Sabtu, 14/6/25 | 18:41 WIB
  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami
Scientia Indonesia
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
Scientia Indonesia
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
  • RENYAH
  • TIPS
Home LITERASI PUISI

Puisi-puisi Mahareta Iqbal Jamal

Minggu, 29/5/22 | 07:00 WIB

Eri 1

“Pada pukul berapa film selanjutnya akan diputarkan?”

Seorang lelaki tua dengan penglihatan meremang bertanya pada penjaga karcis dengan nada pelan. Tanya tak bertemu jawab. Ia berjalan dengan topangan tongkat kayu ke satu sisi luar bioskop itu. Pelan sekali. Reklame film memburam, tak jelas film akan diputar pukul berapa. Suara azan berkumandang mengusir anak-anak pulang ke rumah, tapi lagu lama terus berdendang dari dalam bioskop, berkali-kali, lagu yang sama.

Ia intip dari luar ruangan: kursi-kursi kosong berdebu, layar berjemur, plafon kropos yang menggantung, lumut berkerumun, dan poster Quentin sejak zaman ketumba masih menyengir tanpa tahu bahwa masa depan adalah masa lalu yang lebih dulu satu detik dari kematian Bill.

“Pada pukul berapa film selanjutnya akan diputarkan?”

BACAJUGA

No Content Available

Sepasang muda-mudi yang baru saja membeli karcis menjawab: “Pada pukul kasih yang tak pernah lewat, sayang.”

Lelaki tua terdiam. Ia sibak jalan tengah bioskop seperti menyingkap masa lalu dalam kepala: bayangan, ingatan, sakit hati, duka lara, ditinggalkan, hingga hujan deras yang tak pernah surut dari bola mata.

Di tengah panggung bioskop yang tak seberapa besar, di antara layar dan tembakan cahaya proyektor dan putaran macet seluloid yang kusut, ia mengubur dirinya sendiri atas nama Lumiere Bersaudara, atas nama sutradara misterius yang filmnya diputar tanpa kehadirannya.

Sementara, pintu bioskop terus saja dibuka menyambut kedatangan penonton yang hanya tahu tepuk tangan setelah film berakhir.

Padang, 2022

Eri 2

“Ada sepasang mata yang berbeda, Eri. Barangkali, matanya tak mampu ditutup lagi, diciptakan Tuhan untuk melihat orang-orang mondar-mandir keluar-masuk bioskop dengan Teh Pucuk di tangan kanan dan helm menempel kuat di kepala.”

Sementara di berbagai belahan kota, orang-orang melakukan seremonial pada penyambutan Hari Film yang kesekian. Membahas prospek jangka pendek, menengah, dan (tentu saja) panjang, agar ekosistem perfilman semakin membaik. Ruang-ruang apa saja mendadak punya layar, proyektor, gadis-gadis histeris pecinta drakor, sembari memutarkan film-film dengan kopi dan obrolan tentang film hingga hal-hal lain yang berkelindan di dalamnya.”

Tetapi, Eri, aku ingin menonton film dengan sederhana: tanpa hadirnya layar obrolan penonton yang berisik dan bercengkerama ketika adegan juga berbicara, tanpa layar handphone menyala dan merekam potongan film, tanpa ciuman sepasang kekasih yang mabuk bertukar manis permen karet, tanpa orang-orang yang jago melap-lap romantisme masa lalu, tanpa layar yang apabila ditiup angin sedikit kencang ia bergelombang bak ombak Pantai Purus dari bahtera Nuh tersesat yang entah akan berlayar ke arah mata angin yang mana. Jika terus demikian, maka kupilih saja paket tembak Netflix yang diobral murah di kolom komentar Twitter dengan biaya 20 ribu/bulan, Eri. Sungguh, aku akan muntah “kayak” dibuatnya dari pagi hingga petang.”

Aku melihat sepasang mata berbeda menatap nanar ke arahku. Ia mengeluarkan air mata, air mata darah penuh debu dan laba-laba berumah di sana.

“Pulanglah, Eri, semakin jauh inginmu melintasi banyak ruang, semakin tak tahu apa yang harus kau lakukan.”

Ia tatap sepasang mata nanar yang berbeda itu. Ia temukan hangat dan dingin saling tarik-menarik keinginan.

“Sesungguhnya apa yang kau mau dari waktu yang terus berjalan?”

