Palasik Bermain Ludo
Ter-toncik satu, ter-toncik dua, ter-toncik tiga…
Semua masuk ke dalam rumah kembali!
Dia tukang toncik!
Dia curang!
Dia bisa menyulap dadu!
Dia, berdiri di depan gerbang sekolah
Membawa lolipop berwarna cerah
Mengajak main ludo
Sekali melepas anak panah
Ia dapatkan jiwa mereka yang kosong
Senyuman mereka yang menatap lolipop
Mereka mengikuti langkahnya
Berjejer di belakangnya
Memasuki kertas ludo dan menunggu keluar rumah
Lihatlah dadu itu!
Ter-toncik satu, ter-toncik dua, ter-toncik tiga…
Semua masuk ke dalam rumah kembali!
Detak jam berhenti. Membeku dalam satu dimensi yang jauh.
Gugu. Gelap. Hening. Begitu dalam.
Mereka terus mengadu nasib dengan dadu
Di kota kertas ludo ini, mereka tak pernah selesai
Sebab tak pernah sampai ke menara
Ter-toncik satu, ter-toncik dua, ter-toncik tiga…
Semua masuk ke dalam rumah kembali!
Kami letih, ujar mereka! Kami ingin keluar!
Dia mengatakan, hanya ada satu jalan untuk setiap rumah.
Siapa pun tak bisa keluar jika tak dapat dadu enam
Siapa pun tak bisa selesai, sebelum sampai ke menara.
Sayangnya, jalan menuju menara yang hanya beberapa petak
Menjadi begitu jauh! Di-toncik!
Ter-toncik satu, ter-toncik dua, ter-toncik tiga…
Semua masuk ke dalam rumah kembali!
Di suatu dimensi yang jauh.
Gugu. Gelap. Hening. Bagitu dalam.
Mereka terjebak!
Busan, Januari 2022
Anak Si Ngiang-Ngiang Rimbo
Seperti apa anak si ngiang-ngiang rimbo, wahai Amak?
Seperti apa suaranya, wahai Ayah?
Aku berlari ke dalam rimba, mencari sumber mata air
Barangkali di sana, ada rahim rimba
Seperti cerita orang sebalik kampung
Banyak orang tua yang dapat anak dari rimba
Dilahirkan oleh rimba
Aku berlari ke dalam rimba, wahai Amak.
Malamku jatuh di bawah tengkuk,
Jika tak ada cahaya malam ini
Izinkan aku terlambat sampai di rumah
Sehabis senja, seiring suluah yang dilepas
Barangkali di rimba, aku bisa melihatnya terbang kian kemari
Barangkali di rimba, anak-anak pun menyapanya
Setelah keluar dari rahim alam
Barangkali di rimba, aku bisa menghalaunya sebelum sampai ke atap rumah
orang lain
Aku barangkali di rimba, aku bisa memadamkannya.
Barangkali di rimba, aku mendapat jawaban.
Seperti apa anak si ngiang-ngiang rimbo, wahai Amak?
Seperti apa suaranya, wahai Ayah?
Aku membaca namanya di urat leher orang-orang itu
Dengan mata merah berbara api, berujar, Anak dapek dari rimbo!
Aku bermalam di rimba, wahai Ayah.
Subuhku jatuh di tali pusar,
Yang terikat dengan akar baringin sonsang
Malam tadi, aku tak melihat ada suluah yang dilepas. Entah mengapa.
Aku masih bertanya, seperti apa rahim rimba!
Busan, Januari 2022.
Kuku Bawang Merah
Masih memesan Vanilla Latte dingin?
Kali ini tidak. Bukan karena winter yang berbisik di daun telinganya
Tetapi karena bara api memadam di suatu malam, setelah ratusan tahun,
Setelah para pengembara keluar dari lubang hidungnya
Meninggalkan kepalanya, sebab api unggunnya padam.
Pengembara mencari perapian di ujung kepala lain.
Mungkin pindah ke kepala Nawang Wulan
Atau ibunya Malin Kundang.
Ia, duduk di suatu sudut mengingat siampa
Yang semalam muncul dari kuku saudari tirinya
Ia mengira, tak pernah ada pohon rindang di sana
Tak ada beringin, tak ada rumah tua
Bagaimana bisa siampa berdiam di sana? Sejak kapan?
Siampa pertama muncul dari kuku tangan jari kelingking kiri
kemudian diikuti kuku kaki jari kelingking kiri
Ia tak hapal mantra, tak pernah belajar
Ia hanya ingat lantunan masa kecilnya
Siampa membaca pikirannya ketika mata mereka bertatapan
Siampa kuku tangan bertanya kepada siampa kuku kaki
Sambil berdendang: Ma ancak iko pado iko, ancak iko!
Siampa kuku tangan jari kelingking melompat ke kuku jari tengah
(pilihan akhir lirik lantunannya)
Mereka bernyanyi lagi. Kali ini, siampa di kuku kaki pun melompat ke kuku lain
Mereka bernyanyi lagi!
Sepanjang malam! Tiga puluh tiga kali sekali putaran permainan!
Sejak malam itu, api unggun di kepalanya padam!
Pada subuh yang hening, para pengembara pun keluar dari lubang hidungnya
Bunyi langkah kuda mereka berdegub kencang di dadanya
Entah angin dari mana yang masuk ke lubang telinganya
Mengalir terus ke atas dan mematikan semua api
Celakanya, banyak yang tidak baik-baik saja di luar tubuhnya
Barangkali kau dipenuhi bara api (setelah ratusan tahun),
Tetapi mereka, dimensi yang tak berpenghuni entah sejak peradaban apa
Yang lama diam tertinggal
Yang reyot dimakan zaman
Yang bersarang laba-laba
Yang menunggu rubuh disapa puting beliung
Ia, duduk sendiri di kafe itu, memesan matcha latte hangat
Sebab kepalanya mulai dingin.
Busan, Januari 2022
Biodata Penulis:
Reno Wulan Sari merupakan Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas dan Dosen Tamu di Busan University of Foreign Studies, Korea Selatan. Buku Kumpulan cerpen tunggalnya telah terbit dengan judul Catatan Pertama pada tahun 2018.
Discussion about this post