Cerpen: Edna. S
Sepekan lalu kau berjumpa dengan kawan lamamu. Dia akan akan melangsungkan pernikahan sederhana. Engkau diundangnya sekaligus digandengi pertanyaan tentang bagaimana pun kamu harus mencari pendamping hidup. Kau pun mengerti, untuk wanita yang berumur sepertimu sudah patut untuk berinai dan melepas masa lajang. Undangan itu juga sudah mencantumkan nama pasangan yang ditulis khusus untukmu, partner.
Baru beberapa bulan ini, ibumu menggerutu tentang listrik yang mahal, harga gambir yang ambruk, dan harga getah karet yang tak kunjung naik sekaligus masalah rumah tangga beberapa orang kakakmu. Ibumu juga menceritakan bagaimana teman-teman seperjuanganmu sudah mendapatkan pekerjaan yang bisa disebut kepada orang kampungmu. Sesekali, ibumu menghirup napas panjang dan mendehem atau bertanya hal yang sangat sulit kamu jawab. Tiada dayamu untuk menjawab list pertanyaan yang digandrungi ibumu. Alasan inilah yang membuatmu enggan untuk pulang kampung.
Kamu bukan sulit mendapatkan jodoh, tetapi teguran mereka terkadang membuah pada rutinitas otakmu. Kamu lebih banyak merenung dan bermenung. Lebih banyak mandap diri dari keramaian. Lebih lagi, takut tidak mampu mencari jawaban sekarung goni pertanyaan. Sebagai alasan, kamu masih sibuk mencari kerja agar pertanyaan tentang jodoh bisa kamu elak. Kamu yang bekerja paruh waktu di salah satu kafe kerap menjadi bumerang utama dalam pikiran ibumu. Bekerja hingga larut dengan gelar sarjana.
Ada benarnya, ibumu beralasan karena bersebab. Hatimu mengekang kalimat-kalimat tak baik dan perangkap setan tepat sasaran egoistismu. Kemudian engkau putuskan menuruti mau ibumu karena ibumu menawarkan kalimat. Kalimat yang sangat sering engkau sebut, surga terletak di bawah kaki ibu. Dengan kalimat lain “Ibu ingin kamu di rumah. Membantu masalah dapur dan sumur”. Enggan hatimu untuk berpikir iya. Bibirmu yang sering mengiya setiap kali pelanggan pesan makanan, entah kenapa sulit tiga huruf itu engkau lafalkan.
Lantas, tak ingin menyakiti penderitaannya engkau beranikan diri mengiyakan pinta dan segandrung tantangan, yang akan siap menebas habis mentalmu. Di kampung, tingkat sosialitas tiada batas, masyarakat kampungmu berantusias membuatmu tenar dalam sesaat. Benar saja, sebulan engkau di kampung, engkau sudah dirancah dengan perhatian-perhatian mereka. Kebiasaan mereka yang sangat senang drama di Indonesia berpengaruh pula dengan drama kehidupan mereka. Kamu pun tak pandai lagi memilah mana yang drama asli dan mana drama palsu buatan mereka. Jika engkau tidak sempat hadir dalam pertunjukan drama mereka, engkau sudah pasti menjadi aktor tak tahu diri. Aktor kehilangan dialog.
Persepuluh bulan, engkau tak bisa menampik undangan khusus dari kawan dekatmu. Bagaimana pun, engkau tak punya alasan untuk tidak menyaksikan dan membantu pestanya. Lagi pula, di hari bahagianya engkau tak datang, lantas bagaimana dengan orang yang jauh? Ini semacam cambuk yang menghantam keras dan semacam air keruh yang harus kau buat bening kembali. Berkecamuk sudah pikiran ini. Perhelatan tiga hari itu, berefek pada sakit kepalamu. Setiap engkau berkunjung membantunya, engkau harus sedia pil pereda sakit kepala yang kau sediakan di saku bajumu.
Batinmu tak setegar fisikmu yang kau kemas dalam gaun pesta. Dia remuk, reyot dan hampir kerebeh-tebeh. Engkau juga saksikan detik-detik penyerahan tanggung jawab, ijab-kabul. Ya, tak terasa bulir-bulir bening menyeruak terjun bebas di kedua sisi pipimu. Pada saat itu pula, engkau tak pandai memisahkan ekspresi duka maupun cinta berkawan. Sesekali, kau lirik temanmu yang sudah dibalut dengan gaun pengantin, bertudung putih. Baru pula kau sadar, upacara pernikahan benar-benar menguras emosional dan sakral. Seperti biasa, video berdurasi beberapa menit berhasil engkau rekap. Benar-benarlah!
