Lifa
Cerpen: Alhimmatul ‘Aliyah Radhwa
Lifa, begitu nama gadis kecil itu. Sebagai anak sulung, dia dituntut menjadi lebih dewasa dari usianya. Seperti pada sebuah siang yang panas, tetapi berangin sepoi-sepoi itu. Ia dipaksa menerima kenyataan bahwa Ibunya sedang tidak baik-baik saja.
“Lifa bantu ibu cuci piring, Nak! Kepala ibu pusing.” Ibu memanggil Lifa dari dapur. Melihat wajah ibunya yang pucat, Lifa sadar bahwa dia harus mengambil alih pekerjaan ibunya walaupun saat itu Lifa sedang mengerjakan PR sekolahnya.
“Iya Bu”, kata Lifa singkat.
“Iya sayang. Jangan lupa ya bantuin ibu tinggal sedikit kok,” kata ibu Lifa.
“Iya Bu”, sahut Lifa dari kamarnya.
Dengan perasaan gundah, Lifa pergi ke dapur mencuci sisa piring-piring yang tak bisa dilanjutkan oleh ibu karena kepala ibu pusing. Selesai mencuci sisa piring-piring tadi Lifa menuju kamar ibunya. Ia tatap ibunya yang terbaring melawan sakitnya.
“Ibu kepalanya masih pusing? Lifa buatkan teh hangat ya Bu?” Sambil memegang kening ibunya tiba-tiba Lifa terkejut.
“Astaghfirullah kepala ibu panas.” Tanpa berpikir panjang, Lifa segera mencari telepon genggam. Ia menelepon Rumah Sakit.
“Kring…! Kring…! Kring…!”
Di rumah sakit yang penuh keributan, suara panggilan telepon juga memecahkan suara ributnya di sudut dinding rumah sakit. Seorang perawat wanita menuju telepon yang berdering itu. Perawat itu mengangkat panggilan dari telepon itu.
“Assalamualaikum. Kami dari Rumah Sakit Asy-Syifa. Maaf ini dengan siapa?” Tanya seseorang yang mengangkat telepon di seberang.
“Wa’alaikumussalam. Saya anak Lifa, Mbak.” Jawab Lifa dengan cemas.
“Iya Dek. Ada yang bisa kami bantu?”
“Ibu saya panas sekali Mbak, jadi saya menelepon, Mbak. Tolong ibu saya di bawa ke Rumah Sakit, ya Mbak?” Raut wajah Lifa penuh harapan.
“Hmmm…,” perawat itu berpikir. Bagaimana ya pasien sedang penuh. Perawat itu masih berpikir. Sementara itu, Lifa yang menunggu jawaban dari mbak perawat itu tidak sabaran, apa yang akan dikatakan boleh atau tidak boleh.
Mbak perawat itu pun menjawab pertanyaan Lifa dengan agak linglung.
“Maaf Dek, ibu adek bisa masuk, tapi harus menunggu pasien yang terkena corona lain sembuh atau menunggu konfirmasi pasien yang lain. Masalahnya baru beberapa menit yang lalu sebelum adik menelepon sudah masuk sekitar empat orang. Dua karantina dan dua orang lagi pindahan rumah sakit lain. Maaf sedalam-dalamnya ya Dek.” Jawaban mbak perawat itu dan membuatnya sendiri merasa bersalah karena tidak bisa melayani orang dengan baik.
Sementara itu, di rumah Lifa. Lifa terdiam kaku dan mendung menutupi wajahnya. Dia berusaha menahan air matanya karena ibunya tidak bisa berobat ke sana.
“Ya Allah…, apa yang harus Lifa katakan pada ibu?” Air matanya semakin deras karena begitu sedihnya.
Klik. Telepon itu dimatikan oleh perawat wanita itu. Telepon genggam itu diletakkan Lifa di tempatnya kembali. Tiba-tiba.
“Kakak, kakak kenapa menangis, kakak dimarahi Bu guru ya?” tanya Arin, adik bungsu Lifa.
“Tidak Dek hanya sedih sedikit saja,” jawab Lifa tenang, supaya adek bungsunya itu tidak tahu apa yang membuatnya sedih. Karena kalau adiknya yang kecil itu tahu, dia akan ikut campur apa yang menjadi masalah saat ini. Apalagi dia orangnya cepat memahami suatu perkara. Lifa menuju kamar ibunya. Ibunya sudah tertidur di ranjang yang kayunya sudah rapuh di makan usia.
