Trivia
aku diam saat mendengar mereka bilang putih pada apa yang kulihat hitam
lidahku menjalar saat mencecap manis asin cawan mereka
mataku berlarian saat membaca kertas yang mereka tulis
tubuhku gesit melakukan apa yang mereka sepakati
tanganku galir saat mereka menuntunku ke lubang kelinci
hatiku dimiliki mereka yang menjadikan uang tuhannya
telingaku merekah lebar mendengar perintahnya
kakiku beku saat menaiki mobil yang mereka kendarai
mereka bilang aku melakukan hal yang baik
tapi mengapa terasa seperti Bonnie dan Clyde?
ragaku tenang saat mereka mengajariku menggenggam arang
nyawaku senang saat mereka mengajariku curang
jiwaku bersorak saat mereka memenangkan pengkhianatan
batinku bersulang saat mereka menyiram bensin pada api rumahku
Bekasi, 2021
Juvenil
mencintainya bagai mengendarai mobil baru sebelum jatuh ke jurang
mengingatnya seperti terjun bebas tanpa paralayang
kehilangannya bagai malam buta tanpa kunang
melupakannya seperti menahan waktu agar tak berdentang
kau tunjukkan tempat yang tak bisa kusinggah dengan orang lain
kau ajarkan nada yang tak bisa kudengar dengan orang lain
kau tak bisa bilang “kuat” tanpa-“ku”
pun, bajuku tak pernah “muat” tanpa-“mu”
hatiku adalah bejana yang kau jatuhkan
plester mustahil sembuhkan luka tembak
meloloskan diri dari kejaran ombak
keretaku raib oleh tangan perompak
bayangmu di kaca kini melangit
kau harus tahu, musik terapik tak pernah lahir
kisah cinta terbaik sepanjang masa telah mati
menapak jejak Peter dan Wendy
Bekasi, 2021
Dendam Hamlet
dendam adalah Hamlet yang memeluk angin
Hamlet yang mengejar bayangan
Hamlet yang menangkap air dengan jaring
Hamlet yang menyayat dengan pisau karatan
Dendam adalah Hamlet tanpa nyawa
helm tanpa kaca
mobil tanpa supir
bui tanpa sipir
dendam bagai TV tanpa antena
bagai pertandingan tanpa juri di arena
bagai memutar film tanpa pirsawan
bagai memainkan catur tanpa lawan
dendam adalah Hamlet yang berperang tanpa zirah dan pedang
menelan racun hingga geming
menyisa raga dalam hening
Bekasi, 2021
Biodata Penulis:
Alya Rekha Anjani, pemakan yang ngebut, tapi nggak gendut.
Ia merupakan mahasiswi Jurusan Pendidikan Agama Islam di UNISMA Bekasi.
Kegetiran Puisi
Oleh: Ragdi F. Daye
(buku terbaru yang memuat puisinya Sebuah Usaha Memeluk Kedamaian, 2021)
dendam adalah Hamlet yang berperang tanpa zirah dan pedang
menelan racun hingga geming
menyisa raga dalam hening
Acep Zamzam Noor dalam bukunya Puisi dan Bulu Kuduk (2021) mengungkapkan bahwa menulis puisi tak sesederhana buang ingus di trotoar. Menulis puisi butuh kekhusukan, penghayatan, pengendapan, dan pendalaman. Menulis puisi adalah mencipta, jadi harus serius, khusuk, dan jelas pertanggungjawabannya. Ide atau ilham yang muncul dari alam, dari lingkungan, dari kehidupan, dari realitas sosial dan politik, dari bacaan, atau dari suasana perlu diolah terlebih dulu sebelum dijadikan karya. Tak bisa sembarang ditulis tanpa proses pengendapan dan perenungan. Seperti halnya tubuh yang butuh makanan bergizi, untuk dapat asupan materi yang berkualitas sebagai bahan menulis puisi, seorang penyair perlu banyak membaca, baik membaca buku maupun membaca alam dan kehidupan sehingga dapat melahirkan karya yang bernas.
Karya puisi yang bernas biasanya tidak sekadar enak dibaca, namun juga mampu memancarkan kesan khusus yang merasuk hingga ke batin pembaca, yakni daya pukau untuk membangkitkan ingatan, pikiran baru, emosi, kesadaran, dan nurani. Puisi-puisi tersebut tak akan lalu sekali baca namun bergaung-gaung dalam benak seperti pengalaman pahit dan indah yang sulit dilupakan.
Mengawali tahun 2022 ini, Kreatika memuat tiga buah puisi dari Alya Rekha Anjani. Ketiga puisi dara Bekasi ini berjudul “Trivia”, “Juvenil”, dan “Dendam Hamlet”.
