Sawah Terakhir
Cerpen: Linda Tanjung
Butiran padi itu berwarna kuning keemasan bersih. Menantang sinar matahari dengan sombongnya sehingga mata menjadi silau. Jutaan bulir itu menyerang semen yang menjadi wadah heler ini, sehingga tidak ada sedikit ruang pun yang tidak tertutupi oleh panen ruahnya.
Lapangan yang luasnya 50 X 50 meter dipenuhi padi yang bangga akan kuning keemasannya. Kaki Suman menginjak padi itu dengan leluasa tanpa alas, sambil tangannya memegang garpu orekan yang dapat meratakan padi agar tersebar ke semua lantai. Padi ini harus mendapatkan panas yang rata agar keringnya sempurna siap masuk mesin penggilingan.
Peluh membasahi wajah Suman yang tertutup kain pengikat bagian wajahnya, sehingga hanya matanya yang terlihat. Kain segitiga bekas selendang istrinya ke pengajian yang tidak terpakai lagi dan dimodifikasi sedemikian rupa. Sehingga bisa menjadi penutup wajahnya kala terik menyengat, menghindari sengatan cahaya yang membuat kulit pun menjadi gosong terbakar matahari. Topi caping di kepalanya tidak dapat menahan terik matahari ketika dia berada di tengah buliran padi yang sedang berteriak juga kepanasan. Panas yang membuat badannya pun bermandi keringat.
Sudah satu minggu padi itu dijemur, sudah saatnya untuk digiling agar memberikan butiran beras yang ketika dimasak dapat membuat perut lapar karena wanginya. Berada di piring, dengan beras yang sudah jadi nasi hangat, asap yang mengepul dan sepotong ikan asin beserta rebusan daun singkong dan gilingan cabe merah yang diberi tomat. Selera Suman akan tergugah, apalagi ditemani oleh Dahlia disepoinya angin di dangau mereka. Mata pun memandang hijaunya sekeliling dengan hamparan permadani dunia yang luas dipagari hijaunya perbukitan yang berbaris rapi menjaga semesta. Luar biasa, pikir Suman meski keringat bercucuran membasahi tubuhnya.
***
Hijau, itulah yang terlihat ketika mata memandang sekitar. Batang-batang padi yang baru tumbuh di bagian utara dan benih yang baru disemai di bagian selatan. Matahari pagi memancar dengan terangnya yang membawa suasana segar dengan cuitan burung beterbangan di antara batang padi yang baru tumbuh sekitar 20 cm dari permukaan tanah.
Perempuan bercaping pun sedang berjalan mundur untuk menanam benih yang baru bermunculan di tanah berlumpur. Sambil membungkuk menanamkan benih dengan jarak yang sepertinya telah diukur sehingga berjajar rapi secara apik. Tangannya gesit membenamkan benih padi ke dalam tanah sawah yang berlumpur. Meski pinggangnya sudah merasa sakit dan pegal, sesekali dia meringis kecapean dan juga memegang perutnya.
Laki-laki sedang mencangkul memperbaiki perairan agar sawah ini dapat diairi dengan sempurna. Air membasahi sawah itu dari bagian sawah sebelahnya lagi. Pematang dikokohkan agar kaki-kaki yang menginjaknya dapat leluasa sehingga dapat dilewati menuju dangau-dangau yang ada di tengah sawah untuk sekedar istirahat pelepas lelah dan lapar.
“Oi, istirahat kita lagi.” Teriak laki-laki itu pada wanita yang menanam benih.
“Sebentar lagi, tanggung. Tinggal sedikit lagi.” Wanita itu balas teriak.
Laki-laki itupun membawa cangkulnya ke dangau. Dilihatnya matahari dengan memperhatikan bayangan tubuhnya yang tak tampak lagi. Hari sudah tepat pukul 12.00 rupanya. Pantas panasnya tidak tertahan lagi. Perutnya juga sudah mulai terasa berbunyi-bunyi mengikuti irama pelarian cacing yang juga lapar. Dielusnya perutnya, terbayang olehnya nasi kerak masakan istrinya tadi malam dengan sambal ikan asin yang tersisa kepalanya. Ah, panen masih hitungan bulan.
Sampai di dangau, dia duduk membuka caping dan mengipasnya. Meski angin bertiup perlahan memberikan kesegaran udara, namun kibasan capingnya lebih terasa cepat menghilang rasa panas tubuhnya terkena sengatan matahari. Dilihatnya bungkusan yang tergantung di tiang dangau, tidak selera rasanya untuk makan bekal hari ini. Namun apa daya, rezekinya tidak berpihak baik hari ini padanya. Mungkin untuk tiga bulan ke depan dia harus mengikat perutya kuat-kuat lagi.
Terbayang olehnya, wajah yang cemong-cemong dengan ingusnya sambil bermain pasir di samping rumah gadang lama dengan anjing buruannya. Gadis kecil itu akankah dapat menikmati hidup lebih layak dari kedua orang tuanya yang hanya sebagai buruh tani. Gadis yang sangat ditunggu kehadirannya.
