Hutan Larangan
Cerpen: Uda Agus
Kampung Jati hanyalah sebuah kampung kecil. Penghuninya sekitar seribu jiwa. Letaknya di balik bukit yang mempunyai hutan lebat di belakangnya. Hutan larangan, begitu warga menyebutnya. Kata ibu, dulu hutan itu tidak angker. Tidak ada yang menyebutnya hutan larangan. Nama itu baru muncul beberapa tahun terakhir. Entah siapa yang membawa kabar itu pertama kali. Katanya, hutan itu dihuni makhluk tak kasat mata, orang-orang bunian. Katanya lagi, di dalam hutan tinggal sekelompok harimau buas penunggu hutan, peliharaan orang bunian. Sekarang, warga kampung tidak ada yang berani memasuki hutan, walau sekadar mencari kayu bakar. Mereka juga melarang anak-anak mendekati hutan. Apalagi saat magrib akan menjelang. Waktu magrib adalah saatnya orang bunian keluar dari persembunyian, begitu kata mereka.
Suatu hari, Alan dan Dion mengajakku ke hutan larangan. Aku tidak mau. Mereka menertawakanku. Menuduhku penakut, banci. Lama-lama aku gerah juga mendengar ejekan mereka. Tidak ada salahnya ikut dengan mereka. Ini masih tengah hari, masih siang, cuaca juga sangat cerah. Orang bunian tidak akan keluar saat seperti ini. Kata Alan dan Dion, mereka hanya ingin membuktikan kalau tidak ada yang perlu ditakutkan dengan hutan itu.
“Tapi kamu harus janji, ini akan menjadi rahasia kita bertiga.” Aku mengangguk. Kemarin, rahasia itu masih milik mereka berdua, sekarang menjadi rahasia kami bertiga. Esok? Mungkin ada lagi yang tahu. Biarkan sajalah. Aku berharap semua orang tahu rahasia itu. Tidak baik menyimpan rahasia. Itu seperti sebuah kejahatan. Bukankah lebih baik berterus terang saja? Rasa penasaran kini membuat rasa takut di hatiku menguap begitu saja. Entah apa yang akan dibuktikan oleh Alan dan Dion. Kami melangkah jauh ke dalam hutan larangan. Bagaimanapun aku tetap waspada. Bait-bait kalimat suci, kulafazkan dalam hati, mengiringi langkah memasuki hutan angker itu.
***
Penduduk Kampung Jati heboh. Ayu, anaknya Uni Mariani sejak dua hari yang lalu tidak pulang-pulang. Hilang. Ayu, bocah lima tahun yang baru masuk taman kanak-kanak awal bulan lalu itu langsung menjadi pusat pembicaraan. Dari Kampung Jati beralih ke kampung lain. Dari kampung lain pindah ke kampung lainnya lagi. Hingga akhirnya kabar itu mengapung di mana-mana. Kampung Jati kini terkenal. Tiap hari ada saja orang-orang baru yang datang. Mengaku wartawan, yang menulis berita di koran. Ada juga yang membawa kamera-kamera besar. Kata ibu, Kampuang Jati akan masuk tivi.
Hilangnya Ayu, kini sudah diketahui semua orang. Beritanya dimuat di semua harian surat kabar. Ada yang menuliskan Ayu diculik penjahat. Ada yang mengatakan Ayu disantap binatang buas penghuni hutan larangan. Yang paling menyita perhatian penyebab hilangnya Ayu adalah karena dilarikan orang bunian.
“Apa? Orang bunian? Kalian mengada-ada, ini zaman milenial. Gak ada itu orang bunian.” Pak Syamsul saat mendengar kabar itu langsung berkomentar. Ia yang akan maju dalam pemilihan calon legislatif tahun ini tidak percaya dengan berita itu. Aku tahu Pak Syamsul orang pintar. Kalau dia tidak pintar, tidak mungkin ikut nyaleg segala. Kata orang-orang jadi anggota dewan. Entahlah, aku tidak mengerti. Yang jelas, anggota dewan itu katanya pintar-pintar, pandai bicara. Dari yang kudengar, anggota dewan itu juga harus pandai berbohong. Jangan-jangan Pak Syamsul sekarang lagi latihan berbohong. Mengatakan orang bunian itu tidak ada.
“Jadi menurut Bapak, ke mana hilangnya Ayu?” tanya beberapa warga yang saat itu minum kopi bersamanya di warung Tek Sidar, janda muda yang ditinggal suaminya karena tertarik janda lain di kampung sebelah. Tek Sidar yang duduk di balik mejanya, seperti terlihat asyik juga mengikuti obrolan malam ini.
