Cerpen: Nayla
Bel pulang sekolah baru saja berbunyi. Aku keluar dari kelas dengan perasaan agak kesal. Ralat. Sangat kesal. Ini semua karena kejadian di kelas tadi. Hasil TO Kecamatan baru saja keluar. Jika kalian menebak nilaiku jelek, kalian salah. Nilaiku semua di atas 90. Kecuali IPA sih, tapi masih di atas KKM. Masalahnya itu. Ah, begitulah tidak ada yang sempurna di dunia ini!
Setibanya di rumah, aku langsung pergi ke kamarku. Kamar adalah tempat terbaik untuk menenangkan diri bagiku. Aku langsung berganti pakaian. Kemudian aku berbaring di ranjangku.
Hari ini sangat melelahkan plus membuatku kesal. Padahal, biasanya aku paling suka hari Jum’at. FYI, aku itu kalau kesal, sakit hati, atau semacamnya. Susah untuk menenangkan diri dan biasanya jadi gampang marah.
Aku memejamkan mataku. Ingin rasanya untuk tidur. Namun, peristiwa tidak menyenangkan harus kualami.
“Kak, antarin aku ke sekolah dong,” kata Alisa yang kini sudah memakai seragam nya.
”Pergi sendiri saja ya. Kakak capek,” kataku mencoba sehalus mungkin.
“Tapi aku takut pergi sendiri. Nanti kalau ada penculik gimana? Atau kalau.”
“Alisa, jarak rumah ke sekolah itu dekat. Masa kamu gak berani pergi sendiri, sih?” kataku yang mulai kesal tapi berusaha untuk menahan marah.
“Tapi…”
“Nggak Sa! Kakak capek! Kalau kamu nggak bisa pergi sendiri, nggak usah sekolah!” Kini kesabaranku mulai habis
“Kakak jahat!” Teriak Alisa dengan mata berkaca-kaca. Alisa berlari keluar dan membanting pintu. Meninggalkanku yang kini mematung sendirian di kamar.
Malam harinya.
Aku menatap langit-langit kamarku. Sejak kejadian siang tadi, Alisa masih belum mau bicara denganku. Aku menatap ranjang di samping ranjangku. Tatapanku bertemu dengan Alisa. Namun, dengan cepat Alisa langsung mengalihkan pandangannya dan membelakangiku. Apa dia benar-benar marah?
Entahlah. Pandanganku masih tertuju pada Alisa yang kini sibuk bicara sendiri. Alisa memang mempunyai imajinasi yang tinggi. Sama denganku. Bedanya, kalau aku lebih suka menuangkan imajinasi itu dalam bentuk cerita, sedangkan Alisa lebih suka bermonolog. Bisa disebut berdialog sih. Karena dia bisa membuat berbagai macam suara. Kupikir suatu hari nanti Alisa bisa menjadi dubber atau mungkin aktris.
Akhirnya kuputuskan untuk menutup mataku. Paling besok Alisa bicara lagi denganku. Aku pun terbawa ke alam mimpi.
“Sa, sekarang udah tengah malam lho. Walaupun besok libur, kamu nggak boleh begadang. Ayo, segera tidur,” kataku sambil mengusap mata. Aku melihat jam di dinding. Pukul 12.
Yang benar saja, suara Alisa lumayan ribut. Apa dia masih bermonolog? Aku menoleh ke arah Alisa. Eh….? Matanya tertutup. Jadi, tadi dia menggigau gitu? Aku menempelkan punggung tanganku ke dahi Alisa. Panas. Berarti Alisa demam.
Kini aku berpikir. Haruskah aku membangunkan mama atau papa? Tapi aku nggak enak kalau mengganggu orang tuaku malam-malam seperti ini. Lagi pula suhu tubuh Alisa tidak terlalu panas. Jadi, aku putuskan untuk memberi pertolongan pertama.
Aku pergi keluar mengambil air panas. Kemudian, aku mengeluarkan sapu tangan dari lemari. Aku pun mengkompres Alisa. Satu menit. Lima belas menit. Tiga puluh menit. Sampai satu jam. Detik demi detik terus berjalan. Namun, kini rasa kantukku sudah hilang. Aku menatap jam untuk kesekian kalinya. Sudah pukul 2, tapi mataku masih terbuka lebar. Beginilah aku. Kalau sudah terjaga di malam hari, agak susah untuk tidur kembali. Menjelang pukul 3, barulah aku bisa menutup mataku.