“Apa yang Uda pikirkan?” suara wanita memecahkan lamunannya.
“Eh, udah selesai rupanya.” Katanya seketika.
Istrinya langsung mengelap tangannya yang basah pada rok berwarna kecoklatan, bukan karena warnanya yang coklat. Rok itu dasarnya berwarna krem terang, namun sudah berganti coklatnya lumpur sawah. Baju yang lehernya sudah sangat melar menutupi tubuh wanita yang sudah memberikan sepasang buah hati padanya. Padahal baru tiga bulan dia selesai melahirkan, namun harus ikut membantunya di sawah untuk biaya kehidupan mereka. Masih menetes air susu dari balik baju kaosnya, Suman harus ditemani wanita yang telah memilihnya sebagai suami ini.
“Tidak ada, cuma capek saja.” Kata Suman sambil berdiri mengambil bekal yang digantung tadi. Membuka isinya dan mengambil sebungkus kopi yang telah dingin karena dibuatkan Dahlia sesudah mereka shalat subuh tadi.
Digigitnya plastik kopi yang bagian kerucutnya, menikmati dinginnya kopi itu menelusuri kerongkongan melepas dahaganya. Kopi dingin apalah rasanya, namun bagi Suman hari ini terasa nikmat. Apalagi memandangi wajah wanita di sisinya, terlihat selalu cantik di matanya.
“Aku membawa goreng pisang,” kata Dahlia sambil mengambil gorengan itu dari tempat bekalnya yang terbuat dari anyaman daun kelapa. Kalau orang kampungnya menyebut tempat itu dengan kambuik. Goreng pisang sebanyak lima buah itu diberikan Dahlia pada suaminya.
Gorengan itu didapatnya dari pemberian Mak Isah. Goreng pisang itu bukanlah gorengan yang baru saja pagi tadi digoreng namun sisa gorengan semalam yang dipanaskan kembali. Gorengan itu sisanya ada sepuluh, lima dibawanya ke sawah sedangkan lima lagi ditinggalkan untuk anaknya.
Mak Isah adalah tetangga mereka sekaligus yang mempunyai rumah gadang tua tempat mereka tinggal. Rumah gadang yang hampir roboh, lantainya sudah bolong-bolong. Dindingnya dari bilahan bambu yang juga sudah jarang-jarang. Tidak ada kamar mandi pada rumah gadang, mereka harus ke sungai dan tobek yang ada di sekitar rumah mereka. Tobek atau kolam ikan itupun milik Mak Isah juga. Sawah yang mereka kerjakan ini adalah sawahnya Mak Isah sebagian dan sawah orang kampung lainnya. Namun sawah milik orang lain itu sudah lama ditinggalkan dan kabarnya juga sudah dijual. Mak Isah juga mempunyai warung kecil tempat singgah orang sekampung membeli bekal untuk dibawa ke sawah.
Mak Isah akan bersyukur jika sudah musim panen. Gorengan, lontong, kue-kue untuk sarapan akan laris manis, hasil dari masakannya disukai semua orang. Kalau mereka menyebut bakawa sebagai bekal mereka untuk kerja di ladang dan sawah. Itulah kebiasaan buruh tani di kampung ini, jika punya duit mereka akan royal dan menghambur-hamburkan uangnya. Bahkan ada yang memakai hasil jerih payah mereka untuk berjudi tanpa berpikir bagaimana susahnya mencari uang menghidupi anak istri.
Di warung Mak Isah akan banyak cerita yang terangkai. Dari cerita politik ala para buruh tani sampai cerita sesama mereka. Cerita tentang yang baik atau yang buruk. Kesuksesan si anu yang hidup di rantau hingga ada yang berani untuk mencoba mengikuti jejak temannya yang sukses di rantau orang. Cerita tentang perselingkuhan si anu di tengah sawah ataupun di kampung ini yang rentan. Ilmu agama mereka masih dangkal karena minimnya pengajian, sehingga tidak mampu menjaga akal dan nafsu mereka sebagai umat beragama. Meski tempat ibadah ada di setiap simpang namun itu hanya sebagai simbol belaka, dan hanya akan ramai tiap satu bulan dalam setahun. Keramaian itupun hanya dua minggu pertama saja di bulan itu, selanjutnya mereka berlomba-lomba untuk persiapan hari besar dengan pakaian mewah dan makanan enak. Untuk mewujudkan itu semua mereka bersedia berhutang bahkan dengan rentenir sekalipun agar mereka tidak mati gaya pada perayaan hari besar. Apalagi saat pesta hari raya itu, perhelatan di kampung mereka yang dibiayai oleh orang rantau, semua perlombaan mereka lakukan dan mendatangkan orgen tunggal sekalian. Satu bulan mereka tobat rajin ibadah, satu hari dihabiskan berbuat dosa berhuru-hara. Suman sangat tidak suka perilaku masyarakat kampungnya.