“Bu.., Lifa mohon maaf ya,” Lifa memegang tangan keriput ibunya, raut wajah Lifa berubah seperti dilanda musibah yang berat.
Ya memang Lifa sedih, tapi dia juga cemas kalau ibunya terkena corona karena saat menelepon mbak perawat tadi bilang kalau harus menunggu pasien yang terkena corona lain sembuh atau menunggu konfirmasi pasien yang lain. Masalahnya baru beberapa menit yang lalu sebelum adek menelepon sudah masuk sekitar empat orang. Dua karantina dan dua orang lagi pindahan rumah sakit lain.
Apa yang dibilang mbak perawat tadi semakin menggoncangkan hati Lifa. Ditambah lagi gejala penyakitnya sama seperti gejala corona. Lifa berusaha menyimpan kesedihannya, supaya orang di sekitar Lifa tidak merasa cemas bila melihat Lifa sangat muram apalagi adek-adeknya yang sangat perhatian orangnya.
Malam itu sunyi. Hanya terdengar tangis Lifa yang berpacu dengan angin malam. Saat itu, Lifa tengah berkhalwat kepada Sang Pencipta, Allah SWT. Lifa tengah mengadu kepada Allah selesai salat tahajud. Keesokan harinya. Pukul 07.00 wib pagi, mentari menyapa dengan lembut. Tiba-tiba terdengar panggilan telepon.
“Kring… kring… kring…!”
Telepon genggam di rumah Lifa kembali berdering. Lifa menuju tempat telepon genggam, dan mengangkat telepon itu.
“Assalamualaikum. Mohon maaf ini dengan siapa ya?” Tanya Lifa.
“Wa’alaikumussalam. Apakah ini benar dengan Dek Lifa?” Seorang wanita menjawab, dan juga kembali bertanya.
“Iya saya Lifa, ada apa ya Mbak?” tanya Lifa.
“Saya perawat yang kemarin adek telepon. Ini Dek ada kabar gembira Dek. Begini, ibu Adek bisa berobat ke Rumah Sakit Asy-Syifa. Kamar kosong hanya ada dua karena dua orang sudah dipindahkan lagi ke Rumah Sakit lain. Mau dijemput pukul berapa Dek?” Mbak perawat itu seperti bahagia karena bisa lagi melayani pasien yang butuh bantuan.
“Alhamdulillah, terima kasih Mbak. Nanti dijemput sekitar pukul 08.45 wib ya Mbak. Saya beres-beres dulu sama menunggu ibu selesai mandi ya, Mbak.” Lifa senangnya bukan main. Seperti mendapat kado ulang tahun saja, karena ibunya boleh berobat ke Rumah Sakit Asy-Syifa.
Alhamdulillah. Setelah Lifa beres-beres dan menunggu ibunya selesai mandi, langsung menelepon ayahnya yang sudah pergi ke kantor terlebih dahulu. Lifa memanggil dua adeknya yang sedang bermain di halaman rumah, dan menyusul mereka agar cepat mandi. Setelah semua selesai, sudah rapi, bersih, dan harum. Hanya tinggal menunggu ayah yang sedang dalam perjalananan balik ke rumah. Ayah pun tiba, ayah langsung memarkir mobil mini sedannya di halaman rumah.
Pukul 08.45 wib. Terdengar suara ambulance, yang semakin dekat suaranya. Ambulance pun berhenti di depan rumah Lifa. Warga sekampung banyak berkerumunan di depan rumah Lifa. Karena ingin tau apa yang terjadi. Ibu Lifa diangkat dengan tandu oleh ayah dan para perawat lelaki lainnya. Karna ibu tidak bisa turun tangga karena capek, memang di rumah Lifa ada tangga kalau ingin turun. Ibu pun masuk ke dalam ambulance, yang duduk di belakang adalah Lifa, dan dua adeknya yang tengah dan bungsu. Ayahnya mengikuti dengan mobil dari belakang.
Lifa sudah sampai di Rumah Sakit.
“Permisi, numpang lewat.” Seorang perawat yang membawa ibu Lifa numpang lewat kepada orang yang sedang berdiri di depan perawat itu. Lifa mengamati sekeliling Rumah Sakit itu, dokter-dokter memakai alat pelindung diri (APD). Ibu Lifa sudah masuk ruangan yang bacaannya susah dibaca oleh Lifa. Lifa menunggu dengan ayah dan adek-adeknya.
