Batu Nisan
tak sudah-sudah kau debat batu nisan ini
yang sudah berlumut dan berkerak oleh dosa kita
almarhum yang kausebut-sebut itu adikmu sendiri
adik bungsu yang sudah dikalang tanah
kausebut juga utang dan tingkahnya
sedang kau lupa pada piutangmu kepadanya
bukan tembaga, tetapi emas yang kaulilitkan
di leher keriputmu itu
hadiah darinya yang dulu kaupuja
bukan sepetak sawah, juga sehektar kebun
yang kami pinta dari adik laki-lakimu
tapi sebuah batu nisan agar kubur adikmu berupa rumah
kaki-kaki yang ke sana tak lagi membedakan
pematang dan rumahnya yang sudah dikepit oleh harga
diimpit oleh tanah yang susah di tengah kota
sementara orang-orang terus tiada
dari pagi hingga ke senja tiba
tak sudah-sudah kau debat batu nisan ini
sudah kubayar sewa kuburan adikmu itu
dari keringat kasar tangan
dan juga ompong gigiku ini
agar bisa kubertakziah ke kuburan adikku
—yang mungkin sulit kauanggap sebagai adikmu itu
rumah, sawah, kebun, dan halaman yang kauhuni
adalah peninggalan orang tuaku juga
karena engkau yang perempuan
kujunjung ibu di kepalamu, tapi kau hinakan adikmu
bagai mayat tanpa nama
tak sudah-sudah kaudebat batu nisan ini
di hadapanku yang masih hidup
ketika aku tiada nanti, pasti kauumpat juga dengan kata
sudahlah, memang aku tak punya orang tua
dan juga rumah untukku pulang
malu berharap kepada kakak perempuan
yang gila harta dan warisan
Laut Laki-laki
terjala juga olehku masa lalu
di antara ombak yang tidak lagi melandai
ada kisah pelaut tanpa nama
yang malam-malam memukat air mata
darah membeku di antara keriput tangan
demi terkenang semata wayang
anak tak beribu agar tak berbapak
terjala juga olehku kapal karam
puing-puing doa timbul tenggelam
anak-anak yang merupa ikan dalam jala
melaut melaut saja
meski harapan hanya berbatas
terjala juga olehku kisah
hantu laut yang mengincar darah
untuk tumbal para nelayan
tak terombang-ambing di antara duka
sedang aku duduk di tepi karang
dengan pongah membawa tangisan
dibelai dikecoh perempuan
yang diembus angin pantai
bak kida-kida ujung selendang
jala menjala aku ke mata
mata berbenih penuh kisah
sedang laut tak selalu murka
patutkah aku duduk melamun di ujung senja?
jala menjala si anak dara
aku tertipu dengan celak mereka
baiklah kupulang dengan kisah
terngiang perempuan seorang tua
tempat kembali dari lara
Potlatch
laki-laki itu terlalu angkuh
di antara anak-anak yang kelaparan
perempuan-perempuan janda yang gelandangan
juga lelaki tua yang tak bisa pulang
dan orang-orang yang sudah diikat hutang
lelaki itu tampak sangat angkuh
di depan kamera mewah
ia lupa dengan masa lalu
dengan sombong melempar harta benda
seharga sebuah rumah tangga
yang tidak tahu esok akan makan apa
di layar kaca mereka berlomba
menghancurkan dan membuang harta
karena crypto semata
mereka berkata lupa pernah makan dengan air mata
padahal masa muda dilalui di antara jalanan senja
mengais dan menadah dari orang yang berbelas kata
dan kini
hanya karena sebuah prestise
pakaian, harta benda, dan uang jadi pajangan
dibuang-buang di tengah orang-orang busung lapar
demi sebuah konten dan kemewahan
“Akulah satu-satunya pohon besar.
Bawa penghitung harta ke sini dan kau akan sia-sia.
Sudah pasti tak akan cukup angka tertera di layarnya.
Diam. Diamlah kau di sana. Biar kuciptakan longsoran harta
dengan cipratan lembaran-lembaran dolar Singapura
puja-pujalah aku dengan mulutmu
dan maki-makilah aku dengan dengkimu.”
ini dunia-dunia apa?
orang-orang tidak bangga dengan cendekia
Biodata Penulis:
Ria Febrina, lahir di Batusangkar pada 3 Februari 1988. Ia menamatkan S-1 dan S-2 di Universitas Andalas dan saat ini sedang menempuh studi S-3 di Universitas Gadjah Mada Program Doktor Ilmu-ilmu Humaniora. Sejak tahun 2015, ia mengabdi sebagai dosen di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas, Padang. Puisi dan cerpennya pernah dimuat di Harian Padang Ekspres, Majalah P’Mails, Jurnal Bogor, Scientia, antologi puisi Dua Episode Pacar Merah (2005), antologi cerpen Jemari Laurin (2007), dan antologi cerpen Rumah Ibu (2013).