Telinga Suman dulu pernah merasa panas ketika duduk di warung Mak Isah, atau istilah orang sana pajak untuk menyebut warung ini. Bagaimana tidak panas? Ketika mendengar kata Mak Isah yang ditimpali cemoohan para laki-laki yang sering duduk di pajak itu sebelum berangkat ke sawah mereka masing-masing. Sudah dua tahun Suman menikah dengan Dahlia, tetapi tanda-tanda gadis dari kampung seberang itu belum juga hamil.
“Suman lemah kayaknya. Belum juga lagi.” Kata Pak Ase temannya. Laki-laki tua paling usil mulutnya dan bisa dikatakan sebagai tukang gosip di kampung itu mulai buka suara, entah apa tujuannya.
“Iya, apakah yang salah. Sawahnya yang salah atau bajaknya yang tak pandai,” kata Mak Isah. Semua laki-laki di pajak itu tertawa. Mak Isah juga terkenal dengan mulutnya yang pedas di kampung ini.
“Perlu diajarkan kayaknya bagaimana mana caranya, biar pandai.” Timpal suara lain.
“Siapa yang mau ngajari. Ha haha haha.” Ujar yang lainnya lagi sambil asap mengepul dari mulut mereka dan sebagian menyeruput kopstengnya istilah keren dari kopi setengah yang ada di gelas kecil, besarnya antara jari jempol dan jari tengah orang dewasa.
“Ha..ha..ha.” suara pecah di warung itu. Laki-laki yang duduk di warung itu dengan berbagai gaya dan cara berpakaian mereka. Ada yang kakinya berjuntai, ada yang naik ke atas bangku kayu sebelah, ada juga yang bersila dan posisi lainnya. Belum lagi kopiah mereka, ada yang miring, yang seperti orang yang mau menikah saking rapinya, ada yang menampakkan jambul rambutnya. Begitu juga dengan sarung kumal mereka, di selempang dari bahu ke pinggang atau dililitkan di leher mereka. Suman biasa dengan celana sepertiganya dan topi bulatnya yang setia.
Suman kala itu hanya tertawa ringan, meski wajahnya merah karena malu dan marah. Matanya menjadi merah menahan marah namun ditutupinya kala itu sambil menyeruput kopi dan menghisap rokok yang terselip di jari tengah dan telunjuknya. Asap rokok yang ditiup dari mulutnya menutupi kemarahannya. Kalau tidak mengingat dia paling kecil dari mereka semua dan paling kuat, mungkin sudah dipukulinya tubuh-tubuh yang sudah bau tanah itu.
Suman menatap istrinya yang menyodorkan goreng pisang itu padanya. Wanita yang akhirnya mampu memberikan dua buah hati padanya. Menutup mulut sesumbar orang kampung yang mengejeknya tidak mampu sebagai laki-laki. Apalagi laki-laki tua yang selalu mengejeknya dan mata mereka terlihat oleh Suman sangat liar melihat kemontokan tubuh Dahlia. Air liur mereka menetes, dan jakun mereka naik turun ketika melihat istrinya hilir mudik membawa pakaian siap cuci pulang pergi dari sungai.
Diambil Suman goreng pisang itu. pada gigitan pertama terasa sudah tidak garing lagi. Apalagi ketika Suman gunakan tangan untuk membelah bilahan pisang itu, maka akan terlihat seperti benang halus menandakan bukan pisang baru dan segar lagi. Syukurnya rasa pisang itu belum berubah. Digigitnya pisang dengan bantuan kopinya yang masuk ke dalam mulut untuk mengganjal perutnya yang berbunyi tadi.
Dahlia duduk di sampingnya, membuka lebih lebar lagi kambuiknya. Mengambil bungkusan berwarna hijau, remasan daun pepaya yang harus diminumnya sebagai obat untuk tubuhnya yang baru melahirkan. Dahlia berusaha untuk minum rempah-rempah racikannya sendiri agar bisa pulih sedia kala sesudah melahirkan. Dia akan meminum jamu-jamuan ini seberapapun pahitnya. Apalagi biaya untuk membuat ramuan rempah jamu-jamuan itu tidak mahal karena ada di sekitar rumahnya. Hanya perlu waktu untuk mengerjakannya, dan dia tidak mengeluarkan biaya untuk beli obat dari rumah sakit ataupun puskesmas.
Dahlia pun menggigit bungkus plastik yang berisi cairan hijau itu. Meneguknya sambil menahan rasa pahit masuk ke kerongkongannya. Cepat-cepat digigitnya goreng pisang untuk menghilangkan rasa pahitnya. Wajahnya berubah menjadi lucu dan meringis.
Suman tertawa melihat ekspresi istrinya yang menahan rasa pahit. Suman ingin sekali mencium istrinya di tengah sawah itu karena gemas melihat wajahnya.