Puisi pertama berjudul “Trivia”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata trivia adalah kumpulan benda, informasi, fakta, dan sebagainya yang tidak penting. Terasa ironis untuk kata ‘trivia’ yang bunyinya bernuansa riang dan cantik ternyata menyandang arti ‘tidak penting’. Apakah puisi pertama Alya ini sesuai makna dari judulnya? Ayo kita sigi! Puisi ini dibuka dengan larik-larik berikut: ‘aku diam saat mendengar mereka bilang putih pada apa yang kulihat hitam/ lidahku menjalar saat mencecap manis asin cawan mereka// mataku berlarian saat membaca kertas yang mereka tulis/ tubuhku gesit melakukan apa yang mereka sepakati/ tanganku galir saat mereka menuntunku ke lubang kelinci’.
Baris-baris tersebut menyuarakan reaksi ‘aku’ lirik atas kondisi yang dihadapinya. Ada kesan tidak senang, bingung, tunduk, dan penolakan. Bukan sesuatu yang menunjukkan antusiasme dan kegembiraan atas keadaan yang merupakan harapan. Meskipun ada sikap ‘aku’ yang seperti aktif pada larik ‘tubuhku gesit melakukan apa yang mereka sepakati’, namun ini bisa sebagai reaksi mekanistis tubuh yang berbuat secara spontan tanpa dorongan hati yang kadang terjadi ketika seseorang berada di dalam kerumunan atau melakukan rutinitas berulang yang menjemukan tetapi sudah dikuasai tubuh sehingga dapat bekerja di luar perintah si pemilik tubuh. Persis seperti mesin, seperti robot.
Aktivitas mekanistis ini dipertegas pada dua larik di bait tiga: ‘hatiku dimiliki mereka yang menjadikan uang tuhannya/ telingaku merekah lebar mendengar perintahnya’. Meskipun ‘aku’ melakukan segala tindakan dengan patuh dan sigap, namun semua itu tidak bersumber dari dirinya. Ia telah berada dalam kuasa ‘mereka yang menjadikan uang (sebagai) tuhannya’. Apa yang digambarkan oleh Alya di dalam puisi “Trivia” ini merupakan refleksi kehidupan industrial yang menempatkan manusia sebagai mesin-mesin yang bekerja kadang tak sesuai dengan kata hati nuraninya. Kesepakatan bisnis yang berpijak pada tujuan mencari untung sebesar-besarnya (menjadikan uang sebagai Tuhan) membuat manusia kehilangan identitasnya sebagai makhluk yang memiliki otonomi terhadap kehidupannya untuk memilah dan memilih mana yang baik.
Antiklimaks dari realitas tersebut disajikan Alya di bait terakhir: ‘ragaku tenang saat mereka mengajariku menggenggam arang/ nyawaku senang saat mereka mengajariku curang/ jiwaku bersorak saat mereka memenangkan pengkhianatan/ batinku bersulang saat mereka menyiram bensin pada api rumahku.’ Orang-orang yang ditaklukkan tersebut akhirnya menjadi trivia, kumpulan yang tidak penting, yang bisa dikontrol, dikendalikan, dihancurkan, dipakai atau dibuang sesuka hati penguasanya, seperti kerbau yang telah dicucuk hidungnya. Puisi yang getir sekali!
Ada pesona unik pada puisi-puisi Alya, sensasi pahit yang menarik untuk terus ditelusuri sampai di mana ujung sakitnya. Ada jejak-jejak luka dalam imaji Alya yang terus berlanjut pada puisi kedua berjudul “Juvenil” yang lagi-lagi paradoks. Judul yang kedengaran indah seperti nama bunga (daffodil) ternyata di batin puisi ada teror psikologis yang menggidikkan. Bayangkanlah imaji ini ‘mobil jatuh ke jurang’, ‘terjun bebas dari langit tanpa parasut’, ‘tersesat di kegelapan malam’, dan ‘bunyi dentang jam’ di bait ‘mencintainya bagai mengendarai mobil baru sebelum jatuh ke jurang/ mengingatnya seperti terjun bebas tanpa paralayang/ kehilangannya bagai malam buta tanpa kunang/ melupakannya seperti menahan waktu agar tak berdentang’.
Secara terminologi, juvenil (dilafalkan ju·ve·nil) berarti muda, masuk golongan pemuda; terjadinya semasa masih muda; atau berkaitan dengan orang muda, biasanya di bawah umur yang masih dalam wajib belajar. Pemilihan judul ini menyiratkan pengertian tentang masa muda yang labil dan bergolak, penuh dengan hal-hal tidak bijak yang dapat menimbulkan penyesalan di kemudian hari karena menurutkan jiwa muda yang menggebu-gebu. Akhirnya, meninggalkan kekacauan yang diungkapkan dalam larik ‘hatiku adalah bejana yang kau jatuhkan’. Bejana yang jatuh akan pecah, rusak, tak akan utuh lagi. Lalu Alya menulis ‘kau harus tahu, musik terapik tak pernah lahir/ kisah cinta terbaik sepanjang masa telah mati’.
Ada sesak dan gulana yang dilampiaskan Alya melalui puisi-puisinya, entah disadari atau tidak. Pembaca yang pernah mengalami kegundahan yang sama tentu akan merasakan pedihnya, mengendus aroma getirnya sambil mematut-matut pengalaman hidup sendiri.[]
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini disediakan untuk penulis pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.