…
“Allahu Akbar! Allahu Akbar!”
Azan subuh merdu terdengar. Berat sekali untuk membuka mata. Aku ingin melanjutkan tidurku. Setan sudah bersiap-siap merayakan kemenangan. Namun, tidak semudah itu. Aku berhasil membuka mata dan bangkit. Kemudian, pergi berwudhu. Rasa kantuk mulai menghilang. Namun, hanya sementara. Setelah shalat, aku kembali berbaring dan melanjutkan tidurku. Sepertinya.
“Kakak, ayo bangun! Jangan tidur lagi!” Kata Alisa, mengguncang tubuhku.
Udah sehat ternyata, batinku.
“Nggak, Sa. Kakak masih ngantuk,” kataku.
“Tapi, aku mau menonton TV,” kata Alisa.
“Ya sudah, nonton saja. Gak ada yang larang kan?” Balasku.
“Tapi, aku takut kalau sendiri,” kata Alisa.
“Alisa, jangan ganggu kakakmu. Kalau mau nonton, nonton saja sendiri,” kata Mama yang baru saja selesai shalat. Alhasil, Alisa tidak jadi menonton dan kembali tidur.
Pukul 8.30, aku kembali terbangun. Setelah bangun, aku langsung mandi. Kemudian, segera sarapan. Hanya aku satu-satunya yang belum sarapan karena aku yang terakhir bangun. Kulihat di ruang keluarga, Alisa sedang mengerjakan PR nya. Aku melanjutkan sarapan.
“Pa, pasal 27 ayat 1 itu tentang apa?” Tanya Alisa ke Papa, tepat ketika aku menyelesaikan sarapanku. Karena aku melihat Papa sedang sibuk, aku menjawabnya.
“Tentang kedudukan yang sama di dalam hukum,” kataku.
“Aku kan nanya ke Papa, bukan ke Kakak!” kata Alisa.
“Oh, jadi gitu. Ya udah sih. Nggak usah bertanya tentang apa pun ke Kakak!” kataku.
“Terserah!”
Aku bangkit dan pergi ke dapur. Mencuci piring lalu langsung ke kamar. PR-ku sudah kukerjakan semua. Sekarang, enaknya ngapain ya? Pandanganku tertuju pada setumpuk buku di atas meja belajarku.
Beberapa hari yang lalu, aku membeli beberapa buku baru. Aku berencana memasukan buku tersebut ke dalam lemari khusus buku cerita. Namun, saat membuka pintu lemari. Bruk!
Beberapa buku terjatuh ke luar. Lemari bukuku sangat berantakan. Hanya ada satu tersangka dalam hal ini. Siapa lagi kalau bukan Alisa? Kebiasaan! Setelah membaca, buku tidak pernah dikembalikan ke tempatnya dengan rapi, tapi ya tidak apa-apalah. Dari pada aku tidak ada kerjaan.
Aku pun mulai bekerja. Menyusun kembali buku ceritaku─yang lumayan banyak─yang sudah di acak-acak oleh Alisa. Sesekali, aku membaca buku-buku yang sebelumnya sudah pernah kubaca. Saat sedang asyik-asyiknya, pintu kamarku terbuka. Tak lama sosok yang membuka pintu kamarku masuk. Alisa, tentu saja.
“Ngapain kamu ke sini? Kalau cuma mau mengganggu. Keluar saja, sana,” kataku. Bukan tanpa alasan. Alisa memang kebiasaan, bukannya membantu malah mengganggu.
“Aku tidak ingin mengganggu kok,” kata Alisa.
“Lalu?” tanyaku cuek.
“Begini, kakak itu kan pintar…” Alisa memulai. Aku menghentikan pekerjaanku dan menatapnya. Biasanya sih kalau sudah tiba-tiba memuji, pasti ada maunya.
“Jadi, bantuin aku bikin PR ya,” katanya.
“Tadi ditunjukin nggak mau. Belajar saja sendiri,” kataku.
“Ayo dong kak…” kata Alisa dengan mata berkaca-kaca.
“Oke, tapi ada syaratnya,” kataku.
“Apa?” tanyanya.