Pak Syamsul menyodorkan sebuah surat kabar yang dari tadi dipegangnya. “Berita ini yang paling masuk akal,” katanya. Lalu membentangkan surat kabar itu di atas meja setelah menyingkirkan beberapa gelas kopi dan toples-toples kue yang menghalangi ke pinggir meja. Beberapa kepala langsung membaca sebuah judul besar pada halaman pertama surat kabar itu. WASPADA, PENCULIKAN ANAK KINI MERAMBAH KAMPUNG JATI. Lalu di bawah judul besar itu terdapat tulisan lain yang ukuran hurufnya lebih kecil, AYU, BOCAH TK ITU DICULIK USAI SHALAT MAGRIB.
Beberapa kepala saling berebut membaca isi berita itu. Ada gumam di sana-sini. Semua sepertinya setuju dengan isi berita itu. Jauh lebih masuk akal daripada kabar orang bunian. Penculikan anak, kini memang sedang marak di mana-mana. Ada berita yang menuliskan sang anak akan dijual ke luar negeri, ada lagi yang lebih parah, sang anak akan dimutilasi, diambil organ-organ vital dalam tubuhnya. Aku bergidik mengetahui hal itu. Tidak terbayangkan seandainya aku yang mereka culik.
Lalu dari sudut warung, Mak Leman berkomentar, “Baru kemarin saya menonton televisi, katanya berita penculikan anak yang akhir-akhir ini heboh di beberapa daerah itu hanya hoax, berita bohong. Pak Kapolri sendiri yang mengadakan konferensi pers kalau itu bohong.” Usai berkata, ia menghisap dalam-dalam sebatang rokok yang tinggal setengah di sela-sela jarinya. Menghembuskan asapnya ke udara. Asap putih menari-nari, membentuk pola-pola yang kemudian menguap ke udara.
“Lha, buktinya di sini, Ayu hilang, bagaimana bisa itu hoax? Gak mungkinkan si Mariani menyembunyikan anaknya lalu mengatakan pada kita kalau Ayu hilang? Buat apa? Biar terkenal?” Pak Syamsul bersikukuh. “Lalu Mak Leman percaya kalau Ayu diculik orang Bunian?”
Mak Leman mengangguk.
“Percaya atau tidak, makhluk halus itu ada, berkeliaran di sekitar kita. Jika Ayu diculik oleh salah satu dari mereka, aku rasa itu bukanlah sesuatu yang mengherankan.” Beberapa warga lain sepertinya mempercayai ucapannya. Adu pendapat kembali terjadi. Tek Sidar ikut-ikutan komentar. Ia sepertinya pendukung fanatik Pak Syamsul. Tentu saja, semua orang juga tahu, beberapa waktu lalu Pak Syamsul memodali warungnya beberapa juta rupiah. Sekeliling warungnya kini juga dipenuhi foto-foto Pak Syamsul.
“Orang bunian hanyalah mitos. Benar makhluk gaib itu ada, tapi kita hidup di alam yang berbeda dengan mereka.”
“Atau jangan-jangan Mariani ingin buat sensasi lagi seperti beberapa tahun lalu. Kalian masih ingat? Ayu lahir tanpa tahu siapa ayahnya. Neneknya bilang karena Mariani dihamili orang bunian, padahal itu untuk menutupi malu karena telah diperkosa.”
Suara-suara sumbang memenuhi warung Tek Sidar. Makin malam semakin panas.
Ini malam Minggu, besok sekolah libur, makanya bapak mengizinkanku ikut ke warung Tek Sidar. Baru kali ini tidak ada yang berselera menonton tivi, semuanya fokus membicarakan satu hal, hilangnya Ayu.
Pikiranku melayang pada beberapa hari lalu. Saat Alan dan Dion mengajakku memasuki hutan larangan. Waktu itu, aku melangkah tak pernah jauh dari Alan dan Dion. Orang bunian, makhluk halus, hanya itu yang ada dalam pikiranku. Bagaimana jika aku diculik? Bagaimana jika aku tidak bisa menemukan lagi jalan pulang? Atau bagaimana jika tiba-tiba nanti aku benar-benar bertemu mereka dan hilang ingatan sehingga tidak bisa menceritakan apa yang terjadi? Hampir satu jam kami melangkah ke dalam hutan di balik bukit itu. Dan betapa terkejutnya aku begitu melihat apa yang terpampang di hadapanku. Alan dan Dion hanya tersenyum.