“Uda malah tertawa.” Rengek istrinya juga manja. Suman tidak tahan lagi langsung mencium istrinya di dangau itu meski lumpur menemani bau mereka.
Capek yang dirasakan keduanya hilang. Mata mereka saling bertatapan penuh dengan cinta dan mereka saling bercumbu di dangau tengah sawah itu.
“Udah, Uda. Malu sama orang yang lewat.” Kata istrinya berusaha untuk menghindar. Sawah itu jika dilihat dari kejauhan, di sampingnya terdapat jalan raya, lalu-lalang kendaraan dari kampung yang satu ke kampung lainnya.
Setelah mereka asyik-masyuk dalam bercinta. Perut pun keroncongan, bekal nasi merekapun dimakan dengan lahapnya. Dahlia tidak ikut makan karena dia ingin segera pulang untuk menyusui bayinya dan mandi. Suman sudah menggaulinya sebentar ini dengan cara mereka di dangau. Kebahagiaan Dahlia dapat memuaskan nafsu suaminya yang besar itu sudah cukup. Dia berusaha untuk ke sawah meski tubuhnya belum pulih sempurna, sesudah usai melahirkan putra mereka. Dia tidak ingin suaminya selingkuh seperti kebanyakan cerita para buruh tani di kampungnya ini. Mereka selingkuh di tengah sawah karena berdua mengerjakan sawah orang. Meskipun sawah itu dekat dengan jalan raya, namun orang tidak memperhatikan apa yang ada di tengah dangau. Apalagi jika dalam posisi tidur, tak ada yang tahu apa yang terjadi.
***
Mak Isah menerima telepon dari putranya yang di rantau. Telepon ini mengejutkan Mak Isah dan membuatnya bingung. Suman pun jadi beban pikirannya.
“Mak jual ajalah sawah itu. Untuk apa dipertahankan. Sawah samping kiri kanan kita sudah lama tidak digarap dan terbengkalai. Mereka sudah menjualnya Mak. Akhir tahun ini akan dibuat ruko. Tempat kita itu strategis Mak, jalan kampung yang selalu ramai. Itu akan jadi jalur transportasi. Kalau ada ruko di sana banyak yang dapat kita jual.” Jelas putra Mak Isah.
“Kau gila. Sawah itu bukan milik kita semua. Tetapi juga milik Suman, Nak.” Kata mak Isah.
“Tapi itu kan masih tergadai pada kita. Sudah sepuluh tahun Mak, sudah lewat dari perjanjian. Lagian anak Mak nggak ada yang menetap di kampung. Kami sudah mempunyai penghidupan di kota. Mengapa Mak masih pertahankan juga sawah itu.” bujuk putranya lagi.
“Aku belum bisa jual sawah itu, Bakir.” Kata Mak Isah tegas dari seberang sana putranya terus membujuk.
“Mak, di tempat kita aja yang di pinggir jalan ada sawahnya. Coba Mak lihat sepanjang jalan mau ke kota sebelah. Adakah Mak lihat sawah lagi. Banyak ruko dengan berbagai macam bisnis tergambar. Itu lebih menjanjikan Mak dibandingkan kita masih bersawah. Kadang Mak juga tidak makan beras dari sawah kita juga. Mak juga beli beras pada orang lain.” bujuk Bakir terus.
“Aku tetap tidak mau Bakir.” Kata Mak Isah. Terbayang olehnya bagaimana dengan Suman dan keluarganya. Sawah itu bukan semuanya punya Mak Isah. tiga petak kepunyaannya dan satu petak lagi kepunyaan keluarga Suman yang tergadai.
“Mau sama siapa Mak wariskan sawah itu, Mak tidak mempunyai anak perempuan dan juga saudara perempuan. Mak tinggal sendiri sekarang. Kalau Mak tidak ada, siapa yang akan mengurus itu semua Mak. Kami bisa membiayai hidup Mak.” Bujuk Bakir Lagi.
“Kurang ajar, Kau Bakir. Kau doakan aku cepat mati. Bruk!!” dihempaskannya ponsel itu hingga berderai. Hati Mak remuk dengan bujukan putra satu-satunya. Bakir, putra semata wayang yang menikah dengan wanita seberang mulai membujuknya untuk menjual sawah keluarga mereka. Meski sawah itu bukan merupakan pusaka tinggi. Sawah itu adalah harta peninggalan suaminya dan hasil jerih payah mereka berdua, namun dia tidak ingin menjualnya begitu saja. Biarlah sawah-sawah di sekitarnya yang dekat ke jalan sudah habis terjual untuk pembangunan ruko, dia tidak bergeming sama sekali.
Suman tanpa lelah membantunya mengolah sawah itu. Mak Isah sungguh tidak ingin sawah itu hilang. Dia lebih memilih mati daripada menjualnya. Mak Isah mempunyai janji pada orang tua Suman, agar sawahnya itu tetap ada meskipun keluarga mereka tidak akan pernah bisa menebusnya pada Mak Isah.
