sosial, seperti masalah ekonomi, politik, korupsi, hukum, kemiskinan, pendidikan, agama, sosial budaya, dan lain sebagainya. Kritik atau koreksi atau pesan sebenarnya adalah bentuk perjuangan yang konkret seorang penyair untuk memperbaiki keadaan. Sebagai penyair yang peka terhadap situasi dan kondisi tentu hal ini menjadi perioritas dalam berkesenian atau berpuisi. Kritik sosial dan politik sebagai suatu protes sosial dalam bentuk karya sastra, sudah banyak dilakukan oleh para sastrawan Indonesia. Hal ini dapat dilihat salah satu contoh kritik sosial adalah terdapat pada kumpulan sajak Potret Pembangunan dalam Puisi karya W.S. Rendra. Menurut Rendra, hanya dalam solidaritas dengan lingkungan alam, budaya dan kosmos, manusia dapat merasakan kedekatan dengan Tuhan.
Keterkaitan sastra dalam kehidupan sosial menurut Atmazaki (2005:64), pengarang dalam menciptakan karya sastra tidak dapat semena-mena menjiplak kenyataan, melainkan merupakan suatu upaya proses kreatif yang berpangkal pada kenyataan. Karya sastra memang fiktif, tetapi tetap bertolak dari suatu kenyataan. Sebaliknya, tidak ada karya sastra yang sepenuhnya meniru kenyataan, tetapi tidak ada juga yang sepenuhnya fiktif. Apabila karya sastra sepenuhnya kenyataan, karya tersebut akan berubah menjadi sejarah dan apabila sepenuhnya fiktif, tidak akan ada seseorang pun yang dapat memahaminya. Oleh sebab itu, keterpaduan antara mimesis dan kreativitas pengarang dalam menciptakan karya sastra sangat menentukan keberhasilan sebuah karya sastra. Dari pendapat di atas, jelas bahwa keterkaitan konteks sosial dalam realitas objektif dengan proses penciptaan karya sastra sebagai sebuah realitas imajinatif.
Pada edisi kali ini, Kreatika memuat tiga puisi karya Vania Kharizma. Ketiga puisi tersebut berjudul “Ketika Kita Saksikan Saudagar Mengurut Perut di Waktu Iftar”, “seperti: Aku adalah Butir di Tengah Megah Sulaiman”, dan “Mereka Cuma Memoles Ramadan”. Puisi-puisi Vania memiliki struktur fisik berupa klausa-klausa panjang yang meliuk-liuk, seperti layang-layang di perayaan musim panen. Puisi-puisi yang mengandung kritik sosial dalam nuansa islami.
Puisi pertama “Ketika Kita Saksikan Saudagar Mengurut Perut di Waktu Iftar” menyorot fenomena sosial di tengah bulan Ramadan. Vania menyigi nurani pembacanya dengan larik-larik yang mempertanyakan empati umat yang menjalankan ibadah puasa: ‘oh, empati kita cuma sekelumit dari gas yang terbang dan mengambang di udara/ seperti kerabunan dan temaram di atas kepala pabrik dan mesin mobil tua yang mogok/ kita tak lebihnya seorang dengan banyak hal yang sia dan sukar untuk menghidang rela.’ Di dalam ajaran agama Islam, ibadah puasa mengandung makna sosial yakni ikut merasakan penderitaan orang-orang miskin yang bernasib kurang beruntung tidak mempunyai kemampuan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga sering berada dalam keadaan menahan haus dan lapar. Dari aktivitas menahan makan-minum dan melakukan hal-hal yang membatalkan puasa lainnya, orang beriman dilatih untuk memperkuat rasa empati dan kepedulian pada sesama dengan cara tidak hidup berlebih-lebihan atau berbuat kemubaziran karena masih banyak orang lain yang hidup dalam kekurangan. Realita sosialnya masih banyak orang yang berlebih-lebihan pada waktu ifthar (berbuka puasa) sehingga faedah shaum (puasa) tidak didapatkan.
Puisi kedua mengarah kepada otokritik yang juga menggunakan struktur klausa-klausa panjang. Kelihatannya Vania sangat betah dengan larik-larik yang memuat banyak kata sambung menyambung untuk menciptakan nuansa bertumpuk seperti aktivitas yang sibuk, misalnya bait ini: ‘hendak kubaringkan ringkih tubuh menjelma serdak pada kitab-kitab yang berselimut perak/ di hadap dalil aku cuma diam tak berandil, menaruh tabah di lapang sajadah menepi semarak/ suaraku sekadar lirih angin yang bersusah-payah memadahkan tartil di tengah riuh mayapada/ seperti tualang sengketa meluangkan dosa semata kenyangkan nawaitu dalam sekejap mata.’ Imaji pembaca akan dibawa dari tubuh ringkih ke kitab berdebu, lalu baris-baris ayat suci yang tak dibawa berinteraksi, berpindah ke bentangan sajadah tempat aku lirik membaca Alquran dengan irama tartil di antara hingar-bingar dunia.
Selain betah dengan rangkaian kalimat panjang, Vania suka pula mengeksplorasi kata-kata lama sebagai diksi. Kita temukan kata ‘serdak’ (debu), ‘ugahari’ (sederhana), ‘jelaga’ (arang), ‘madah’ (pujian), ‘jemala’ (kepala), ‘mahia” (sumber), dan ‘lengkara’ (mustahil). Kata-kata tersebut terasa unik dan kadang perlu melihat kamus untuk mengetahui artinya. Penggunaan kata-kata yang tidak umum itu dapat memperkuat gambaran pesan yang hendak disampaikan penyair. Diperlukan kesamaan frekuensi pemahaman agar pembaca dapat masuk ke dalam dunia imajiner yang dibangun penyair. Di samping itu, penyair perlu mempertimbangkan keberterimaan diksi di dalam struktur klausa sehingga imaji yang muncul terkesan utuh dan natural, tidak sekadar tempelan-tempelan metafora yang kehadirannya dipaksakan.
Puisi ketiga menjadi semacam potret realita masyarakat yang kerap dipertontonkan pada bulan Ramadan, polah tingkah kaum muslim di dalam mengisi hari-hari di bulan penuh rahmat. Judul “Mereka Cuma Memoles Ramadan” secara terang benderang telah menyuarakan kritik penyair tentang cara menjalankan agama oleh sebagian umat Islam. Sudah kentara sejak bait pertama, yakni ‘di pasar ramai handai-taulan merunut jalanan menuju ibukota, melintasi spanduk diskon/ tawaran obral dan ramah kaki lima yang bukan lagi mendagangkan teh botol atau air mineral/ sebab telah musimnya serban dan sarung Wadimor berjejer, kerudung dan jilbab baru dijual/ bagi mereka-mereka yang gencar merayakan Ramadan dalam kemewahan bumi semata.’ Godaan duniawi sering membuat orang lupa pada hakikat memaknai waktu yang sesungguhnya, memanfaatkan kesempatan malah jatuh pada terjebak pada perayaan yang tidak semestinya.
Puisi-puisi Vania seperti sisir yang mengorek kadas di kepala. Menyakitkan, tapi begitulah kritik.[]
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini disediakan untuk penulis pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.