“Maaf Pak, Dek, ini ada masker tolong dipakai ya…” Seorang perawat wanita yang memakai masker menawarkan kepada Lifa, ayah, dan dua adeknya, untuk memakai masker.
“Iya Dek, terima kasih karena sudah memberi tahu kami” Jawab ayah Lifa dengan ramah.
“Iya Pak, terima kasih juga karena sudah patuh dengan peraturan kami.” Saat perawat itu mau pergi Lifa langsung menyahut.
“Mbak! Mbak perawat yang menelepon saya tadi pagi ya?”
“Maaf dari mana Adek tahu?” Perawat itu keheranan. Padahal, dia memakai masker.
Lifa tersenyum.
“Dari suara Mbak. Suara Mbak sama dengan suara seorang perawat yang menelepon saya kalau ibu saya bisa berobat ke sini.” Jawab Lifa santai, seperti orang sok tahu.
“Apakah nama Adek, Lifa?” Tanya Mbak perawat itu lagi.
“Iya Mbak, saya Lifa. Maaf Mbak kalau boleh tahu nama Mbak siapa ya?” Sebenarnya Lifa agak linglung bertanya seperti itu, tetapi dia sangat kepo maksimal.
“Oh…, iya Mbak juga lupa memberi tahu nama Mbak. Nama Mbak, Zulaikha Nevi Alia Putri. Biasanya Mbak dipanggil Mbak Zulaikha.” jawab Mbak perawat itu.
Tiba-tiba terdengar panggilan.
“Dipanggil Pak Ali Jamal! Tolong keruangan Uni Hanifah sekarang juga terima kasih.” Terdengar panggilan dari mikrofon memanggil ayah untuk ke ruangan tempat ibu dicek.
“Kalian tunggu di sini saja ya, ayah ke tempat ibu dulu.” Ayah Lifa setengah berlari.
“Ayah Arin ikut!!!” Arin meneriaki ayahnya tetapi sudah terlambat ayah mereka sudah menjauh dari mereka. Sambil menunggu ayah, Lifa menjaga adik-adiknya di ruang tunggu. Walau lifa tahu di kepala kedua adiknya itu banyak pertanyaan, tapi Lifa berharap agar mereka saat ini tidak banyak bertanya.
Sementara itu, di tempat ayah.
“Apa, yang benar Dok…, Astaghfirullah, jadi istri saya harus dirawat ya Dok?” Ayah Lifa terkejut saat mendengar apa penyakit ibu Lifa. Setelah itu Ayah Lifa pun pergi dari ruangan itu dan langsung ke tempat Lifa dan adek-adeknya menunggu tadi.
“Ayah, ibu sakit apa?” Tanya Lifa cemas. Tapi, Lifa kamu jangan beritahu adek-adek mu ya” Ayah berbisik pada Lifa.
“Apa Yah?”
“Covid 19 Lifa, positif Lif.”
Ayah menjawab pelan dengan raut wajah sedih dan dibuatnya tegas.
“Astaghfirullah, tadi Lifa di mobil ambulance. Lifa memegang ibu di rumah juga. Arin tadi memeluk Lifa dan … ” Tanpa panjang bicara, Lifa langsung dibawa ayah ke ruangan tadi. Dokter langsung mengecek kesehatan Lifa dan adek-adeknya. Ayah juga di cek.
“Alhamdulillah, semuanya aman tidak ada kendala kecuali adik ini” Dokter itu menunjuk Titin adik tengah Lifa.
“Tin, kamu tadi ngapain aja sama ibu?” Lifa bertanya.
“Tadi Titin memeluk ibu, bicara dengan ibu, dan lain lainnya.” Memang Titin tugas sehari-harinya menolong setengah pekerjaan rumah dengan ibu setengah lagi Lifa yang mengerjakannya.
Titin langsung dibawa ke ruang karantina. Betapa sedihnya hati Titin harus empat belas hari sendirian di sana tak bisa berjumpa ibu, ayah, Arin, dan Lifa. Begitu juga dengan ibu dikurung sendirian di ruang isolasi. Entah berapa lama harus di situ. Ya Allah…, kasihannya keluarga ini. Harus berpisah, ayah kerja siang malam tiga kali sepekan harus lembur. Lifa sekolah, tapi tak tentu siapa yang harus mengantar dan menjemput nya, biasa ibu yang mengantar dan menjemputnya karena tak mungkin ayah yang mengantar dan menjemputnya, ayah pukul 06.00 sudah harus tiba di kantor. Arin, kalau Lifa sekolah, dia sendiri di rumah. Dia belum sekolah.