“Suara-suara aneh itu berasal dari sini. Di sini mereka menebang pohon menggunakan mesin-mesin yang suaranya belum bisa diredam. Lihat itu, mereka juga bikin tenda-tenda yang besar dan bagus. Setahu kami, mereka bekerja hanya satu atau kadang dua kali dalam seminggu. Semuanya dilakukan malam hari.” Alan membeberkan panjang lebar. Ia sepertinya tahu persis kapan orang-orang itu bekerja. Aku menyapu pandang berkeliling. Bongkahan-bongkahan kayu bergelimpangan dalam areal seluas lebih satu hektar. Ada tiga tenda besar di sana. Beberapa mesin pemotong kayu dibiarkan begitu saja tergeletak di depan tenda-tenda itu.
“Mereka hembuskan kabar burung tentang hutan ini, suara-suara itu, orang bunian, ancaman binatang buas, dan lainnya, sehingga tidak ada yang berani memasuki hutan terlalu dalam. Begitulah, entah sudah berapa banyak kayu yang mereka angkut dari sini. Yang jelas, mereka lakukan ini pada malam hari, dan sama sekali tidak melewati perkampungan kita.” Dion menambahkan. Lalu tangannya menunjuk jauh ke depan. “Kalau kita lanjutkan perjalanan ke sana, akhirnya akan sampai ke daerah perbatasan. Mobil yang mengangkut kayu-kayu ini masuk dari sana, daerah yang sudah bukan propinsi ini lagi.”
Aku hanya melongo.
Kami pulang dari hutan tidak lama kemudian. Kata Alan dan Dion, beberapa orang warga kampung terlibat dalam aktivitas itu, dan merekalah yang telah mengumbar berita tentang keangkeran hutan itu kepada para warga. Ketika kusarankan apakah sebaiknya hal itu dilaporkan kepada polisi, Alan dan Dion langsung mengatakan jangan. Aku jadi curiga, warga kampung yang mereka maksud bisa jadi orang tua mereka sendiri. Tapi aku tidak menanyakan itu, sebab mereka sendiri yang akhirnya menjawab keraguanku.
“Apakah bapakmu sekarang ada di rumah?” tanya Dion kemudian. Aku menggeleng. Bapak tadi pagi sudah bilang pada ibu mau berangkat ke kota. Satu atau dua kali dalam seminggu bapak memang bekerja di kota. Dan dia…. tiba-tiba aku melihat ke arah Dion dan Alan yang tersenyum.
“Bukankah bapakku berangkat bersama bapak kalian?”Alan dan Dion tertawa.
“Dan kalau kau ingin buktikan, malam ini mereka akan ada di sini.” Saat itu semuanya menjadi jelas bagiku. Kenapa Alan dan Dion ingin mengajakku ke sini. Mereka ingin membuktikan sesuatu. Mereka mengatatakan itu harus dirahasiakan. Tidak mungkin mereka melaporkan bapak mereka sendiri pada polisi.
Kini aku memikirkan Ayu, apakah hilangnya Ayu ada hubungan dengan aktivitas orang-orang itu? Ah, mengapa harus ada bapak dalam kumpulan orang-orang itu? Tapi Ayu masih terlalu kecil. Jika Ayu benar mengetahui ada penebangan liar di dalam hutan, ia tidak akan melapor atau yang macam-macam, tahu apa bocah lima tahun itu? Atau benar bahwa di hutan itu memang merupakan perkampungan orang bunian?
Orang bunian, aku harus menanyakan ini pada Mak Rabiah. Sebagai orang yang sudah lama mengenyam asam garam kehidupan, ia pasti tahu akan hal ini. Juga perihal Uni Mariani yang hamil di luar nikah seperti yang dibicarakan di warung tadi, aku baru tahu sekarang.
***
Malam ini, Kampung Jati diguyur hujan lebat. Ini hari ketujuh Ayu hilang tanpa kabar berita. Sambil merapatkan sarung di tubuhku, aku mendekati Mak Rabiah yang duduk di sudut ruangan. Mak Rabiah adalah neneknya Ayu. Satu minggu terakhir, ia tak pernah lelah meneteskan air mata. Mak Rabiah juga guru kami mengaji, sejak duduk di kelas 1, hingga sekarang ketika sudah mendekati masa kelulusan dari sekolah dasar.
“Mak, benarkah orang bunian itu ada?” tanyaku pelan. Malam ini hanya aku yang datang mengaji. Meski hujan lebat, ibu tetap memaksaku untuk pergi. Selama ini bagiku cerita orang bunian hanya sebuah mitos yang tidak perlu dipercayai.
Mak Rabiah mengangguk. Pelan. “Orang bunian itu siapa, sih, Mak?” aku mendekatkan diri pada Mak Rabiah, selain guru ngaji, ia memang sudah seperti nenek sendiri bagiku.
