Cerpen: Nayla
“Al, nanti malam mau ikut tidak?”
Ajakan itu memecah lamunan Alyana pada suatu sore yang membosankan. Alyana menoleh antusias ke arah papanya.
“Kemana, Pa?”
“Nanti malam ada pentas seni di kampus,” jelas Papa.
“Kenapa cuma kakak yang diajak?” Protes Afiysa, adik Alyana dari kamar.
“Biasanya Alyana yang antusias tentang acara pentas seni tradisional seperti ini. Kalau Afiysa mau ikut juga boleh,” jawab Papa.
Panggung pentas seni masih gelap.
Hanya cahaya beberapa bintang kecil meneranginya. Bulan enggan menunjukkan sinarnya, bersembunyi di balik awan. Angin malam membelai lembut para penonton yang mulai ribut menanti pertunjukan pertama. Tepuk tangan bergemuruh ketika cahaya lampu mulai menyinaru panggung, menyorot enam orang penari dengan piring di tangan mereka. Alunan musik mulai terdengar mengiringi pertunjukkan tari piring. Alyana mematikan HP-nya. Ia mulai fokus pada pertunjukkan di panggung. Tidak peduli seberapa sering ia melihatnya, kesenian tradisional tidak pernah membosankan. Sayangnya, peminatnya tidak lagi banyak sekarang. Era globalisasi, membuat para muda-mudi lebih menggemari lagu-lagi luar negeri. Meskipun begitu, acara malam ini tidak kalah seru. Memang, tidak seramai konser-konser boyband atau girlband Korea. Namun, lokasi pentas seni malam ini dipenuhi oleh mahasiswa kuliah, terutama dari Fakultas Ilmu Budaya.
Alyana tertawa kecil melirik adiknya yang meringis ngilu menyaksikan puncak pertunjukkan tari piring yang memukau. Salah seorang penari dengan santai melompat-lompat di atas tumpukan piring hingga piring tersebut pecah. Namun, penari yang bahkan tidak memakai alas kaki itu sama sekali tidak terluka.
Lagi-lagi tepuk tangan bergemuruh. Musik mulai melambat, para penari meninggalkan panggung. Pembawa acara kembali mengambil alih panggung, memberi komentar untuk pertunjukan tari tadi. Penonton bersorak-sorak. Beberapa orang menyebut nama penari yang tadi menginjak-injak pecahan piring, sepertinya kakak itu cukup terkenal. Alyana akui itu memang menakjubkan, pasti membutuhkan keterampilan khusus. Namun, ada sesuatu yang lebih menarik perhatian Alyana dalam pertunjukan tari tadi. Musik pengiring tari jelas bukan rekaman. Sekelompok pemain musik di sudut panggung memang tidak terlalu disorot. Meskipun begitu, mereka pasti sungguh-sungguh memainkan serangkaian alat musik tradisional. Tangan mereka dengan lincah memainkan stik, memukul talempong, atau menabuh gendang. Alunan serunai melengkapi rangakaian melodi.
Lampu sorot kembali dimatikan. Pembawa acara kembali turun dari panggung setelah mengumumkan pertunjukan selanjutnya. Ada cahaya redup dari belakang panggung, beberapa panitia membantu mengangkat serangkaian alat musik tradisional. Nada sol dipukul oleh salah satu pemain talempong seiring lampu menyorotnya di tengah panggung. Mungkin terlihat sepele, karena dua pemain lainnya membawa dua nada. Alyana tahu pastilah pasangan nada yang mereka bawa itu adalah mi dan do serta fa dan re. Alyana juga tahu nada sol berguna sebagai pengatur tempo. Itu standar bermain talempong pacik yang pernah Alyana pelajari dulu.
Alyana sendiri, dulu ketika masih bermain talempong bersama empat temannya di SD, pernah mengeluh. Zaskia, salah satu rekan tim sekaligus sahabatnya memainkan nada sol, jelas lebih ringan daripada dirinya yang harus memegang dua nada sekaligus. Namun, segera setelah Alyana menguasai bagiannya pada nada mi dan do, gadis itu justru protes ketika Zaskia ingin bertukar. Pada talempong pacik yang mereka mainkan saat itu, mi, dan do adalah nada utama. Jelas Alyana tidak mau bertukar dengan Zaskia yang hanya memegang nada sol.
Meskipun begitu, Zaskia tetap memaksa hingga terjadi adu mulut luar biasa di antara mereka berdua. Padahal hari itu, mereka berlima akan menyambut Tim Penilai Sekolah Sehat dengan bermain talempong pacik. Devan, rekan lainnya menawarkan jalan tengah agar kedua gadis itu mau berdamai. Devan bersedia memainkan nada sol yang mereka anggap remeh. Alyana menyerahkan nada mi dan do pada Zaskia, sementara fa dan re akan menjadi bagiannya.
