Oleh: Dr. Sulastri, M.Hum.
(Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)
Meskipun zaman berganti isu-isu kisah pengalaman merasa kurang nyaman masih tetap ada dan akan selalu terdengar. Isu tersebut sebuah cap atau merek diberikan kepada seseorang. Seolah-olah merek dikaitkan dengan hal-hal yang ekslusif karena ada identitas diri yang melekat pada isu tersebut. Identitas diri yang cenderung memberikan penilaian-penilaian tertentu.
Jangan-jangan isu atau merek merupakan sesuatu yang “diada-adakan” padahal “tidak ada dan tidak perlu ada”. Ada jebakan di sana. Bila tidak disikapi hati-hati, isu tersebut dapat melahirkan suatu keadaan yang kontraproduktif, misalnya kurang nyaman dengan sebutan jilbab besar, ukhti, muslimah, dan sebagainya. Sebutan itu dapat dijadikan penilaian sebuah fungsi strategis sebuah keyakinan yang memposisikan diri berbeda dari lingkungan sosialnya. Sebutan jilbab besar cenderung menghendaki agar mereka diakui, terutama dari segi pencapaian “keyakinan tertentu” dengan embel-embel yang abstrak.
Barangkali, perenungan dan pengalaman yang ada dalam cerpen “Jilbab Besar Gea” yang terbit di Scientia.id pada Minggu, 26 Juni 2022 karya Desti Marlina merupakan perenungan seorang perempuan dengan pengalaman khasnya untuk mengubah mindset. Hanya saja perubahan mindset belum terbantu oleh jalinan plot serta peristiwa yang dipaparkan dalam cerita. Lebih jauh, lompatan-lompatan peristiwa seakan-akan dipaksakan. Apakah perubahan mindset Gea memakai jilbab besar disebabkan ayahnya sakit atau karena tidak dapat beasiswa? Sementara itu, dulunya, Gea diceritakan sebagai anak bandel. Semua gagasan terjalin dalam hubungan unsur yang masih longgar.
Kemudian, persoalan yang diangkat dan semua jalan keluar yang ditawarkannya masih klasik dan tidak greget. Sampai di sini cerita belum menunjukkan unsur perbedaan jilbab besar sebagai sebuah identitas. Apakah jilbab besar sebuah subordinasi tanda sebagai identitas yang ‘terbeban”? Isu tersebut telah memberikan kesempatan menembus kesalahan-kesalahan terdahulu dengan kata ‘tobat, atau hijrah’ dari tokoh Gea. Perspektif hijrah ini menjadi bagian penting ditunjukkan dalam cerpen “Jilbab Besar Gea” dan bagaimana bentuk perilaku setelah ‘hijrah’ tersebut. Namun, guratan pengalaman Gea dan cara mengekspresikan jilbab besar tampak dikerdilkan oleh jalinan akhir cerita yang mengatakan bahwa Gea kecantol dengan pemuda yang dipanggilnya “Bapak” sebagai bentuk ‘salah sapa’.
Uraian ini merupakan manifestasi perilaku seorang anak perempuan yang berharap romantisnya masa-masa remaja. Dalam psikologi sastra, jilbab besar bisa disebut sebagai topeng atau bentuk penyamaran dari krisis kepribadian remaja putri dalam mencari identitas diri. Carl Gustav Jung menyebutnya persona. Persona merupakan wajah atau topeng dari segi kepribadian yang ditampilkan seseorang ke alam sekelilingnya. Persona mencerminkan bagaimana kita ingin dilihat orang. Persona atau topeng sangat kuat mengidentifikasikan pribadi seseorang. Kadangkala, topeng dapat mengalienasi diri dari keadaan sebenarnya (Jung dalam Hartono, 2000:23). Juru selamat jilbab besar dapat menjadi bayang-bayang atau shadow dalam mewakili spontanitas dan kreativitas serta emosi yang kuat. Hal itu dapat ditampilkan dari bentuk salah satu aspek untuk melarikan diri dan adaptasi kemanusiaan untuk siap melawan bahaya.
Eksplorasi jilbab besar dan salah sapa sebenarnya sudah dapat menjadi permasalahan menarik untuk dikembangkan. Bagaimana cap tertentu bisa dikukuhkan dan bagaimana keberadaan jilbab besar yang bisa memberikan pengalaman tersendiri. Namun, hal itu bisa ditunjukkan dengan tingkat ‘kesopanan’ jilbab besar mengekspresikan dan mengkreasikan identitas diri tertentu apabila dilukiskan secara sempurna. Pernyataan mengenai perubahan “moral” yang dianut jilbab besar belum mengukuhkan identitas karena momen religius dan temanya belum dikembangkan dengan sempura. Setidaknya, kebutuhan jilbab besar membangun benteng moral belum dikomunikasikan dengan baik.
Dorongan self untuk mencapai keutuhan diri yang matang sebagai pusat kepribadian belum diletakkan dalam jalinan unsur cerita yang seimbang antara perilaku sadar dan tak sadar tokoh Dea. Keyakinan untuk ‘hijrah’ agar menimbulkan simpati pembaca, apalagi dengan niat membangun identitas sebagai sebuah pesan kepada pembaca belum tersampaikan dengan baik. Karena dinding-dinding ‘hijrah’, jilbab besar merupakan hal yang sangat individual, pengalaman subjektif seseorang belum diberikan porsi sewajarnya pada teks. Artinya, sikap dasar manusia untuk introversi ke arah kematangan kepribadian ke dalam belum ditunjang oleh sikap ekstraversi kematangan dari perilaku yang tampak dari luar. Dengan demikian, pikiran, perasaan, sikap dan kepercayaan yang dibalut oleh jilbab besar masih berada dalam alam tak sadar kolektif dan hanya tersimpan dalam ingatan serta pengalaman masa lalu. Oleh karena itu, citra primordial berjilbab besar masih berpotensi untuk dikembangkan ide dalam menentukan predisposisi untuk memiliki/mengenali bagaimana sebenarnya jilbab besar dikembangkan menjadi ide yang lebih potensial agar pengertian jilbab besar tidak mengambang sebagai cap atau merek saja.
Judul cerpen Jilbab “Besar Gea” sudah begitu menarik untuk dikembangkan sebagai sebuah kendaraan untuk mencapai tujuan, belum didukung terintegrasinya unsur-unsur cerita dan peristiwa lain yang dibeberkannya. Wilayah ‘naksir’ atau jatuh cinta yang digambarkan pada akhir cerita agak mengusik meskipun cerita ditampilkan serba ringan, pola, dan tema yang ditemukan sesuatu montase yang dapat dipermasalahkan. Hasrat keingintahuan pembaca dipancing oleh judul yang sensitif. Mungkin pemahaman seseorang mengenai jilbab besar telah menampilkan sebuah fotogram kehidupan. Sebaiknya, detail perwujudan hasrat jilbab besar dirangkai dalam beberapa peristiwa dan plot yang kuat. Kekaguman terhadap identitas diri telah ditampakkan dalam jalinan cerita namun penulis masih memerlukan latihan untuk mengembagkan ide cerita secara berulang-ulang.
Discussion about this post