“Besok-besok, kalau selesai membaca, letakkan buku di tempatnya dengan rapi. Satu lagi, nanti kamu bantuin kakak menyusun buku ini ya. Kan kamu juga yang berantakin,” kataku.
***
About Why
“Sa, tolong ambilkan air minum dong,” kataku yang sedang sibuk mengetik. Kebetulan, letak air minum itu dekat dengan Alisa.
“Enggak ah. Kakak kan punya kaki dan tangan. Nggak bisa apa ngambil sendiri?” kata Alisa. Okay, jadi tadi aku dan Alisa memang baru selesai berantem.
“Bisa sih dek. Tapi kan letaknya dekat kamu. Nggak ada ruginya kan menolong,” kataku yang juga memang mager saat itu.
“Enggak mau! Ambil saja sendiri!” kata Alisa.
Akhirnya, dengan perasaan agak kesal, aku mengambil air minum itu sendiri. Bukan apa-apa sih, tapi terkadang, aku berharap Alisa itu memiliki sedikit simpati.
“Kak, pinjam HP-nya dong,” kata Alisa pada suatu hari.
“Bentar, Sa. Ini ada sesuatu yang penting,” kataku. Saat itu, aku sedang diskusi kelas bersama teman-temanku melalui WA tentang perpisahan kelas. Berhubung kami sudah selesai USBN.
“Pasti kakak bohong kan supaya HP nya nggak dipinjam,” tuduh Alisa.
“Serius lho, Sa,” kataku. “Kamu pinjam HP Papa sana!” kataku lagi.
“Aku nggak percaya. Lagi pula, Papa lagi menelepon temannya,” kata Alisa yang merebut HP dari tanganku. Selama 15 menit, kami rebutan hingga akhirnya batreinya habis.
“Gara-gara kamu sih, Sa! Kakak jadi nggak ikut diskusi kelas deh,” kataku.
“Ini tuh salah kakak. Aku jadi nggak bisa main game deh,” kata Alisa.
“Huuh! Apa untungnya sih punya adik kayak Alisa!” gerutuku pelan.
“Oh ya? Memangnya kakak pikir aku mau jadi adiknya kakak?” balas Alisa.
“Harusnya kamu bersyukur dong punya kakak. Asalkan kamu tahu, selama ini aku selalu berharap mempunyai seorang kakak,” kataku.
Yah, memang begitu. Aku pernah berharap menjadi seorang adik, bukan seorang kakak. Lebih tepatnya kakak laki-laki yang bisa melindungiku. Bagaimanapun tanggung jawab sebagai seorang kakak itu berat. Seorang kakak harus memulainya sendiri, mencari banyak pengalaman agar bisa menjadi pelajaran, baik untuk dirinya maupun untuk adiknya. Itulah kenapa aku selalu mencoba banyak hal meski aku tak ahli dalam bidang tersebut. Selain itu, seorang kakak juga harus menjadi contoh yang baik bagi adiknya. Itulah kenapa aku selalu berusaha melakukan yang terbaik. Agar Alisa bisa mengikuti langkahku nantinya, atau mungkin belajar dari kesalahanku sehingga tidak melakukan kesalahan yang sama.
“Aku akan sangat bersykur jika kakakku seperti Kak Nira atau Kak Asya,” kata Alisa.
“Benarkah?” Kataku. Emosiku mulai tidak stabil. “Kalau begitu, Sa, asalkan kamu tahu, aku sudah melakukan yang terbaik! Tapi kamu tidak mengerti sama sekali!” kataku.
“Melakukan yang terbaik? Yang benar saja! Seorang kakak sudah seharusnya mengalah!” kata Alisa yang juga emosi.
“Aku tahu itu! Seorang kakak harus mengalah, memang benar! Tapi, Sa, ada saat dimana kamu yang harus mengalah!” kataku.“Satu hal, Sa. Aku tidak pernah berharap memiliki seorang adik!”
Bisa kulihat mata Alisa mulai berkaca-kaca. Dia akan segera menangis. Tapi Mama keburu datang.
“Kenapa lagi sekarang? Bertengkar…terus. Sambil teriak-teriak pula!” kata Mama.
“Habisnya, kakak tidak pernah menerimaku apa adanya. Kakak selalu berharap aku seperti orang lain,” kata Alisa, mulai terisak.
