Biru
Terbaring di garis yang putih
Mendengar suaramu yang merdu
Melihat ragamu yang biru
Cukup membasuh lukaku
Menenangkan jiwa yang sedang memberontak
Harus kuucapkan terima kasih
Kepada engkau yang biru
Biru yang menenangkan
Dengan ragamu yang dalam
Yang hanya mampu aku lihat
Pada garis putih yang panjang
Yang tak pernah berani aku selami
Tak akan pernah berani aku telusuri
Karena kutahu
Itu hanya akan membunuhku
Menerkam
Mereka datang
Memaku ego
Menitip angan
Menaruh harap
Merangkai percaya
Menggantung semangat
Namun, merangkak
Menerkam jiwa
Jalan Buntu
Apa itu jalan buntu?
Apa itu salah jalan?
Aku tak pernah tahu itu!
Yang kutahu
Selama napasku masih berderu
Dan selama darahku mengalir deras
Jalanan itu tidak pernah buntu!
Apa itu gelap gulita?
Apa itu gang sempit yang mencekam?
Aku tak pernah tahu itu!
Yang kutahu
Selama jantungku masih berdetak
Selama kakiku masih menapak
Kuakan terus berjalan maju!
Darah
Bagai darah merah yang membeku
Membuat hitam kukuku yang putih
Maka akan kuukir itu
Di tubuhmu yang indah
Sebagaimana engkau mengukirnya di tubuhku!
Aku bukan lumba-lumba yang bermuka dua
Bukan juga marmot yang ramah
Aku hanyalah aku
Yang tak sebaik surga
Dan tak juga sejahat neraka
Aku hanyalah aku
Yang tak bisa engkau bungkam
Yang tak mudah dijinakkan
Aku hanyalah aku
Yang akan terus mengikutimu
Mengganggu mimpi indahmu
Hingga engkau pun tersadar
Akan darah-darah yang tumpah
Akan luka yang engkau ukir
Di tubuh-tubuh yang tak berdosa
Biodata Penulis:
Muthia Triana Dewi merupakan Mahasiswi Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas dan seorang gadis yang suka makan, suka laut, dan suka mendung.
Discussion about this post