*****
Lima belas hari kemudian. Di pagi yang begitu cerah.
“Kring…! Kring…! kring…!” Terdengar kembali suara telepon genggam Lifa berdering, yang sudah berbulan-bulan tidak berbunyi. Karena sepinya, rumah tiada ibu dan Titin. Ayah kadang-kadang selalu dipanggil ke rumah sakit setelah pulang kerja kembali ke rumah malam. Bisa dibayangkan begitu sedih keluarga itu. Lifa terpaksa membawa Arin ke sekolahnya, ditambah lagi sekolahnya jaraknya jauh harus berjalan kaki ke sana. Ya Allah…, sedih sekali.
“Halo! Assalamu’alaikum, mohon maaf ini siapa?” Tanya Lifa yang mengangkat telepon.
“Waalaikumssalam Dek Lifa. Saya Mbak Zulaikha, perawat Rumah Sakit Asy-Syifa,” Jawab Mbak Zulaikha itu.
“Oh…, Mba Zulaikha. Ada apa Mbak?” tanya Lifa.
“Kabar gembiranya untuk Adek. Ibu Dek Lifa sudah sembuh. Insya Allah, dua hari lagi ibu sudah bisa kembali ke rumah. Kalau dengan Dek Titin, masih menunggu hasilnya positif atau negatif. Sebenarnya, sudah lama menunggu hasilnya, tapi banyak tenaga medis yang kecapekan jadi sering terlupa.” Itulah berita yang disampaikan oleh Mbak Zulaikha.
“Alhamdulillah, terima kasih Mbak. Saya menjemput ibu. Kalau adik saya Titin sudah keluar hasilnya, baru jemput ibu supaya tidak bolak-balik, Mbak. Tolong kabarkan kepada ibu seperti yang Lifa bilang tadi dan juga tolong sampaikan salam dari murid-muridnya. Mereka bilang rindu belajar dengan Ibu Hanifah.”
Di sisi lain, Mbak Zulaikha sangat terharu dengan cerita yang Lifa sampaikan tadi. Betul kan. Anaknya saja rindu berat dengan seorang ibu yang sangat mencintai mereka. Titin saja yang dirawat juga begitu rindu, apalagi murid-muridnya yang diajari Bu Hanifah di sekolah itu.
Mba Zulaikha sudah tidak bisa menahan air matanya yang dari tadi mendung berat.
“Iya Dek Lifa, Mbak akan sampaikan semua yang Dek Lifa katakan.” Mbak Zulaikha menjawab seperti tentara yang siap mengorbankan nyawanya. Lifa pun senang karena bisa berjumpa dan berkenalan dengan Mbak Zulaikha, orangnya ramah dan baik kalau orang tersinggung selalu Mbak Zulaikha merasa bersalah. Mbak Zulaikha juga senang bisa berkenalan dengan lifa. Lifa itu penyabar makanya dia sangat dicintai ibunya.
“Terima kasih ya Mbak Zulaikha. Tolong doakan Dek Titin saya supaya hasilnya negatif karena kami semua sangat merindukannya.”
“Amin, semoga keluarga Dek Lifa tetap bahagia ya. Jangan terlalu bersedih ya.” Mbak Zulaikha memberi support kepada Lifa.
“Insya Allah, Mbak Lifa akan berusaha agar bahagia. Terima kasih sekali lagi ya Mbak atas support-nya.” Lifa berterima kasih kepada Mbak Zulaikha sekali lagi. Setelah beberapa hari menunggu hasil Titin positif atau negatif, ditemukan Titin negatif dan setelah dapat hasilnya Titin dan ibu masih menginap di rumah sakit dua atau tiga hari. Selang beberapa waktu setelah Titin dan ibu menginap dua atau tiga hari di rumah sakit. Baru setelah itu Lifa dan ayahnya menjemput Titin dan ibu ke Rumah Sakit.
Saat tiba di rumah sakit. Ayah Lifa, Arin, Lifa dicek suhunya dan mencuci tangan, baru setelah itu ayah, Arin, Lifa boleh masuk. Saat masuk pada setiap tangga dan lantai satu lantai dua di mana-mana dijaga dengan ketat.
“Maaf Pak, di mana kamar Bu Hanifah Khairunnisa” Ayah Lifa bertanya dengan satpam penjaga tangga tadi.