“Ia sejenis makhluk halus, sebangsa jin, ia menyerupai manusia.” Mak Rabiah memulai ceritanya. “Orang bunian sama seperti kita, mereka juga berkeluarga, punya keturunan, hidup dalam kelompok masyarakatnya yang kita tidak bisa melihat. Bagi sebagian orang yang punya kemampuan indra keenam, ada yang bisa melihat keberadaan orang bunian. Bahkan beberapa orang katanya pernah mendatangi dan tinggal di perkampungan orang bunian.” Angin malam yang dingin masuk pelan melalui ventilasi. Menghembus bagian belakang telingaku. Aku menoleh ke samping, memastikan tidak ada siapa-siapa di sana. Di ruangan ini hanya ada aku dan Mak Rabiah. Uni Mariani sudah masuk ke kamar dari tadi.
“Menurut Mak, Ayu diculik orang bunian?” pelan-pelan aku menanyakan hal itu. Berharap Mak Rabiah akan menggeleng, tapi nyatanya ia mengangguk.
“Banyak berita beredar, kalau Ayu korban penculikan anak, beberapa malah mengatakan Ayu sudah disantap harimau penunggu hutan, tapi Mak tahu, itu tidak benar. Ayu sekarang berada bersama orang-orang itu, orang bunian.”
“Lalu mengapa Mak begitu yakin?”
Mak Rabiah menarik napasnya. Lalu menatap tajam ke arahku. “Karena Mak melihat sendiri saat Ayu pergi bersama orang bunian itu.”
Guyuran hujan terdengar begitu lebat di luar sana. Aku tidak merasakan kedinginan lagi. Cerita Mak Rabiah telah membuat bulu kudukku berdiri.
“Waktu itu, Ayu baru saja dimarahi ibunya. Sambil menangis, ia menembus gerimis berlari ke luar rumah. Pantangan yang selama ini kukatakan padanya agar tidak keluar di waktu magrib sama sekali tidak didengarnya. Ia lupa, saat matahari tenggelam, saat pergantian siang dengan malam, adalah saat mereka keluar.”
“Mereka?” aku bertanya.
“Ya, orang bunian itu. Waktu itu Mak sudah mengejar Ayu yang berlari ke arah hutan di belakang rumah. Tapi Mak terlambat. Mereka lebih dulu mendapatkan Ayu dan membawanya.”
Sulit kupercaya kalau kata-kata itu tidak keluar dari mulut Mak Rabiah. Ia punya indra keenam? Kalau begitu, ia pasti tahu kemana Ayu pergi. Kenapa Mak Rabiah tidak berusaha mencarinya?
“Ia bukan diculik. Ia dibawa sendiri oleh ayahnya.” Mak Rabiah seakan mengerti apa yang kupikirikan.
“Mak, saya tidak mengerti.”
“Ayu itu keturunan orang bunian. Dulu Mariani punya hubungan khusus dengan orang bunian, mereka jatuh cinta, hingga akhirnya Ayu lahir. Dan kau boleh tak percaya, waktu seusia Ayu dulu, Mak juga pernah merasakan hidup selama tiga minggu bersama orang bunian.”
***
Akhir-akhir ini, intensitas hujan memang cukup tinggi. Hampir tiap hari hujan melanda Kampung Jati. Sama seperti sore ini. Keasyikanku bermain bola bersama kawan-kawan di lapangan kampung langsung terganggu. Tidak ada yang mengomando, kami langsung berlarian menuju rumah masing-masing. Tidak lama lagi azan Magrib akan berkumandang. Jika hujan terus berlanjut, aku akan tetap pergi mengaji tanpa disuruh ibu. Cerita malam kemarin bersama Mak Rabiah masih jauh dari kata selesai. Aku belum puas. Saat melewati rumah Mak Rabiah, aku melihat perempuan yang sudah mendekati tujuh puluh tahun itu bergegas menuruni anak tangga. Sepertinya ia memang sengaja menungguku.
“Ilham, cepat kau susul Mariani, ia baru saja berlari ke arah hutan, katanya mau menyusul Ayu. Mak takut terjadi apa-apa. Ia berlari membawa pisau. Mak akan hubungi orang-orang untuk menyusul, kau duluan saja.”
Tak perlu mendengar Mak Rabiah menyelesaikan perkataannya, secepat mungkin aku langsung berlari ke jalanan kecil di belakang rumah Mak Rabiah. Dari kejauhan, aku bisa melihat Uni Mariani berlari dan berbelok ke arah kiri. Entah apa yang akan dilakukannya, tapi aku merasa sesuatu yang buruk akan terjadi. Kata Mak Rabiah, sejak hilangnya Ayu, Uni Mariani tidak mau ke luar kamar dan tidak mau bicara. Aku takut ia akan melakukan hal-hal bodoh.