Sejak telepon dari putranya itu, Mak Isah jadi tidak suka bicara lagi. Wajahnya tidak ceria lagi melayani para buruh tani yang berada di warungnya. Suman melihat perubahan dari Mak Isah, perempuan yang sudah dianggapnya sebagai pengganti ibunya. Mak Isah murung, dan matanya kadang menatap jauh saat duduk di pajaknya ketika sendiri.
Mak Isah pun beberapa hari ini juga sering pergi ke sawah melihat bagaimana perkembangan tanaman padinya. Meski dia di sawah hanya duduk-duduk di dangau sambil bercerita dengan Dahlia. Mak Isah yang menjaga putra mereka yang masih bayipun duduk menikmati semilirnya angin di tengah sawah. Matanya sesekali memandang ke kejauhan pada jalan raya yang di samping sawah itu. Melihat kendaraan yang lalu-lalang, mulai dari truk pengangkat pasir dari sungai dan kayu glondongan di hutan ataupun hasil ladang sampai mobil minibus dan kendaraan roda dua. Jalanan di samping sawah ini memang ramai.
Matanya pun memandang ke arah barat sawahnya, terlihat olehnya Sawah Cuni sudah ditimbuni tanah dan dibangun pondasi batu untuk membuat ruko. Sawah Cuni yang sebanyak tiga petak itu tidak ada lagi. Belum lagi dilihatnya ke arah timur, sudah ada berdiri kokoh ruko sebanyak lima pintu. Di sana kabarnya ada mini market, sehingga banyak mobil singgah untuk beli makanan agar bisa berhenti di tempat pemberhentian berikutnya.
Sawahnya berada pas di tengah-tengah antara sawah Cuni dan ruko yang telah berdiri itu. Keluhan dari Suman, sawahnya sangat susah diairi karena jalan air dari mata air telah tertutup dengan ruko yang telah berdiri kokoh itu. Belum lagi ketika tanahnya digemburkan maka akan banyak sampah plastik yang terbawa. Sehingga pematang sawah pun juga penuh dengan sampah plastik. Sampah plastik terbawa oleh air hujan dari jalanan beraspal yang lebih tinggi dari sawah. Onggokan sampah pun sudah menggunung di samping dangau-dangau mereka. Bahkan setiap minggunya, terutama pada musim hujan maka Suman harus memanggang sampah plastik itu. Sumber sampah plastik itu berasal dari orang-orang yang berbelanja di mini market dan membuang sampah seenaknya.
Sampah ini dulunya tidak ada sama sekali. Namun sekarang pekerjaan Suman bertambah, dia pun harus mencangkul jauh ke tengah untuk mengairi sawah milik mereka. Agar sawah itu tetap berair.
“Ada apa Mak?” tanya Suman pada wanita yang umurnya hampir 70 tahun, tetapi tetap kuat dan segar. Mungkin karena selama ini dia sangat pandai merawat tubuhnya. Suman belum pernah mendengar Mak Isah sakit keras.
“Maksudmu apa?” Mak Isah pun balik bertanya. Mereka bicara berdua setelah Dahlia dengan anaknya balik ke rumah. Mak Isah sengaja tidak buka warungnya hari ini.
“Apa yang membuat Mak gelisah akhir-akhir ini?” tanya Suman lagi, sambil makan kacang tanah yang direbus Mak Isah untuk mereka di dangau-dangau itu. Padi itu sudah mulai menguning, sebentar lagi akan panen.
“Ruko itu sudah berapa lama dibangunnya, Suman?” tanya Mak Isah balik bertanya seolah tidak mendengarkan pertanyaan dari Suman tadi.
“Masih baru, Mak. Rasanya setahun ini adanya. Tapi Mak! Orang banyak sekali berhenti di sana, mini marketnya ramai. Di sana juga ada apa namanya, tuh? Oh Iya Kafe. Mereka singgah dan kemudian berfoto-foto. Kabarnya Mak, sawah Mak Cuni itu mau dibuat tempat bermain alam dan mau dibangun kolam renang pula. Orang berduit…Orang berduit. Nasib kita ya, kayak begini aja, Mak. Tidak ada perubahan sama sekali.” Suman semangat bercerita. Diusapnya rambutnya dan matanya menatap Mak Isah yang masih tercenung lama.
“Apa kau ingin sawah kita ini dibuat seperti itu juga?” tanya Mak Isah kembali bertanya dan menatap Suman.
“Eh, kok Mak berkata seperti itu. Mak berniat juga untuk menjual sawah ini?” tanyanya pada Mak Isah.
“Kau berharap aku jual sawah ini?” Mak Isah bertanya dengan mendesak.
“Aku terserah Mak, tetapi sebenarnya tidak setuju juga.” Jawabnya.
“Kenapa?” Mak Isah menyerang dengan pertanyaan singkatnya cepat.