“Alisa sendiri juga tidak pernah bersyukur memiliki aku sebagai kakaknya. Padahal selama ini aku selalu ingin mempunyai seorang kakak, meski aku tahu itu tidak akan terjadi,” kataku.
“Astaghfirullah! Kalian ini seperti dilahirkan dari ibu yang berbeda. Padahal kalian saudara kandung lho! Harusnya kalian saling menyayangi. Sudah ayo saling bermaafan!” kata Mama.
Mimpi Buruk
“Allahu Akbar! Allahu Akbar!”
Terdengar suara azan. Sudah subuh rupanya, batinku, tapi kok…? Kenapa aku berada di kamarku. Bukannya seharusnya aku masih berada di hotel ya?
Seingatku empat hari yang lalu Idulfitri. Kemarin, aku berangkat ke rumah nenekku dari pihak papa. Lalu, aku menginap di hotel bareng beberapa sepupuku dan aku sekamar dengan Kak Asya, tapi kok sekarang aku di kamarku ya? Aku melihat jam di dinding. Lho? Pukul 12.35. Berarti yang tadi azan zuhur dong.
Kualihkan pandanganku ke pintu kamarku. Tampak sosok adikku yang baru masuk ke kamar.
“Sa, ganti baju dan langsung shalat zuhur,” perintahku agak berteriak, tepat sebelum aku masuk ke kamar mandi. Aku merasa ada yang mengendalikan tubuhku dan mulutku.
Aku membasuh wajahku. Sangat segar rasanya. Sedikit demi sedikit beban dan masalahku hilang ketika aku shalat.
“Kak, antarin aku ke sekolah dong,” kata Alisa yang kini sudah memakai seragam nya.
”Pergi sendiri saja ya. Kakak capek,” kataku. Oke, sepertinya ada yang mengendalikan mulutku
“Tapi, aku takut pergi sendiri. Nanti kalau ada penculik gimana? Atau kalau…”
“Alisa, jarak rumah ke sekolah itu dekat. Masa kamu nggak berani pergi sendiri, sih?” kataku yang mulai kesal tapi berusaha untuk menahan marah. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. Seakan-akan ada yang mengendalikan seluruh tubuhku.
“Tapi…”
“Nggak Sa! Kakak capek! Kalau kamu nggak bisa pergi sendiri, nggak usah sekolah!” Entah apa yang terjadi. Kini aku mulai membentak Alisa. Satu hal yang kupahami. Peristiwa ini pernah terjadi sebelumnya.
“Kakak jahat!” Teriak Alisa dengan mata berkaca-kaca. Alisa berlari keluar dan membanting pintu. Meninggalkanku yang kini mematung sendirian di kamar. Tatapanku terasa kosong. Sedetik kemudian aku tersadar.
“Apa yang telah kulakukan?” Gumamku.
“Alisa!” panggilku, tapi dia tidak menghiraukannya dan berlari menjauh.
Kini perasaanku tidak tenang. Bagaimana kalau Alisa diculik? Bagaimana kalau dia tertabrak motor atau mobil? Satu hal. Aku benar-benar khawatir, bahkan perasaanku juga telah dikendalikan.
Aku segera menyambar jilbab dan langsung keluar. Aku berlari menelusuri jalan menuju sekolah. Ketika sampai di simpang depan rumahku.
Bruk!
“Aaaah!”
Tidak! Sebuah motor telah menabrak Alisa dan pengendara motor tersebut melarikan diri. Aku bergegas berlari kearah Alisa yang tergeletak tak berdaya di jalan beraspal tersebut.
“Alisa! Alisa! Bangun, Sa! Kumohon, bangun!” kataku mengguncang tubuh Alisa.
Sesuatu yang cair dan kental mengalir di tangan kananku. Bau amisnya mulai keluar. Darah. Oh, tidak! Akibat benturan yang keras, kepala Alisa kini mengeluarkan darah.
“Tolong! Tolong!” Aku berteriak sekeras mungkin agar seseorang menolongku.
Kini, aku berada di rumah sakit. Aku mondar-mandir di depan ruang IGD. Dari arah pintu masuk tampak orang tuaku yang berlari dengan cemas ke arahku.
“Aliya, apa yang terjadi?” tanya Papa.
“A-Aku. T-tadi, aku terlalu le-lelah untuk mengantar Alisa. J-jadi aku membiarkannya pergi sendiri dan…”
“Dan?”
