Hingga hari ini barangkali masih ada sejumlah pesan yang masuk ke grup Whatsapp kita mengenai kabar duka yang disertai foto dan video pascagempa bumi yang terjadi di Pasaman Barat, Sumatera Barat. Gempa bumi yang terjadi pada 25 Februari 2022 kemarin membuat kita prihatin karena sampai Sabtu, 26 Februari 2022 pukul 22.52 WIB, jumlah korban bencana yang meninggal dunia tercatat delapan orang. Kita tentu berdoa semoga jumlah korban tidak bertambah dan Allah memberi kesabaran kepada para korban dalam menghadapi bencana ini.
Dalam pesan tertulis di grup Whatsapp tersebut, setiap membaca doa yang sudah ditulis oleh anggota grup, kita selalu menjawab dengan amin atau aamiin. Adanya perbedaan penulisan amin dan aamiin ini tentu membangkitkan keingintahuan kita sebagai pengguna bahasa Indonesia, sesungguhnya untuk menyampaikan makna ‘kabulkanlah’ dalam bahasa Indonesia harus seperti apa?
Sejumlah penulis di media online, sudah ada yang membahas perbedaan penulisan amin dan aamiin tersebut, bahkan juga dibandingkan dengan penulisan amiin dan aamin. Dari sejumlah artikel tersebut, saya menemukan keterangan bahwa penulisan kata amin dalam bahasa Indonesia bermakna ‘aman, tentram’; aamin bermakna ‘meminta perlindungan keamanan’; amiin bermakna ‘jujur terpercaya’; dan aamiin bermakna ‘Ya Allah, kabulkanlah doaku’.
Sukamta (2017) melalui artikel yang berjudul “Hubungan antara Lafal, Konteks, dan Makna dalam Al-Qur`an” yang diterbitkan di Jurnal Bahasa dan Sastra Adabiyyāt menjelaskan bahwa memang ada hubungan antara lafal, konteks, dan makna dalam Al-Qur`an. Dalam bahasa Arab, ketika suatu bentuk kata berubah atau wazn berubah, perubahan tersebut juga membawa perubahan makna. Salah satunya dalam pemilihan bentuk kata (sīgah). Ada penulis yang menyatakan perbedaan penulisan amin, amiin, aamin, dan aamiin disebabkan oleh pemilihan bentuk kata (sīgah) tersebut. Namun, Sukamta (2017) justru tidak menjelaskan bentuk amin, amiin, aamin, dan aamiin sebagai salah satu contoh data. Artinya, penambahan pada bangunan kata amin tersebut belum bisa dipastikan menunjukkan perubahan makna.
Adanya perbedaan penulisan antara amin, amiin, aamin, dan aamiin tersebut dapat disebabkan adanya ada tiga macam kata lain dalam Bahasa Arab yang juga dibaca amin, yakni amīn yang bermakna ‘orang yang amanah/tepercaya’; āmin yang bermakna ‘berilah jaminan keamanan’; serta āmmīn dengan ā sangat panjang atau sepanjang 6 harakat yang bermakna ‘orang yang bermaksud menuju suatu tempat’. Namun, lebih tepat jika membahas penulisan kata yang bermakna ‘kabulkanlah’ ini, kita menggunakan transliterasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa transliterasi adalah ‘penyalinan dengan penggantian huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain’, misalnya untuk mengetahui sastra Melayu Klasik lebih mendalam, dilakukan transliterasi dari tulisan Arab Melayu ke dalam tulisan Latin.
Dalam bahasa Arab, kata yang bermakna ‘kabulkanlah’ ditulis dengan آمين. Jika ditransliterasikan ke dalam bahasa Indonesia, dapat menggunakan kaidah yang tertera pada Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Republik Indonesia (2016: 58) menjelaskan bahwa a dalam bahasa Arab tidak dibedakan sebagai bunyi pendek atau bunyi panjang dalam bahasa Indonesia sehingga a tetap menjadi a, bukan aa. Hal ini disebabkan oleh bahasa Indonesia tidak mengenal adanya bunyi panjang atau bunyi pendek. Bahasa Indonesia bukan bahasa tonal sebagaimana bahasa Mandarin.
Bahasa tonal adalah bahasa yang menggunakan tone atau nada untuk memberikan perbedaan makna pada kata yang diucapkan. Misalnya dalam bahasa Mandarin, kata má bermakna ‘kebas’, kata mǎ bermakna ‘kuda’, dan mà bermakna ‘menegur’. Setiap perubahan penekanan nada atau intonasi akan menghasilkan makna yang berbeda. Sementara itu, dalam bahasa Indonesia, jika ada penekanan nada atau intonasi untuk kata saya menjadi saya, saaya, sayaa, atau saayaa, tidak akan menyebabkan perbedaan makna. Oleh karena itu, dalam menyerap unsur asing ke dalam bahasa Indonesia, seperti menyerap kosakata dari bahasa Arab berupa bunyi panjang atau bunyi pendek, tetap ditulis dalam satu huruf. Dalam bahasa Indonesia, ditetapkan kaidah bahwa satu bunyi menjadi satu fonem atau satu huruf. Begitu juga penyerapan dari bahasa Belanda, bunyi aa akan menjadi a, seperti octaaf diserap menjadi oktaf.