“Kalau nggak ada sawah kita makan apa, Mak? Mau beli beras plastik kayak yang di tivi-tivi itu. Tidak mau aku, Mak.” Kata Suman dengan yakinnya.
“Kalau aku punya uang Mak, aku akan beli ruko itu lagi dan buat sawah lagi. Aku akan buat sawah itu dengan namaku ‘SAWAH SUMAN’ besar-besar agar orang tahu kalau aku punya sawah. Orang bisa juga berfoto di sawahku, apalagi yang datang dari rantau Mak.” Kata Suman menyambung ceritanya dengan mata berbinar. Dia mulai menghayal.
“Impianmu Suman, impian di siang bolong. He..he,..” Mak Isah tertawa melihatkan giginya yang sudah ompong.
“Coba Mak lihat, sampah yang banyak akibat adanya ruko itu. Dulu kita tidak mendapatkan sampah plastik. Belum lagi banjir akibat aliran air yang tidak jalan karena terhalang dari ruko-ruko. Mak tak lihat kalau jalan ke kota sebelah selalu banjir, dan sawah di sekitar itu terbenam air sehingga sering mereka gagal panen. Akhirnya semua sawah dijual, yang beli para cukong Mak, orang yang banyak duit entah apa yang mereka bangun.” Suman semakin semangat bercerita.
“Biarlah orang itu Suman, yang penting sawah kita tetap ada. Kampung kita juga tidak banjir karena tanah dan tumbuhan resapan airnya masih banyak.” Kata Mak Isah sok bijak. Perempuan istri dari pensiunan guru ini menunjukkan kelasnya.
“Ini kapan kita panennya?” tanya Mak Isah melihat pada sawahnya yang menguning.
“Minggu besok kita sudah bisa menyianginya, Mak.” Kata Suman.
“Baiklah hari sudah sore, aku pulang dulu. Kau tidak pulang denganku?” tanya Mak Isah.
“Mak duluan aja, masih ada yang mau kukerjakan lagi.”
***
“Bakir! Kapan kau datangnya. Kenapa tidak memberikan kabar?” tanya Mak Isah mendapati putranya sudah sampai di rumah.
Mak Isah bahagia melihat putranya, apalagi sawahnya baru saja panen besar. Banyak padi yang dihasilkan sawahnya kali ini. Suman juga bahagia melihat hasil kerjanya selama empat bulan.
“Maafkan aku, Mak. Aku butuh bantuan, Mak.” Kata Bakir sambil berlinang air mata mencium tangan ibunya ini.
“Ada apa, kau tiba-tiba seperti perempuan begini?” kata Mak Isah.
“Aku terlilit hutang, Mak. Jumlahnya tidak sedikit, hampir satu milyar Mak.”
“Apa!!!” Mak Isah pun pingsan.
Petir menyambar. Hujan pun tiba-tiba turun. Berhari-hari bahkan sudah lebih seminggu. Untunglah mereka baru saja selesai panen. Namun sawah mereka tergenang banjir, sawah itu terlihat bagai lautan saja. Tidak ada tepinya.
Hujan itu membuat hati Mak Isah teriris dan dingin membeku. Kemarin dia lihat bagaimana semangatnya Suman menjemur padi mereka sekarang hujan turun dengan lebat. Tidak sehari atau dua hari, tetapi lebih seminggu. Suman menyakinkan bahwa padinya sudah kering sempurna dan siap digiling.
Bakir hadir dengan berita lilitan hutangnya dan banjir yang melanda kampung mereka, terutama sawah mereka yang terendam karena jalan sudah lebih tinggi dari sawah.
“Aku ingin Mak membantuku, kalau tidak aku akan masuk penjara, Mak.” Kata Bakir yang hanya ditatap nanar oleh Mak Isah. Haruskah menjual sawahnya jawaban untuk masalah putra semata wayangnya ini. Sawah terakhir yang ada di pinggir jalan raya itu. (*)
Biodata Penulis:
Linda Tanjung adalah nama pena Lindawati, guru di SMP Islam Raudhatul Jannah Payakumbuh. Ia lahir di Medan pada 14 Januari dan berdomisili di Kota Payakumbuh. Ibu empat orang putra-putri ini berbahagia dan bercengkrama bersama anak-anak. Anak-anak adalah dunianya dan membuat mereka mau menulis adalah mimpi-mimpinya. Tulisannya dimuat dalam Kumpulan Cerita Anak Indonesia “Kata Bapak di Sungai Ada Buaya” UNSApress, Januari 2018 dan Kumpulan cerita horor, Antologi Pemenang LMCBUA #7 “Tentang Sesuatu Yang Akan Dikembalikan Pada Asalnya” Penerbit WR, Desember 2017. Linda dapat dihubungi pada FB: Linda Wati, Instagram lin_tanjung.
Kritik Sosial dalam Cerpen “Sawah Terakhir” Karya Linda Tanjung
Oleh: Azwar Sutan Malaka, M.Si.