Ithar yang bertugas menabuh gendang sempat tidak setuju. Mereka bertiga belum pernah bertukan peran. Namun Raka yang paling tua diantara mereka sekaligus memiliki peran paling penting dalam tim itu menyakinkan, tidak masalah bertukar peran. Kelimanya sama-sama mempelajari semua nada, karena itu adalah dasarnya. Ithar sendiri juga pandai memainkan kelima nada itu, bahkan Devan, Alyana, dan Zaskia juga bisa menabuh gendang. Raka sendiri jangan ditanya, dia bisa semuanya, bahkan serunai. Itulah kenapa perannya yang paling penting, karena hanya Raka yang bisa memainkan serunai.
Alyana tertawa kecil mengingat kejadian enam tahun yang lalu ketika dirinya masih duduk di kelas empat. Penampilan hari itu berjalan lancar. Mereka berlima berhasil menyambut Tim Penilai Sekolah Sehat meskipun tentu saja penampilan mereka tidak se-spektakuler penampilan malam ini. Bagi Alyana, yang terpenting masa-masa itu mereka bersenang-senang.
Pertunjukan talempong pacik segera usai. Namun, belum berakhir. Dua set lengkap talempong masih menunggu untuk dimainkan. Salah satu pemain talempong tadi menguasai set sebelah kanan, sementara dua lainnya berbagi set yang di sebelah kiri. Mereka kembali bermain. Nada sol kembali menjadi pembuk. Hanya beberapa ketukan sebagi tempo. Lalu, pemain di sebelah kanan mulai memainkan sedikit nada solo. Kemudian, disambut dengan suara gendang teratur. Pemain di sebelah kiri ikut bermain mengiringi nada pokok beriringan dengan suara serunai yang mendayu-dayu.
Alyana semakin antusias. Gadis itu tahu betul lagu ini. Lagu Ka Parak Tingga, lagu pertama yang dia pelajari bersama teman-temannya di SD dulu. Tentu saja tidak sesederhana permainan anak SD yang baru belajar. Lagu yang dibawakan di panggung ini lebih seru dengan tambahan sedikit improvisasi dari setiap pemain yang tentunya sudah lama mempelajari alat musik tradisional. Lagu yang sama dengan keterampilan yang lebih bagus. Bahkan Alyana pun tak mampu berkedip. Lagu ini membawa kembali kenangan saat-saat pertama mereka mempelajari alat musik tradisional. Mereka berlima, Alyana, Zaskia, Devan, Ithar, dan Raka. Sebelumnya, mereka ikut sekelompok murid yang dipilih Kepala Sekolah untuk melihat-lihat alat musik tradisional di sebuah SMP.
Alyana yang saat itu masih kelas empat tentu saja antusias melihat satu set lengkap talempong. Ketika teman-teman perempuannya yang lain mengikuti salah satu guru mereka untuk melihat ekskul tari SMP tersebut, Alyana, dan Zaskia lebih tertarik dengan alat musik. Sebagian besar anak laki-laki lebih tertarik dengan silat namun tidak sedikit yang ikut memperhatikan permainan alat musik tradisional.
“Mau coba?” Salah satu anak SMP itu mengulurkan stik kepada Raka yang berada paling dekat. Raka ragu-ragu menerimanya dan mencoba mempraktikkan apa yang dia lihat. Tentu saja tidak mudah mengingat nada mana saja yang dipukul tadi. Terlebih talempong itu tidak memiliki angka 1, 2, 3 atau huruf c, d, e, f, g sebagai penanda do, re, mi, fa, sol.
Devan dan Ithar lebih berani menghampiri anak SMP yang satunya. Meminjam stik dan mencoba bermain meski asal-asalan. Kakak-kakak SMP itu berbaik hati mengajarkan apa yang mereka ketahui. Alyana dan Zaskia memperhatikan dengan saksama. Tentu saja mereka ingin mencoba namun tidak berani di hadapan kakak-kakak itu.
“Van, pinjam dong. Al mau coba,” kata Alyana pada Devan. Kebetulan mereka teman sekelas. Jadi, Alyana tidak terlalu canggung. Selain itu, kakak-kakak SMP itu pergi entah kemana meninggalkan set talempong itu pada Devan, Ithar, dan Raka, meminta mereka menjaganya dan terus berlatih.
Devan dengan senang hati meminjamkan stiknya. Alyana mulai menatap set talempong itu. Iya mengingat-ingat apa yang diajarkan kakak-kakak SMP tadi. Lalu, dengan yakin mencoba memainkannya. Meski temponya cukup lambat, Alyana berhasil melakukannya, bahkan karena keisengannya Alyana berhasil menambahkan sedikit improvisasi.