“Apakah Bapak keluarganya?” Bapak satpamnya malah bertanya kembali dengan ramah.
“Iya Pak. Saya suaminya dan ini anak saya yang tinggi ini namanya Lifa. Dia anak sulung saya. Yang pendek, Arin anak bungsu saya. Sebenarnya mereka bertiga saudara, tapi yang tengah bersama ibunya di ruangan ibunya dia juga diduga, tapi hanya dugaan dokter jadi waktu itu terpaksa juga harus tinggal di sini,” jawab ayah Lifa panjang lebar.
“Oh…, begitu ya Pak, kamar Bu Hanifah di atas lantai dua nomor 245 nanti bilang saja.”
“Saya sudah jelaskan semuanya ke satpam penjaga lantai satu tadi.” Seperti itu saja Pak. Terima kasih ya Pak, silahkan naik.” Pak satpam penjaga tadi membolehkan ayah Lifa, Arin, dan Lifa.
“`Ayah pun naik ke atas dan berbincang sedikit dengan satpam penjaga tangga lantai dua dan menjelaskan apa yang disebut satpam penjaga lantai satu tadi, satpam penjaga lantai dua pun membolehkan ayah Lifa, Lifa, dan Arin masuk kamar 245 dan bertemu ibu dan Titin.
“Ayah!!!” Titin berteriak memanggil ayahnya tercinta.
“Ibu!!!” Lifa dan Arin bersorak dan langsung loncat ke ibu dan memeluk ibu.
“Alhamdulillah, kita berkumpul kembali, ayo pulang jangan lama-lama.”
Lifa pun pulang ke rumahnya bersama keluarganya dengan bahagia.
Biodata Penulis:
Alhimmatul ‘Aliyah Radhwa dilahirkan di Padang, 23 Maret 2009. Anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Ali Usman dan Ibu Gusmardina. Penulis tinggal di Komplek Perguruan Islam Ar Risalah Air Dingin RT. 001 RW.009 Kel. Balai Gadang Kec. Koto Tangah Kota Padang Sumatera Barat. Nomor telepon 081363046547, Email ali.usman252@gmail.com.
Pendidikan Moral dalam Karya Fiksi, Ulasan Cerpen “Ketika Lifa Sabar”
Oleh:
Azwar Sutan Malaka, M.Si.
(Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UPN Veteran
Jakarta dan DPP FLP Wilayah Sumatera Barat)
Karya sastra pada suatu bagian dalam fungsinya, bisa berperan sebagai media pendidikan moral bagi pembacanya. Hal ini karena karya sastra bisa menyelusup ke dalam relung hati manusia paling dalam. Dengan kemampuan seperti itu, tidak salah jika karya sastra menjadi sarana pembentukan moral bagi masyarakat. Banyak pendapat tentang apa yang disampaikan di atas, salah satunya Fawziah (2014) dalam tulisannya yang berjudul “Pengajaran Apresiasi Sastra Sebagai Sarana Membentuk Moral Anak Bangsa” menyampaikan bahwa sastra harus mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan tentang kehidupan manusia.
Selain itu, pendapat lain juga menyebutkan bahwa karya sastra amat penting bagi kehidupan rohani manusia. Sastra menjadi makanan jiwa para pembacanya. Oleh karena itu, sastra adalah karya seni yang bertulang punggung pada cerita, maka mau tidak mau karya sastra dapat membawa pesan atau imbauan kepada pembaca (Djojosuroto, 2006).
Pendapat lain menyebutkan bahwa pesan-pesan dalam karya sastra penting dan menjadi suatu hal yang akan disampaikan pada pembaca. Budi Darma, (1984) menyebut pesan dalam cerita dinamakan moral atau amanat. Dengan demikian, sastra juga bisa dianggap sebagai sarana pendidikan moral bagi pembaca. Moral sendiri diartikan sebagai suatu norma, suatu konsep tentang kehidupan yang dijunjung tinggi oleh sebagian besar masyarakat tertentu, namun kepentingan moral dalam sastra sering tidak sejalan dengan usaha untuk menciptakan keindahan dalam karya sastra.
Walaupun ada perdebatan bahwa tidak semua pengalaman mental dalam karya sastra dimaksudkan untuk memberikan pesan moral, namun menurut Djojosuroto (2006), meski moral yang disampaikan pengarang dalam karya sastra biasanya selalu menampilkan pengertian yang baik, tetapi jika terdapat tokoh-tokoh yang mempunyai sikap dan tingkah laku yang kurang terpuji atau tokoh antagonis, tidak berarti tingkah laku yang kita ambil harus seperti tokoh tersebut.