“Sebuah motor menabraknya di simpang dekat rumah,” kataku sambil berlinang air mata.
Tiga puluh menit kemudian, seorang dokter keluar diikuti oleh beberapa orang suster. Aku, Mama, dan Papa langsung bangkit.
“Bagaimana keadaan anak saya dok?” tanya Mama.
“Kondisinya cukup buruk. Terjadi pendarahan di sekitar otaknya akibat benturan yang keras. Hanya sedikit kemungkinannya untuk bertahan. Saya sudah menghentikan pendarahan di bagian kepalanya,” kata dokter tersebut.
“Dokter, Tolong lakukan yang terbaik agar putri kami bisa sehat kembali,” kata Papa.
“Kami selalu berusaha melakukan yang terbaik. Hanya saja… meski nyawa bisa diselamatkan, dia tidak akan bisa menjalani kehidupan dengan normal seperti dulu,” kata Dokter.
“K-kenapa, dokter?” tanyaku.
“Posisi jatuhnya tidak menguntungkan. Ditambah lagi, motor tersebut sepertinya melindas kakinya dengan kuat menyebabkan beberapa saraf di kakinya mati. Jadi…, anak anda mengalami kelumpuhan permanen,” kata Dokter.
Langsung saja, air mataku keluar dengan deras. Begitu juga dengan Mama yang mulai menangis. Sementara Papa berusaha tetap tegar.
Tidak kusangka dampaknya bisa seburuk ini. Andai saja aku tidak membiarkannya pergi sendiri. Mungkin ini tidak akan terjadi. Hari demi hari kami lalui. Doa demi doa tak henti keluar dari mulut kami. Hanya satu yang kami inginkan saat ini. Alisa segera sadar.
“Sa, kumohon, bangun! Kakak janji, akan menjagamu lebih baik lagi. Apapun alasannya, kakak akan melindungimu setelah ini. Kakak akan lebih menyayangimu. Tolong, buka matamu,” kataku. Sudah seminggu sejak kecelakaan itu, tapi Alisa belum juga membuka matanya.
Tatapanku kosong. Begitu juga dengan pikiran ku. Hanya satu yang kuinginkan. Alisa segera sadar. Ruangan terasa hampa. Mama sedang pergi ke kantin rumah sakit untuk sarapan. Aku sendiri tidak berminat sarapan. Sementara itu, Papa harus kembali bekerja. Doaku terkabul. Aku melihat tangan Alisa mulai bergerak. Perlahan, matanya mulai terbuka.
“Alhamdulillah! Alisa, kamu bangun…” kataku yang langsung memeluk Alisa. Namun, Alisa melepaskan pelukanku dengan paksa.
“Alisa? Apa kamu marah?” tanyaku.
“Kamu siapa?” tanya Alisa. Tatapan Alisa sangat berbeda. Dingin.
“A-alisa? J-jangan bercanda. Tentu saja aku kakakmu,” kataku.
“Aku tidak punya kakak!” katanya perlahan tapi menusuk. Hatiku bagai disambar petir. Aku merasa atmosfir disekitarku berubah. Air mataku tak lagi terbendung. Aku hanya menangis dalam diam.
….
“Kak, bangun! Kak Aliya!” seseorang mengguncang-guncang tubuhku. Aku membuka mataku perlahan. Tampak sosok Alisa membangunkanku. Aku segera bangkit.
“Kakak nangis?” Tanya Alisa.
“Eh, nggak kok…” kataku gugup sambil langsung menghapus air mataku. Kuakui, mimpi tadi terasa nyata. Kalau yang tadi itu mimpi, kenapa aku nggak bangun aja ya? Daripada mengikuti mimpi buruk itu, batinku.
Hahaha! Bodohnya aku. Aku terlalu terbawa suasana, tapi berkat mimpi tadi aku menyadari sesuatu. Apa pun alasannya aku memang tidak akan pernah bisa kehilangan adikku. Dia berharga. Aku akan menemanimu besar dan mendukungmu selalu. Counter Pain. No pain, no gain. Eh, kok malah jadi iklan ya? Hihihi. Yah, intinya, adikku sangat berharga bagiku. Tanpanya, hidupku takkan berwarna. Meski terkadang, dia jahil, bawel, ngeselin, dan sebagainya, tapi aku sangat menyayanginya.
Discussion about this post