“Eh, Al, coba lagi. Gimana tadi? Sepertinya yang kamu mainkan sedikit beda,” ujar Ithar tertarik. Ithar saat itu masih kelas tiga namun dia tidak pernah menganggap Alyana sebagai seniornya. Karena umur Alyana sendiri lebih muda dari Ithar, gadis itu kecepatan masuk sekolah.
Alyana kembali mempraktikkannya. Ithar dan Raka juga mencoba-coba improvisasi di set talempong lainnya. Devan kembali meminjam stik dari Alyana. Ia ingin mencobanya juga namun Alyana tidak segera memberikannya.
“Sebentar, Van. Dari tadi Zaskia cuma menonton saja. Nih,” Alyana mengulurkan stik pada Zaskia. Dia tahu persis sahabatnya itu juga ingin mencoba.
Menjelang sore, pelajaran seni tradisonal mereka berakhir. Murid-murid yang masih antusias belajar tari, silat, ataupun musik dengan kecewa kembali naik ke bus untuk pulang ke sekolah. Hanya saja tidak benar-benar berakhir bagi Alyana dan keempat temannya. Karena selang beberapa bulan setelah kunjungan itu, set talempong beserta gendang baru tiba di sekolah mereka. Kepala Sekolah memutuskan membelinya untuk menjadi bagian dari ekstrakulikuler. Semester dua menjelang kelulusan murid-murid kelas enam. Tidak seperti SD di kota-kota yang perpisahan kelas enam dengan jalan-jalan, di SD Alyana dulu, mereka melakukan perpisahan di sekolah dengan berbagai pertunjukan dari adik kelas.
Alyana pernah ikut mengisi acara perpisahan kelas enam. Ia pernah menari indang ataupun berpuisi. Tahun itu Kepala Sekolah mengundang beberapa mahasiswa kuliah untuk mengajarkan memainkan alat musik tradisional, juga mengajar tari. Namun, latihan untuk mengisi acara perpisahan itu berakhir buruk bagi Alyana. Gadis itu sangat ingin bermain talempong. Awalnya, kakak-kakak mahasiswa itu memilih mereka berlima untuk bermain talempong. Ketika latihan setengah jalan, kakak-kakak mahasiswa itu memilih mengeluarkan Alyana dari tim alat musik tanpa alasan yang jelas. Alyana marah. Ia protes pada kakak-kakak itu dan juga kepada para guru, bahkan Alyana menyalahkan Zaskia merebut posisinya. Para guru cukup paham dan membujuk Alyana untuk ikut menari saja. Dengan berat hati, Alyana setuju.
Semuanya hanya berakhir buruk. Alyana tidak tahu apa yang terjadi, tapi acara perpisahaan tahun itu dibatalkan. Kakak-kakak mahasiswa menolak mengajar talempong lagi, juga banyak yang mengeluh dalam latihan tari. Talempong itu tidak jadi digunakan. Padahal, Kepala Sekolah sangat ingin ada ekstrakulikuler musik tradisional di sekolah namun tidak mendapat pelatihnya. Ketika itulah, tanpa Alyana sadari Kepala Sekolah pernah berdiskusi dengan papa Alyana serta dengan orangtua Zaskia, Devan, Ithar, dan Raka. Kepala Sekolah ingin kami ikut les talempong di kota yang tidak terlalu jauh dari kampung sekali seminggu, lalu nanti mengajarkan ilmu yang kami dapat di sana kepada adik-adik. Satu yang Alyana tahu pasti, orang tua mereka berlima setuju. Hari itu Alyana menyaksikan Raka yang sudah cukup bisa memainkan lagu Ka Parak Tingga meskipun hanya setengahnya. Sepertinya Raka sudah mulai latihan lebih dulu. Kepala Sekolah mengawasi setiap latihan dan ikut datang ke sanggar. Hubungan kami berlima pun semakin dekat.
Alyana bertepuk tangan dengan keras ketika pertunjukan musik malam itu berakhir. Hari itu Alyana memiliki tujuan kecil. Ketika kuliah nanti, ia akan bergabung dengan organisasi mahasiswa yang mempelajari kesenian tradisional ini. Ia ingin melestarikan kesenian tradisional. Ia tidak akan meminta anak-anak atau teman-temannya mencintai kesenian tradisional ini. Bagi Alyana, mempelajari dan mendalaminya untuk diri sendiri saja sudah cukup karena mencintainya.
Lima tahun kemudian. Musik mempertemukan mereka kembali. Di panggung yang sama, kelima teman masa kecil itu kembali memainkannya. Lagu yang sama, tetapi kali ini dengan keterampilan yang telah meningkat. Walaupun hanya panggung pentas seni sederhana, Alyana yakin, ini adalah titik awal. Pintu yang membuka jalan baginya dan keempat temannya menuju panggung internasional untuk memperkenalkan kesenian tradisional.