Dengan demikian, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Republik Indonesia menetapkan kata baku untuk آمين ialah amin. Dalam KBBI daring, dijelaskan bahwa amin bermakna ‘terimalah; kabulkanlah; demikianlah hendaknya (dikatakan pada waktu berdoa atau sesudah berdoa)’, misalnya doa itu diakhiri dengan ucapan amin yang gemuruh.
Penulisan amin yang bermakna ‘terimalah; kabulkanlah’ sebenarnya juga sudah ditulis dalam sejumlah kamus Arab—Indonesia atau kamus Indonesia—Arab, di antaranya ditulis oleh Abd. bin Nuh dan Oemar Bakry dalam Kamus Indonesia-Arab Arab-Indonesia (1991: 10). Ahmad Warson Munawwir juga menulis amin dalam Kamus Arab-Indonesia yang diterbitkan oleh Pondok Pesantren Al-Munawwir, Yogyakarta (1984: 45), bahkan Erwina Burhanuddin, Abdul Gaffar Ruskhan, dan R.B. Chrismanto melalui Penelitian Kosakata Bahasa Arab dalam Bahasa Indonesia (1993: 8) menyatakan bahwa ada penyesuaian lafal dalam kata-kata Arab yang mengandung vokal panjang, serta gugus konsonan yang terdapat di akhir kata. Salah satunya kata āmīn menjadi amin. Dengan demikian, kita dapat mempedomani Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa untuk menyatakan agar doa dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa, kita menggunakan kata amin.
Selain persoalan penulisan kata amin, juga terdapat perbedaan penulisan ya pada kalimat “Amin Ya Allah”; “Amin ya Allah”, atau “Amin ya, Allah”. Dalam bahasa Arab, kita menemukan امين يا ربال الامينyang bermakna ‘Kabulkanlah wahai Tuhan Semesta Alam’. Jika dianalisis, kalimat tersebut terdiri atas amin yang bermakna ‘kabulkanlah’, ya yang bermakna ‘wahai’, Rabbal yang bermakna ‘Tuhan’, dan alamin yang bermakna ‘alam semesta’. Dengan demikian, kata ya pada kalimat tersebut merupakan kata seru sebagaimana tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia daring bahwa ya bermakna ‘(kata seru seperti hai)’, misalnya ya Allah atau ya Tuhan. Artinya, penulisan Ya bukan penulisan yang tepat karena tidak ada fungsi huruf kapital pada kata tersebut. Dengan demikian, penulisan yang tepat ialah “Amin ya Allah”.
Bagaimana dengan “Amin ya, Allah”? Dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (2016: 41), tanda koma dipakai sebelum dan/atau sesudah kata seru, seperti o, ya, wah, aduh, atau hai dan kata yang dipakai sebagai sapaan, seperti Bu, Dik, atau Nak. Karena kata ya merupakan kata seru seperti hai, apakah boleh kita menggunakan tanda koma sebelum kata Allah?
Jika seseorang menulis sebuah kalimat yang bertujuan untuk berkomunikasi atau menyapa Tuhan secara langsung, tanda koma boleh digunakan. Jadi, penulisan “Amin ya, Allah” ditujukan sebagai kalimat bahwa seseorang sedang berbicara kepada Tuhannya dengan menyapa secara langsung. Kalimat tersebut bisa disamakan dengan contoh kalimat “Terima ya, Bu”, yaitu sebuah kalimat yang diujarkan seseorang ketika menyapa orang lain untuk menerima sesuatu yang ia berikan.
Dalam bahasa Indonesia, memang amat penting memperhatikan kaidah karena setiap tanda baca dan huruf yang digunakan memiliki makna atau fungsi tertentu. Dengan mematuhi kaidah tersebut, kita dapat menjadi lebih disiplin dalam menulis bahasa Indonesia. Sama halnya dengan matematika yang memiliki rumus, bahasa juga memiliki aturan yang dinamakan dengan kaidah. Siapa pun yang taat kaidah, dia pasti tertib berbahasa. Dengan tertib berbahasa Indonesia, kita menunjukkan kepada orang lain bahwa betapa kita mencintai bahasa sendiri, yakni bahasa Indonesia.
Discussion about this post