(Dosen Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, UPN Veteran
Jakarta dan DPP FLP Sumatera Barat)
Cerita pendek atau juga dikenal dengan cerpen adalah cerita yang bisa dinikmati sekali duduk, strukturnya tidak rumit, dan yang paling penting tentu saja cerita pendek bukan cerita panjang. Cerpen menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah cerita yang tidak lebih dari 10 ribu kata. Pada umumnya cerita pada cerpen bisa memberikan kesan dominan dan berkonsentrasi pada permasalahan satu tokoh. Menurut Nugroho Notosantoso, cerita pendek adalah kisah dalam jumlah kata mulai dari 5000 kata, kisah pada cerpen hanya berpusat pada dirinya sendiri yang berarti hanya pada satu tokoh saja. Pengertian cerpen menurut KBBI dan Notosusanto tersebut secara garis besar menyoroti panjang cerpen dan pusat pengisahan cerpen yang hanya terpusat pada satu tokoh saja.
Jika dilihat pengertian cerpen menurut ahli yang lain seperti H.B. Jassin, ia mendefinisikan cerpen dengan sebuah cerita pendek yang memiliki bagian di mana terdapat struktur yang lengkap mulai dari perkenalan, permasalahan, dan penyelesaian dari masalah tersebut. Saini menyampaikan bahwa cerpen merupakan cerita yang bersifat fiksi dan tidak terjadi di dunia nyata, tetapi dapat terjadi kapan saja serta di mana saja dalam kisah cerita yang relatif singkat dan jelas. Dua pengertian ini menjelaskan sifat cerpen yang merupakan rekaan dari kehidupan dan juga menyoroti struktur cerita itu sendiri.
Berdasarkan beberapa pengertian cerita pendek yang disampaikan di atas, kita bisa menilai apakah cerita berjudul “Sawah Terakhir” karya Linda Tanjung tersebut cerpen atau hanya cerita yang diklaim sebagai cerpen. Dari sisi jumlah kata, mungkin cerita ini bisa disebut sebagai cerpen karena tidak lebih dari 5000 kata. Dari sisi struktur bisa kita anggap cerita ini memiliki bagian perkenalan, memuat masalah, dan juga memiliki penyelesaian. Sungguh pun demikian, ada beberapa catatan penting yang ingin saya sampaikan terkait dengan cerpen “Sawah Terakhir” ini.
Pertama dari sisi pusat cerita kita harus jujur bahwa tidak mudah bagi pembaca untuk menilai siapa tokoh yang bisa kita lihat sebagai pusat pengisahan cerita. Tokoh Suman yang dimunculkan penulis sebagai tokoh yang muncul di awal cerita dan sampai pada 4 halaman pertama (draf cerpen ini ditulis sepanjang 8 halaman) mendominasi cerita. Pada awalnya pembaca menilai seolah-olah cerpen ini berkisah tentang Suman dan membahas masalah yang hadir terkait diri Suman serta diselesaikan pada seputar Suman.
Tapi dugaan tersebut terbantahkan ketika kita baca bagian selanjutnya cerpen ini. Tokoh cerita seolah-olah berpindah pada tokoh bernama Mak Ijah. Hal ini karena cerpen berjudul “Sawah Terakhir” membahas kegelisahan Mak Ijah yang sedang berada dalam dilema akan menjual sawah atau tidak. Mempertahan kan sawah sebagai sumber pemenuhan kebutuhan pokok manusia yaitu padi atau menjualnya karena tuntutan kemajuan zaman, dimana sawah bisa beralih fungsi menjadi pusat bisnis yang bernilai tinggi dimana dalam cerita ini disebut sebagai ruko (rumah toko). Dugaan ini semakin kuat karena masalah ini relevan dengan judul cerita yaitu “Sawah Terakhir” dimana pembaca bisa menilai bahwa cerita ini tentang perjuangan tokoh mempertahankan sawah agar tidak dialihfungsikan untuk kepentingan lain.
Jika kita setiap pada persoalan cerita yaitu tentang perjuangan seorang tokoh mempertahankan sawah agar tidak beralih fungsi, saya akan menyampaikan bahwa tokoh Mak Ijah lebih pantas untuk menjadi tokoh utama cerita pendek ini. Akan tetapi pada awal cerita sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, pembaca justru diperkenalkan dengan Suman yang seolah-olah sebagai tokoh utama yang akan dibicarakan dalam cerita ini. Ternyata Suman hanya menjadi bagian pendukung tokoh Mak Ijah dalam cerita ini.
Kalau kita akan fokus pada persoalah sawah terakhir dan cerita dikisahkan dari sisi Mak Ijah, lalu muncul pertanyaan mengapa tokoh Suman dihadirkan begitu menyita jumlah halaman untuk diceritakan dalam cerpen ini? Ada hal-hal yang membuat cerita ini tidak fokus seperti penulis yang suka membuat narasi yang tidak berhubungan langsung dengan cerita. Kita bisa membahasakannya dengan cerita yang bercabang tapi cabangnya tidak terlalu penting.
