Salman Herbowo
(Kolumnis Rubrik Renyah Scientia.id)
Hal yang menyenangkan dari panjangnya waktu libur Lebaran adalah berkumpul dengan beberapa kawan yang pulang dari rantau. Sembari menikmat kopi hitam dan camilan kentang goreng serta didukung layanan internet gratis, pembicaraan kami bermula dengan nostalgia saat di bangku perkuliahan. Tentu banyak kenangan yang menjadi tema obrolan. Yang jelas guyonan mengapa gedung kampus selalu semakin bagus setelah kami menyandang status alumni tentu mengundang gelak tawa semuanya. Pembicaraan kami pun sampai dengan masalah karier dan nasib. Dua kata itu bagi kami tidak hanya sekadar bahasa Indonesia yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), melainkan “cambuk” sebagai pemicu untuk menggapai cita-cita. Setidaknya, dengan karier bagus, jalan untuk melamar seseorang pun dapat menjadi lebih mulus.
Salah seorang teman pada reunian kecil-kecilan tersebut sempat mengeluarkan pernyataan bahwa setiap individu itu sudah ada “garis tangannya”. Bila ada yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi seperti magister, tentu itu sudah pilihan terbaiknya. Jika ada rekan-rekan yang diterima bekerja pada perusahaan swasta ternama atau BUMN, itu pun sudah nasibnya. Mungkin saja di antara kita ingin menjadi seorang entrepreneur yang sukses, itu sudah keputusan terbaik, bahkan bila sahabat kita ada yang lulus seleksi ASN, itu pun sudah “garis tangannya”.
Akan tetapi, hal yang kadang menyebalkan ialah komentar tentang jalan yang dipilih untuk berkarier. Misalnya seseorang yang ketika kuliah di jurusan A, justru bekerja di bidang B. Padahal, itu lumrah saja dan tidak sedikit pula yang menjalani hal serupa itu. Setiap orang saya kira dapat mengembangkan kemampuannya di bidang apa pun meskipun tidak sejalan dengan latar pendidikan yang ditempuh. Sebagian orang sibuk menyayangkan hal itu. Padahal, jenjang pendidikan yang ditempuh oleh seseorang juga tidak melulu berurusan dengan karier yang dijalani.
Kita tentu tidak serta merta berpangku tangan untuk menunggu atau menerima tanpa adanya usaha. Setahu saya, teman-teman yang “garis tangannya” itu bagus, tentu memiliki usaha dan kerja keras yang tekun untuk meraihnya. Tidak ada kesuksesan tanpa usaha dan kerja keras. Begitu kata orang bijak. Tidak semua dari kami yang turut berpartisipasi dalam diskusi ringan itu pun setuju atau mengaminkan pernyataan tersebut. Ada pula yang menyanggah dengan memberikan sebuah pertanyaan. Di sisi lain, ada pula yang menyampaikan bahwa kita berusaha dan bekerja keras agar memperoleh nasib yang baik. Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, jika kaum itu tidak berusaha untuk mengubahnya.
Namun, tidak mungkin pula untuk menyangkal hak istimewa yang diterima. Orang-orang lebih familiar menyebutnya dengan privilege. Hal istimewa menurut saya amat luas. Salah satunya didapatkan oleh seseorang dari latar belakang keluarga. misalnya berasal dari keluarga berkecukupan. Tentu soal materi tidak menjadi beban tersendiri baginya ketika menempuh pendidikan, sehingga ia bisa fokus dalam belajar
Begitulah pembicaraan kami pada malam itu. Setiap pernyataan akan dibenturkan dengan pendapat lainnya. Beragam argumen pun dikemukakan. Menurut saya begini, lain pula menurut teman. Ada benarnya juga masing-masing pendapat itu, tapi akan lebih baik untuk sementara waktu kembali pada pemahaman masing-masing, termasuk pembaca (mana tahu ada pendapat yang berbeda). Setidaknya reunian itu memberikan pemahaman bagi kami akan makna dari “garis tangan”. Semoga.
Discussion about this post