“Uni, tunggu…!” aku berteriak. Tapi ia terus berlari.
Sayup-sayup, aku mendengar lantunan azan magrib. Aku terus mengejar Uni Mariani yang semakin jauh berlari, masuk ke dalam hutan, persis ke arah aku, Alan, dan Dion pegi beberapa hari yang lalu. Ke tempat orang-orang yang mengambil kayu-kayu itu. Matahari sudah sempurna tenggelam. Aku menghentikan langkah. Napasku berhembusan tak beraturan. Sayup-sayup, hidungku mencium aroma yang tak biasanya. Bukan kemenyan, ini aroma yang sedap, seperti aroma kentang goreng. Tidak ada rumah ataupun gubuk di sini. Apakah dari tenda tempat orang-orang yang mengambil kayu-kayu dalam hutan itu? Tapi sepertinya tidak mungkin. Tempat itu rasanya masih jauh ke dalam sana. Lagipula, malam ini bukan jadwal mereka melakukan aktivitas. Bapak tadi siang masih ada di rumah.
Lalu, siapa yang sedang memasak?
Hari memang belum terlalu gelap, sekitar seratus meter di depanku, aku melihat Uni Mariani menoleh ke arahku. Seolah memanggil. Aku mendekat, lalu ia melangkah ke balik pohon besar yang membuat aku kembali kehilangan sosoknya. Kupercepat langkahku ke balik pohon itu. Dan mataku terbelalak tak percaya dengan apa yang kulihat. Antara kaget dan juga gembira. Bukan Uni Mariani yang kulihat sedang berada di sana, melainkan Ayu, sedang duduk sambil menangis terisak.
“Ayu…!” ucapku pelan. Ayu menatapku.
“Om Ilham, Ayu takut…” katanya. Aku duduk di samping Ayu. Lalu mengedarkan pandangan berkeliling. Tidak terlihat siapa-siapa. Kemana Uni Mariani? “Ayu takut, Ayu nggak tahu jalan pulang.” kata Ayu lagi.
“Ayo sekarang kita pulang, sini pegang tangan Om Ilham.” Ayu hanya mengangguk lemah. Ia berdiri, memegang tanganku. Hujan semakin deras. Saat itulah, dari kedalaman hutan aku melihat beberapa tubuh bergerak cepat sambil memegangi obor. Lalu semakin dekat, aku mendengar mereka meneriakkan nama Ayu. Apakah itu orang-orang yang tadi dikumpulkan Mak Rabiah? Lalu mengapa asalnya dari dalam hutan? Apakah itu orang-orang penebang kayu? Apakah selama ini Ayu bersama mereka di dalam hutan? Kulihat Ayu sekarang malah tersenyum. Ia terlihat bahagia. Berbeda keadaannya denganku kini yang terlihat merinding.
“Ayo Om, itu mereka sudah datang.”
Mereka? Mereka siapa? Orang bunian? Ayu menarikku mendekati orang-orang itu. Gemuruh hujan makin deras. Disusul suara gemuruh lain yang jauh lebih dahsyat. Bumi tempatku berpijak seperti bergoyang. Samar-samar aku bisa melihat, dalam radius seratus meter dari tempatku berdiri, pohon-pohon bertumbangan, meluncur dari atas bukit bersama gelombang air bah, mengarah tepat ke kampung Jati.
Ya Allah. Ibu, Bapak, Alan, Dion, Mak Rabiah…
Ayu terus menarik tanganku. Saat kuarahkan pandangan ke arah orang-orang itu, saat itulah aku sadar, aku sudah tidak berada di dalam hutan lagi. Tapi seperti dalam sebuah perkampungan. Banyak rumah-rumah yang sepertinya sangat asing bagiku.[*]
Biodata Penulis:
Uda Agus, seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kota Payakumbuh, Sumatera Barat. Ia memulai proses kreatifnya dalam dunia tulis menulis dengan bergabung pertama kali dengan FLP Wilayah Sumatera Utara pada tahun 2000 dan menjadi bagian dari FLP Wilayah Sumatera Barat sejak tahun 2006. Tulisan pertamanya dimuat di majalah Annida edisi Juli, 2001. Buku perdananya, kumpulan cerpen berjudul Ngebet Nikah, diterbitkan DAR! Mizan pada tahun 2004. Tahun 2010 cerpennya yang berjudul “Memanggil Rantau” berhasil menyabet juara 1 dalam Lomba Menulis Cerita Pendek Islami yang digagas oleh Annida-Online. Setahun berselang ia kembali meraih juara I dalam Lomba Menulis Cerpen STAIN Purwokerto dengan cerpen berjudul “Lelaki yang Dibeli”, cerpen yang pada tahun 2013 mengantarkannya menjadi emerging writer dalam perhelatan sastra Ubud Writers and Readers Festival. Ayah empat orang anak ini sejak tahun 2011 konsisten menggelar lomba menulis cerpen hingga saat ini.
