Lastry Monika
(Kolumnis Rubrik Renyah Scientia.id)
“Probably gue tuh yang kek confuse gimana ya, yang kek skeptical gitu gak sih, ya which gue masih enter sandman gitu, yang behind, pokoknya dont look back in anger gitu2 lah.” Begitu kicauan twitter salah seorang teman. Kicauannya blaster, padahal dia bukan blasteran. Tentunya dalam keseharian kita juga sering menemukan fenomena serupa demikian. Mungkin saat menyaksikan talk show di televisi, berbicara dengan teman sejawat, caption foto di instagram, status di facebook, komunikasi para youtuber, atau ketika mendengarkan podcast, dan di segala kesempatan lainnya.
Cara komunikasi seperti itu menjadi sebuah problematik. Ada yang menanggapi positif dan ada pula negatif. Positifnya karena tidak menemukan padanan kata yang pas dalam bahasa Indonesia sehingga menggunakan bahasa Inggris untuk menunjukkan kemampuan bilingual seseorang. Negatifnya hanya ingin terlihat gaul dan bergengsi agar terlihat pintar atau intelektual atau bahkan sekedar ikut-ikutan tren.
Menanggapi cara komunikasi itu, saya menyebutnya bahasa blaster. Ada beberapa pertanyaan yang muncul, benarkah tidak ada padanan kata yang bersangkutan dalam bahasa Indonesia? Apakah betul dapat menentukan kecakapan berbahasa seseorang pada kedua bahasa yang bersangkutan? Benarkah ngomong blaster itu bergengsi dan membuat kesan intelektual?
Dalam ilmu linguistik, bahasa, blaster tersebut menjadi bahan kajian. Bahasa seperti itu disebut dengan campur kode. Sebetulnya, mencampur kedua bahasa tidak hanya terjadi antara bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. Fenomena demikian juga dijumpai antara bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah, seperti mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa Minangkabau, bahasa Jawa, dan lain sebagainya.
Menyoal tidak adanya padanan kata dalam bahasa Indonesia, saya kira tidak serumit demikian. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diperbaharui secara bertahap. Beberapa kata pun menjadi dibakukan meskipun diserap dari bahasa asing atau bahasa daerah. Untuk obrolan sehari-hari, tentu tidak sulit untuk mencari padanan kata yang telah tersedia dalam bahasa Indonesia kecuali dalam istilah ilmiah yang terkadang bahasa asing memang memiliki istilah yang belum ada terjemahan atau padanannya.
Ngomong blaster juga belum tentu menunjukkan kecakapan berbahasa seseorang pada kedua bahasa yang bersangkutan. Tentu kemampuan berbahasa dapat diukur jika seseorang mampu berbahasa secara konsisten. Kira-kira, kemampuan bahasa Inggris seperti apa yang mampu diperoleh jika hanya menyematkan literally, which is, dan probaly?
Satu hal yang menarik dari bahasa Indonesia ialah adanya ragam formal dan ragam informal. Hal ini dikemukakan oleh Ivan Lanin selaku aktivis bahasa dalam salah satu podcast bersama Leila S. Chudori. Perbedaan ragam bahasa tersebut disebut dengan diglosia. Dalam bahasa Indonesia, perbedaan ragam bahasa antara ragam formal dan ragam informal dapat dikatakan lumayan jauh. Antara keduanya lumayan susah dalam praktiknya ialah ragam formal, sedangkan ragam informal mudah ditemukan dalam berbahasa sehari-hari.
Jika hanya dalam keseharian, bukankah lebih baik menggunakan bahasa Indonesia secara konsisten sembari mengenali padanan kata baru yang telah baku? Terkecuali bagi kamu yang sedang berlatih untuk memantapkan bahasa asing guna keperluan tertentu. Mengenai ragam formal yang konon kabarnya lumayan sulit, alangkah lebih baik dipelajari secara serius mulai detik ini juga tanpa menunda-nunda terutama bagi yang sedang menyelesaikan tugas akhir kuliah maka tidak heran jika banyak yang menulis ilmiah seperti skripsi sering dicoret atau direvisi secara berulang-ulang.
Discussion about this post