Padang, 2022

 

Eri 3

Pada masa-masa tertentu, keberangkatan lebih sering tak diiringi dengan kedatangan. Selain cuplikan ingatan tentang hari lalu, potret-potret lawas setidaknya menjadi penjaga memori bahwa ia tak lekang oleh hari-hari panas yang kian bikin dada semakin sembab. Dan sebelum penghabisan, waktu dicicil perlahan oleh kesepian, suara sunyi, dan mimpi-mimpi yang lembab di musim kemarau. Huh. Kapan musim salju menyinggahi garis Equator pada kota yang sengsara ini hingga bermain bersama Olaf tak lagi khayalan bocah kecil pada akhir bulan Desember?

“Tapi, gedung itu tetap saja kosong. Kursi-kursinya telah keropos, suasana gelap dan kering serupa rumah hantu, tetapi film dan orang di dalamnya tak akan kautemui ditempat lain. Sebentar lagi di atas tanahnya barangkali akan berdiri pusat perbelanjaan barang-barang mewah, produk kecantikan, baju raya, alat kebugaran dan produk
stainless steel yang hanya bisa berkarat oleh kemiskinan, bukan korosi. Jika benar demikian, di mana lagi aku dapat melihat seluloid kusut dengan layar terbalik, sedang Raya juga telah disulap sedemikian rupa dan Karia mati suri pascapandemi melanda? Apa ibu-ibu penjual tomat di seberang Raya pernah menonton film ke sana selain menonton sinetron Ikatan Cinta?”

Pada masa-masa tertentu, kursi-kursi itu penuh tak bersisa. Betapa beruntungnya punya uang dan dapat memilih ingin duduk di mana saja. Ingin rasanya menyeberang ke hari lalu, memilih tempat duduk sendiri sembari melihat sekelompok orang duduk di dekat layar dan pulang dengan mata berair lagi perih.

Pada masa sekarang, jika yang datang tak lebih dari jumlah jari yang kau punya, jangan harap ada film yang diputarkan.

Padang, 2022

 

Eri 4

Tepat pada pukul 00.00 suara lonceng Jam Gadang berpagutan dengan luka. Deranya mengisyaratkan bahwa semua ini belumlah selesai, harapan akan terus tumbuh meski dari tempat yang rubuh. Gegap gempita telah mengudara hingga ke tempat paling”ter-rantau” dari pengembaraan pengetahuan. Bilamana jalan tak lagi dapat ditempuh, biarkan siapa pun menebas belantara pikiran agar senantiasa tetap tinggal di dalam ingatan.

“Tuhan, melankoliakah bila segala yang telah tercipta memang sengaja untuk dihancurkan? Bagaimana dengan cinta yang saling memeluk dari bulu kuduk sepasang manusia atas nama kasih sayang? Hingga waktunya tiba, segala tafsir akan kembali ketiadaan.”

Di salah satu sudut kota, citra seorang pria baya dengan kacamata terpampang di antara naik dan turun orang-orang datang. Ia berumah di dinding puisi. Ia tak pernah tahu apa yang telah berubah. Ia tak pernah tahu apa yang telah ditinggalkan. Generasi selanjutnya hanya menyanyikan lagu-lagu pemujaan pada akhir bulan ketiga kalender Masehi hingga melupakan bahwa ada sesosok pelukis kawakan yang konon tak pernah ingin menyaksikan lukisan cahaya di seberang rumahnya yang berjarak hanya beberapa langkah.

Dari pukul 00.01 hingga 23.59, berbagai insan merayakan dan menggaungkan kebangkitan sinema. Di waktu yang sama, ada seluloid berjamur dengan napas sengal menunggu giliran dilindas waktu seperti para pendahulunya. Tak ada yang salah dari unggukan tanah di persimpangan jalan. Kerikil bisa saja bikin jatuh. Ia mampu membikin satu gedung runtuh.

“Biarkan segalanya menjadi dongeng. Setidaknya, ia dapat menjadi cerita pengantar tidur untuk anak-anakmu kelak.”

Dan,

pada pukul entah, dari dera Jam Gadang, segala harap telah dipasrahkan di dalam darah dan doa.

Padang, 2022

 

Eri 5

Aku lihat Eri dalam bingkai kamera. Ia masih seperti biasa, tanpa solekan, wajahnya terkelupas, badannya meriang, tanpa merasa sadar bahwa keberadaannya adalah sejarah panjang peradaban yang tak lekang karena panas, tak lapuk karena hujan. Warung kopi, gerai seluler, dan bapak-bapak yang bermain koa di lepau tak akan pernah sadar bahwa suatu saat Eri akan meninggalkan mereka, kecuali Pak Topi.