Cerita Pendek yang Tidak Pendek
Oleh:
Azwar Sutan Malaka, M.Si.
(Anggota Dewan Penasehat Pengurus FLP Sumbar dan
Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta)
Hutan Larangan, sebuah cerpen karya Uda Agus, membaca cerita ini mengesankan kepada kita bahwa cerita ini cukup berat untuk dianggap sebagai sebuah cerita pendek. Cerpen sebagaimana artinya adalah cerita yang bisa diselesaikan membacanya sekali duduk, dengan alur sederhana, dan penyampaian yang tidak begitu rumit seolah runtuh dalam cerpen “Hutan Larangan” karya Uda Agus ini. Cerpen ini memuat tema-tema yang bercabang, yang pada dasarnya bisa dikembangkan menjadi cerita yang panjang (novel).
Sebelum lebih jauh bicara tentang cerpen ini, kita akan melihat siapa pengarangnya. Pengarang cerpen ini adalah Uda Agus, seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kota Payakumbuh, Sumatera Barat. Ia memulai proses kreatifnya dalam dunia tulis menulis dengan bergabung pertama kali dengan FLP Wilayah Sumatera Utara pada tahun 2000 dan menjadi bagian dari FLP Wilayah Sumatera Barat sejak tahun 2006. Tulisan pertamanya dimuat di majalah Annida edisi Juli, 2001. Buku perdananya, kumpulan cerpen berjudul Ngebet Nikah, diterbitkan DAR! Mizan pada tahun 2004. Tahun 2010 cerpennya yang berjudul “Memanggil Rantau” berhasil menyabet juara 1 dalam Lomba Menulis Cerita Pendek Islami yang digagas oleh Annida-Online. Setahun berselang ia kembali meraih juara I dalam Lomba Menulis Cerpen STAIN Purwokerto dengan cerpen berjudul “Lelaki yang Dibeli”, cerpen yang pada tahun 2013 mengantarkannya menjadi emerging writer dalam perhelatan sastra Ubud Writers and Readers Festival. Ayah empat orang anak ini sejak tahun 2011 konsisten menggelar lomba menulis cerpen hingga saat ini.
Melihat catatan diri Uda Agus tersebut, tentu kita bisa menduga bahwa ia sudah melalui proses kreatif yang panjang dalam menulis karya sastra. Selain itu, ia juga seorang yang aktif dalam melakukan kegiatan literasi sastra dengan rutin mengadakan lomba menulis cerpen yang terbuka untuk tingkat nasional. Namun, berhasil atau tidaknya sebuah karya sastra tidak ditentukan seutuhnya oleh nama besar penulisnya, tapi karya juga ditentukan bagaimana karya itu bisa mencuri hati dan simpati pembaca.
Ragdi F Daye (2021) dalam pengantar Kumpulan Cerpen Idulfitri untuk Ibu, yang salah satunya memuat karya Uda Agus ini memberikan catatan sebagai berikut, “di tengah ekosistem sastra kita yang dipenuhi semangat melakukan pembaruan cara bertutur, cerpen-cerpen di dalam buku Idulfitri untuk Ibu, tampak khusyuk memilih jalan konvensional. Kritik Ragdi tersebut memang benar dan tepat untuk dialamatkan pada cerpen “Hutan Larangan” karya Uda Agus ini.
Lebih jauh, Ragdi (2021) menjelaskan bahwa cerita-cerita bergerak dari satu titik ke titik berikutnya dengan langkah-langkah wajar seperti hari-hari biasa, meskipun bukan berarti tanpa riak dan gelombang gejolak. Cerita dan dunia yang dibangun pun telah terasa matang dan bukan lagi semacam membaca curhatan para penulis yang baru belajar mengeja semesta raya.
Bagaimana cerita “Hutan Larangan” bisa dianggap gagal dalam menemukan kebaruan dalam bercerita? Sebelum lebih jauh kita ulas, baiknya kita baca kembali cerpen “Hutan Larangan” yang secara garis besar menceritakan tiga orang remaja, yaitu tokoh “Aku” atau Ilham yang menjadi tokoh utama dalam cerpen ini, kemudian dua sahabatnya Dion dan Alan. Ketiga remaja ini mencoba membuka tabir tentang hilangnya Ayu, seorang anak berusia 5 tahun yang merupakan salah satu warga di Kampung Jati yang menjadi latar cerita ini.