Sudah alamiah engkau terseret musim pernikahan seperti bulan ini. Apalagi salah satu yang melangsungkan pernikahan adalah karibmu. Lebih pula, keberadaanmu yang sudah menetap di rumah saat ini, tidak ada alasan untuk engkau tidak pergi dari pertanyaan ini, “Kapan menikah?” ini gila! Satu sisi engkau menghamburkan memori lama tentang kedekatan kalian. Di lain sisi, ada pula yang menggelitik. Ya, pertanyaan dari teman-teman yang engkau jumpai di lokasi pesta “Dimana bekerja? Kapan nikah?”Engkau harus sumbat telinga, pura-pura tak tahu dengan maksud yang bertanya. Atau cengengesan tak jelas agar mereka paham suasana seperti ini jangan menimang hatimu untuk bermuram durja.
Pernikahan bukanlah soal cukup umur saja. Banyak yang harus ditinjau lagi, sebelum akad dan nikah dilangsungkan. Tidak semudah berpesta ria selama tiga hari tiga malam. Sudah banyak guru yang tak patut jadi panutan untuk krietria seorang suami untukmu. Tiada pula engkau berpikir untuk menggadis hingga tua. Apalagi, mengatakan tiada laki-laki yang cocok untuk engkau jadikan suami. Ya, untuk apa berdalih? Engkau yang baru lulus dari perguruan tinggi, cukuplah menjadi alasan utama untuk menunda pernikahan. Lebih pula, menikah dengan orang yang tidak tepat, sama saja menghadirkan neraka di dunia. Lantas, bagaimana dengan ibu dan ayahmu yang sudah menua?
“Telingaku sudah berlapis mendengarkan ocehan orang. Gadis tua, belum bersuami. Sejak kawanmu, berarak sepenjang jalan. Sepanjang itulah tanya orang padaku. Pikirlah perempuan sudah tua, susah mendapatkan suami. Cari pulalah jodoh, bawa padaku. Malah ada pula yang menghujam hatiku teramat sakit. Orang katakan, anakku tak pandai mencari calon suami.” Benar-benar menyengat dan meletup-letup semangatmu untuk membantah ujaran ibumu. Namun, dayamu hanya duduk manis dan jika menjawab cukuplah “iya” dan “tidak”. Beribu argumen pembelaan diri liar bebas untuk engkau sebut, tapi diam mendengar lebih baik.
Tidak seindah drama sinetron, yang sering engkau tonton ataupun diputar ulang dengan pemeran pengganti lainnya. Kadang drama seronde di lingkunganmu membuatmu nyaris menjadi orang gila. Ya, apakah kesiapan itu juga tuntutan? Apakah setiap orang tidak berhak ambil andil menentukan kapan dia akan menikah? Kapan dia akan bekerja? Terlalu posesif mereka yang menganggap pernikahan itu adalah tempat selesainya drama seronde mereka. Engkau takkan luput dari pertanyaan beranak, bercucu pula. Kapan wisuda? Kapan bekerja? Kapan menikah? Kapan mendapatkan momongan? Kapan naik haji? Dan entah kapan lagi, yang tak sungkan mereka katakan. Seperti pertanyaan, “kapan kamu mati”.
Ketahuilah kamu tidak akan luput dari pertanyaan orang-orang. Sabarkan, berikan pengertian pada orang tuamu agar tabah. Yakinkan, pertanyaan yang seharusnya engkau luruskan adalah pertanyaan menurut Tuhanmu. Yang urusannya tidak luput dunia akhirat, untuk siapa engkau hidup? Untuk siapa engkau diciptakan? Kepada siapa kamu akan kembali? Jika ada yang menyerempetmu tepat titik tengah kekesalanmu. Jawablah dengan tenang, “Jika engkau bertannya kapan aku menikah? Sudikah kau membiayai semua pesta walimahanku?” Jurus ini ampuh menyumpal mulutnya agar tak bertanya dengan tanya yang membosankan.
Pesan singkat WhatsApps itu nyaris membelalakkan matamu, sejurus engkau diam, “Assalamuaalaikum. Pik, Sabtu depan, kami sekeluarga akan mendatangi rumahmu. Kuharap engkau tak keberatan menerima kedatangan keluargaku. Bisakah aku yang meminangmu dengan bismillah dan niat baik?” Benar-benar merusak gembor dan gembok yang membelenggu pikiranmu. Kamu tak yakin menerimanya atau melengahkan tawaran si pengirim pesan singkat itu. Dia adalah mantan kekasihmu yang sudah lama berkabung atas kematian istrinya.
Penulis :
Edna. S merupakan alumni Universitas Negeri Padang. Berdomisili di Sungai Lundang, Tarusan, Pesisir Selatan, Sumbar. Beberapa cerpen, esai dan resensi pernah dimuat di beberapa media. Ia dapat disapa melalui akun FB @Edna Susanti atau email, ednasusanti121212@gmail.com. WA : 0853-6588-4950.