“Tenang saja, Bung. Eri sesungguhnya telah lama pergi melintasi masa. Yang tersisa hanyalah kau, dan upayamu kembali ke Eri pada masa silam. Tetapi Bung, selama proyektor masih dapat berputar, selagi seluloid masih dapat disambung-satukan, dan anak muda masih menziarahi Eri dengan penuh gelora, ia akan tetap hidup dalam memoriam-memoriam lawas dan benturan dimensi hari lalu dan hari depan. Manusia mati meninggalkan nama, Eri mati meninggalkan bekas kecupan di leher perempuan- perempuan belia.”

Aku lihat Eri sedang memutarkan film terakhir pada malam itu. Dalam bingkai kamera yang masih saja merekam, dalam rupa siluet di layar yang kian semakin hitam dan lebam, sayup teriakan seseorang terdengar dari arah kapal udara yang menukik, suara tembakan menggelegar hingga pangkal jantung. Satu Kamikaze yang keras kepala baru saja padam.

Padang, 2022

 

Biodata:
Mahareta Iqbal Jamal lahir di Padang, 11 Maret 1995. Alumnus S1 Sastra Indonesia Universitas Andalas, Padang. Bergiat di Lab. Pauh 9 dan Sani Films. Tulisan-tulisan Iqbal berupa puisi, cerpen, dan esai pernah dimuat di koral lokal dan media daring nasional. Pada tahun 2020, ia meraih Juara I dalam Lomba Menulis Naskah Drama Tingkat Provinsi Sumatera Barat yang diselenggarakan oleh UPTD Taman Budaya Sumatera Barat. Nomor Handphone: 0823-9116-7845.

Tags: #Mahareta Iqbal Jamal
ShareTweetShareSend
Berita Sebelum

Memaknai Garis Tangan

Berita Sesudah

Fungsi Tanda Koma pada Kata Hubung

Berita Terkait

Puisi-puisi Elfa Edriwati

Puisi-puisi Elfa Edriwati

Minggu, 08/6/25 | 07:41 WIB

Ilustrasi:Meta AI Bersitatap Oleh: Elfa Edriwati Kala malam nan hangatnya menembus tiap ruang Bertemu di lorong-lorong kecil, bersitatap lalu tersenyum...

Puisi-puisi Yogi Resya Pratama

Puisi-puisi Yogi Resya Pratama

Minggu, 01/6/25 | 10:01 WIB

Ilustrasi: Meta AI Malamku Berisik Oleh: Yogi Resya Pratama Mengusik dan berderik Akar-akar akal pun tak luput mancari siasat Merayu...

Puisi-puisi Salwa Ratri Wahyuni

Puisi-puisi Salwa Ratri Wahyuni

Minggu, 25/5/25 | 15:05 WIB

Ilustrasi: Meta AI Senantiasa Aku Tersesat di Matamu Oleh: Salwa Ratri Wahyuni bila siang memang panggung sandiwara maka malam tercipta...

Puisi-puisi Yogi Resya Pratama

Puisi-puisi Yogi Resya Pratama

Minggu, 18/5/25 | 08:43 WIB

Ilustrasi: Meta Ai Untuk Cinta Oleh: Yogi Resya Pratama Untuk cinta kukira bersamamu aku bahagia, Tapi ternyata tanpamu aku jauh...

Puisi-puisi Afny Dwi Sahira

Puisi-puisi Afny Dwi Sahira

Minggu, 11/5/25 | 11:29 WIB

Ilustrasi: Meta AI Mahasiswa Fakultas Timbangan Keadilan Oleh: Afny Dwi Sahira Kau datang pada sebuah pertemuan Tak ada yang mengundangmu...

Puisi-puisi Eliza Nuzul Fitria

Puisi-puisi Eliza Nuzul Fitria

Minggu, 04/5/25 | 07:45 WIB

Ilustrasi: Meta AI Melanjutkan Episode Oleh: Eliza Nuzul Fitria Bukan nyanyian, melainkan tangisan Tanyalah pada mereka yang menanggung beban Setetes,...

Berita Sesudah
Puisi-puisi Ria Febrina

Fungsi Tanda Koma pada Kata Hubung

Discussion about this post

POPULER

  • Bubur Kirai Kuliner Khas Muaro Bungo Jambi dari Zaman Baheula

    Bubur Kirai Kuliner Khas Muaro Bungo Jambi dari Zaman Baheula

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Maling Sawit dan Getah Karet Marak di Dharmasraya, Petani Menjerit

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara dan Ulasannya oleh Azwar

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Puisi-puisi Elfa Edriwati

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tanda Titik pada Singkatan Nama Perusahaan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Warga Nagari Sikabau Keluhkan Ganti Rugi Lahan Plasma Terdampak Jaringan Listrik PT AWB

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kata Penghubung dan, serta, dan Tanda Baca Koma (,)

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Scientia Indonesia

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024

Navigate Site

  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami

Follow Us

No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024