Ayu, anak Mariani diisukan hilang karena dilarikan orang Bunian, lain orang menceritakan bahwa Ayu diculik komplotan penculik anak. Singkat cerita ketiga anak muda ini berhasil mengungkap kenyataan ketika mencari Ayu ke hutan larangan yang dianggap sakraloleh masyarakat. Kenyataan itu adalah:
“Suara-suara aneh itu berasal dari sini. Di sini mereka menebang pohon menggunakan mesin-mesin yang suaranya belum bisa diredam. Lihat itu, mereka juga bikin tenda-tenda yang besar dan bagus. Setahu kami, mereka bekerja hanya satu atau kadang dua kali dalam seminggu. Semuanya dilakukan malam hari.” (Uda Agus, 2022).
Hutan larangan yang membuat masyarakat takut memasukinya ternyata sudah menjadim objek ekslpoitasi para pembabat hutan. Bahkan dalam cerita ini ketiga remaja tersebut mengungkapkan bahwa:
“Mereka hembuskan kabar burung tentang hutan ini, suara-suara itu, orang bunian, ancaman binatang buas, dan lainnya, sehingga tidak ada yang berani memasuki hutan terlalu dalam. Begitulah, entah sudah berapa banyak kayu yang mereka angkut dari sini. Yang jelas, mereka lakukan ini pada malam hari, dan sama sekali tidak melewati perkampungan kita.” (Uda Agus, 2022).
Dalam cerita tersebut sangat jelas, sekelompok perampok hasil kekayaan hutan, membuat konspirasi agar orang-orang kampung tidak ikut campaur dengan aktivitas penebangan pohon di hutan yang mereka lakukan. Mereka menghembuskan cerita bahwa di hutan banyak binatang buas dan bahkan ada orang Bunian yang menjadi ancaman. Sejatinya sebagaimana disampaikan penulis melalui tokoh utama cerita ini, isu itu hanya dibuat untuk menakut-nakuti masyarakat.
Membaca cerpen “Hutan Larangan” ini, setidaknya ada beberapa catatan yang perlu digarisbawahi yaitu: Catatan pertama, penulis membuat tafsiran baru atas mitos bunian dalam masyarakat Minangkabau. Penulis menuliskan: “Katanya, hutan itu dihuni makhluk tak kasat mata, orang-orang bunian. Katanya lagi, di dalam hutan tinggal sekelompok harimau buas penunggu hutan, peliharaan orang bunian.” (Uda Agus, 2022).
Dalam masyarakat Minangkabau selama ini memang ada beberapa mitos yang berkembang tentang orang Bunian. Salah satunya yang mengatakan bahwa: “Ia sejenis makhluk halus, sebangsa jin, ia menyerupai manusia.” Mak Rabiah memulai ceritanya. “Orang bunian sama seperti kita, mereka juga berkeluarga, punya keturunan, hidup dalam kelompok masyarakatnya yang kita tidak bisa melihat. Bagi sebagian orang yang punya kemampuan indra keenam, ada yang bisa melihat keberadaan orang bunian. Bahkan beberapa orang katanya pernah mendatangi dan tinggal di perkampungan orang bunian.”
Dalam cerpen ini, penulis menghadirkan perspektif baru terhadap orang Bunian, yaitu ia mengatakan bahwa orang Bunian merupakan pemelihara harimau-harimau buas di hutan. Dalam masyarakat Minangkabau selama ini, harimau merupakan makhluk mitologi yang berbeda dengan Bunian, karena harimau juga disebut sebagai “Inyiak” yang merupakan reinkarnasi dari nenek sebagian moyang orang-orang Minangkabau.
Catatan kedua, cerpen “Hutan Larangan” ini mampu menghadirkan Kritik Sosial yang sebenarnya tidak berhubungan langsung dengan cerita. Seperti yang ditulis oleh penulis: “Yang jelas, anggota dewan itu katanya pintar-pintar, pandai bicara. Dari yang kudengar, anggota dewan itu juga harus pandai berbohong. Jangan-jangan Pak Syamsul sekarang lagi latihan berbohong.” (Uda Agus, 2022).
Walaupun tidak terhubung langsung dengan cerita, kritik atas pejabat-pejabat, khususnya anggota dewan yang suka berbohong sudah melekat dalam ingatan pengarang. Dalam cerpen ini penulis terang-terangan menunjukkan rasa kecewa kepada wakil rakyat yang sudah lumrah dianggap suka berbohong. Wakil rakyat yang suka membuat janji-janji manis ketika kampanye, tetapi mengingkarinya ketika sudah duduk di kursi dewan.