Penulis tidak perlu mendeskripsikan bagaimana Suman mengolah sawahnya. Karena bagian ini adalah cabang dari cerita yang barangkali penulis mendedikasikannya sebagai penggambaran atmosfir cerita. Selain itu penulis tidak perlu mendeskripsikan bagaimana Suman bercinta dengan istrinya di tengah sawah. Penulis juga tidak perlu menceritaka tentang masa lalu Suman yang susah mendapatkan keturunan yang sering menjadi bahan candaan orang-orang di warung Mak Ijah karena hal tersebut tidak berkaitan langsung dengan persoalan cerita yaitu alih fungsi sawah untuk hal-hal lain.
Kritik Sosial Cerpen Menghadapi Perubahan Zaman
Pada bagian ini saya akan menyinggung terkait dengan kritik-kritik pengarang sebagai muatan cerita pendek yang ditulisnya. Muatan dalam cerpen sesuatu yang wajib dihadirkan oleh penulis. Hal ini tentu saja akan menentukan bagaimana bobot cerita yang disajikan pengarang. Cerpen “Sawah Terakhir” berisi kritik sosial atas perubahan zaman yang dipandang tidak lagi mementingkan keseimbangan alam. Tema ini sangat menarik karena terkait dengan lingkungan. FLP sebuah wadah penulis-penulis muda Indonesia malah pernah mengusung sastra hijau yang salah satunya memperjuangkan keseimbangan alam. Cerpen yang ditulis Linda Tanjung ini adalah salah satu cerpen yang hadir untuk menyikapi perubahan zaman.
Jika dibahas lebih jauh, kita akan memotret bagaimana sepanjang sejarah kehidupan umat manusia, perubahan adalah sesuatu yang niscaya. Perubahan adalah suatu yang pasti terjadi dan perubahan sesuatu hal yang tidak bisa dihindari. Secara teoritis, perubahan dapat dikelompokkan menjadi pertama perubahan secara alamiah. Perubahan secara alamiah ini terjadi dalam waktu yang lama, tanpa terencana. Evolusi adalah salah satu contoh yang tepat dari perubahan alamiah ini. Kedua perubahan karena peristiwa besar seperti revolusi industri, perubahan karena bencana alam, dan perubahan karena akibat perang. Biasanya perubahan karena peristiwa besar ini terjadi dalam waktu yang cepat. Ketiga perubahan yang direncanakan, hal ini juga disebut oleh ahli sosial dengan pembangunan.
Karl Marx mengatakan bahwa perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi akibat adanya perkembangan teknologi atau kekuatan produktif di suatu masyarakat serta hubungan antara kelas sosial yang berubah. Sementara itu menurut Emile Durkheim perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari faktor-faktor ekologis dan demografis serta yang dapat mengubah kehidupan masyarakat dari tradisional yang kental akan nilai-nilai solidaritas mekanis menjadi masyarakat modern yang syarat akan nilai solidaritas organik.
Cerpen “Sawah Terakhir” ini bisa dilihat sebagai sikap atas perubahan sosial karena kemajuan zaman seperti disampaikan Durkheim bahwa perubahan sosial terjadi sebagai hasil faktor-faktor ekologis. Cerpen ini mengkritik sikap masyarakat yang tergoda oleh rayuan keuntungan semata tanpa mementingkan dampak dari pilihan mereka menjual tanah atau mengalihfungsikan lahan pertanian untuk rumah atau pertokoan. Secara ekologis pilihan tersebut akan mengganggu atau mengacaukan ekologi yang sudah terbentuk lama.
Kritik sosial tersebut sangat kentara dalam cerita ini. Disampaikan pengarang dalam beberapa bagian cerita, baik secara naratif ataupun dititipkan pada dialog-dialog tokoh dalam cerita. Hal ini seperti:
“Biarlah orang itu Suman, yang penting sawah kita tetap ada. Kampung kita juga tidak banjir karena tanah dan tumbuhan resapan airnya masih banyak.” Kata Mak Isah sok bijak. Perempuan istri dari pensiunan guru ini menunjukkan kelasnya.
Dialog Mak Ijah tersebut memuat pesan-pesan utama cerpen ini, yaitu tentang pentingnya mempertahankan sawah sebagai bagian penting dari lingkungan yang berfungsi menyeimbangkan ekosistem lingkungan hidup.
Begitulah cerita pendek “Sawah Terakhir” yang penuh makna dan pesan-pesan akan pentingnya menjaga lingkungan ini. Cerita diakhiri dengan dilema Mak Ijah apakah akan menjual sawah untuk membantu anaknya yang sedang dililit hutang atau justru mempertahankan sawahnya agar tetap berfungsi sebagai sawah. Cerita dengan open ending ini tentu cukup menarik untuk direnungkan karena menggugah kita rasa kemanusiaan kita. (*)
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com
Discussion about this post