Pada Kreatika edisi minggu ini, redaksi menayangkan sebuah cerpen berjudul “Ketika Lifa Sabar”. Cerpen ini ditulis oleh seorang siswa di salah satu sekolah di Kota Padang bernama Alhimmatul ‘Aliyah Radhwa. Ketika membaca cerita ini, hal pertama yang perlu disampaikan adalah selamat kepada penulis yang sudah menyelesaikan cerita pendek ini. Cerita pendek ini sarat dengan pesan-pesan moral terhadap pembaca agar bersabar dalam menghadapi segala persoalan, bahkan kasus di dalam cerita ini harus bersabar ketika orang tua menderita Covid 19 yang menakutkan.
Cerpen dikisahkan dengan lancar dengan bahasa yang sederhana sehingga mudah dipahami oleh pembaca. Gaya bahasa yang renyah membuat pembaca dapat membaca cerita yang mengalir seperti air di sungai. Namun, sebuah cerita perlu disampaikan beberapa kekurangan dalam cerpen ini. Kekurangan-kekurangan itu bukan membuat cerita tidak maksimal untuk dinikmati oleh pembaca.
Cerpen “Ketika Lifa Sabar” ini menceritakan bagaimana pengalaman seorang anak sulung yang menemani ibunya yang sedang sakit terinveksi virus corona. Cerita menggambarkan bagaimana perjuangan keluarga tersebut mendapatkan tempat perawatan untuk ibu mereka. Cerita biasa-biasa saja dan berjalan datar tidak memiliki puncak masalah yang bisa memancing emosi pembaca. Sebagaimana sebuah cerita yang ditulis oleh penulis pemula, cerpen ini tidak memiliki konflik sehingga terkesan hanya sekadar “bertutur” saja.
Dari segi logika cerita, cerita pendek itu juga harus jelas sebab dan akibatnya. Sebuah kejadian yang digambarkan pengarang cerpen ini belum cukup untuk menggambarkan sebab akibat tersebut dalam fiksi. Contohnya ketika Lifa menghubungi rumah sakit, hanya dengan menyampaikan bahwa ibunya demam panas, perawat langsung mengatakan bahwa rumah sakit penuh karena pasien Covid 19. Seharusnya pengarang menyampaikan ciri-ciri atau gejala lain yang memperkuat dugaan bahwa ibunya terserang virus Covid 19. Bisa saja ditambahkan ibunya demam panas yang tinggi, ia batuk-batuk, hilangnya indera pengecap di lidahnya, dan ciri-ciri lainnya.
Pertanyaan yang juga muncul dalam cerpen ini adalah ketika perawat sudah menyampaikan bahwa pasien sudah bisa dirawat di rumah sakit, mengapa harus menunggu ambulance dari rumah sakit? Bukankah ayah tokoh memiliki mobil yang bisa digunakan untuk mengantar pasien ke rumah sakit? Hal-hal sederhana seperti di atas perlu diperhatikan oleh penulis. Sebagai calon pengarang, yang masih belajar menulis hal tersebut bisa dimaklumi. Namun, harus menjadi catatan bahwa ke depan hal ini harus diperbaiki.
Persoalan lain dalam cerita “Ketika Lifa Sabar” ini adalah pengarang kurang bisa menggambarkan realitas dengan baik. Ketika seseorang menderita Covid 19, Satgas Covid yang sudah dibentuk memberlakukan pasien sejak dari rumahnya. Artinya, ketika Satgas datang ke rumah penderita Covid 19, Satgas akan memperlakukan pasien dengan protokol Covid 19. Tidak ada lagi keluarga yang menunggu pasien di ambulance tanpa prosedur kesehatan yang baik, seperti tidak menggunakan masker contohnya.
Terakhir, sekali lagi selamat kepada penulis yang sudah berhasil menyelesaikan cerita pendek ini. Kita menyadari bahwa tidak mudah untuk menulis cerita fiksi yang berlatar realitas keseharian seperti yang dihadirkan dalam cerita pendek ini. Selanjutnya, untuk belajar, penulis sebaiknya lebih banyak membaca karya-karya cerpen yang bertema serupa. Semoga ke depan, penulis bisa semakin produktif dalam berkarya. (*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id Kolom ini disediakan untuk penulis pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post