Catatan ketiga atas cerpen ini adalah dalam menuliskan cerita ini, penulis membuka peluang untuk membuta cerita yang bercabang. Cerita yang bercabang tidak baik untuk sebuah cerpen yaitu cerita yang singkat, bisa diselesaikan membacanya sekali duduk, tapi cabang cerita berpeluang untuk menjadi cerita panjang (novel). Dalam novel yang memiliki keleluasaan untuk bercerita, bisa saja penulis “menggarap” satu paragraf ini menjadi satu bab tertentu atau bahkan lebih.
Mariani yang memiliki hubungan langsung dengan Ayu yang menjadi tokoh yang dibicarakan dalam cerpen ini bisa saja dikembangkan oleh penulis. “Atau jangan-jangan Mariani ingin buat sensasi lagi seperti beberapa tahun lalu. Kalian masih ingat? Ayu lahir tanpa tahu siapa ayahnya. Neneknya bilang karena Mariani dihamili orang bunian, padahal itu untuk menutupi malu karena telah diperkosa.” (Uda Agus, 2022).
Informasi awal bahwa Ayu merupakan anak hasil perkosaan orang-orang tak bertanggungjawab (bisa jadi para penebang hutan) bisa dikembangkan menjadi cerita yang menarik. Tentang bagaimana Mariani yang tak berdaya menghadapi “buasnya” para lelaki buruh penebang kayu, kemudian kemelut psikologi Mariani melahirkan anak tanpa bersuami, persoalan sosial yang harus dia hadapi karena dianggap melahirkan “anak haram” ini menjadi cerita yang menarik kalau dikembangkan menjadi novel.
Catatan keempat yang menarik dari cerpen ini adalah realitas eksploitasi hutan ilegal. Penulis menceritakan secara gamblang bahwa para pengusaha penebang pohon-pohon di hutan secara ilegal itu telah mengeksploitasi hutan secara ilegal.
“Suara-suara aneh itu berasal dari sini. Di sini mereka menebang pohon menggunakan mesin-mesin yang suaranya belum bisa diredam. Lihat itu, mereka juga bikin tenda-tenda yang besar dan bagus. Setahu kami, mereka bekerja hanya satu atau kadang dua kali dalam seminggu. Semuanya dilakukan malam hari.” (Uda Agus, 2022).
Hal ini sebenarnya kalau penulis fokus pada tema ini justru menarik. Tapi sekali lagi cerpen “Hutan Larangan” ini terlalu banyak cabang, sehingga untuk sebuah cerpen terlalu berat. Sekali lagi akan lebih baik kalau cerpen ini menjadi titik gerak bagi penulis untuk membuat cerita panjang (novel).
Catatan kelima dalam cerpen ini adalah fenomena disinformasi dalam sastra. Riuh rendah suara-suara yang menyampaikan ketidakjelasan informasi hilangnya Ayu menjadi hoaks yang meresahkan masyarakat. Ayu dilarikan orang Bunian, Ayu diculik penculik anak, dan spekulasi lainnya membuat ketakutan bagi masyarakat. Penulis menulisnya sebagai berikut. “Baru kemarin saya menonton televisi, katanya berita penculikan anak yang akhir-akhir ini heboh di beberapa daerah itu hanya hoax, berita bohong. Pak Kapolri sendiri yang mengadakan konferensi pers kalau itu bohong.” (Uda Agus, 2022).
Catatan terakhir atas cerpen ini adalah ada konspirasi pihak-pihak tertentu untuk membodohi masyarakat. Menariknya, penulis membongkar konspirasi itu melalui tokoh utama (Ilham) dan teman-temannya dengan menuliskannya sebagai berikut:
“Mereka hembuskan kabar burung tentang hutan ini, suara-suara itu, orang bunian, ancaman binatang buas, dan lainnya, sehingga tidak ada yang berani memasuki hutan terlalu dalam. Begitulah, entah sudah berapa banyak kayu yang mereka angkut dari sini. Yang jelas, mereka lakukan ini pada malam hari, dan sama sekali tidak melewati perkampungan kita.” (Uda Agus, 2022).
Walau penulis pada awal cerita ini membantah keberadaan orang Bunian, dengan logika berpikir masyarakat modern, namun pada ending cerita penulis menghadirkan sebuah kejutan (twist) yang cukup menarik. Dengan ending terbuka penulis menyampaikan : Ayu terus menarik tanganku. Saat kuarahkan pandangan ke arah orang-orang itu, saat itulah aku sadar, aku sudah tidak berada di dalam hutan lagi. Tapi seperti dalam sebuah perkampungan. Banyak rumah-rumah yang sepertinya sangat asing bagiku. Dengan ending cerita seperti itu, penulis memberi kebebasan kepada kita pembaca untuk menafsirkan hal itu dengan cara bebas. Terserah pembaca apakah akan membuat ending cerita seperti apa. (*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post