Alex Darmawan, S.S., M.A.
(Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)
Di suasana hujan gerimis setelah magrib berlalu, saya dan teman-teman pergi makan bersama dalam rangka merayakan keberhasilan dalam menjalankan usaha yang baru kami rintis. Kami duduk berdekatan dengan tempat duduk remaja-remaja di sebuah restoran cukup terkenal di Kota Padang. Mulai dari kami duduk sampai kami selesai makan, para remaja tersebut tidak henti-henti berbicara . Banyak topik yang mereka bicarakan. Bukannya ingin tahu urusan orang lain, tetapi kami tidak nyaman mendengar mereka berbicara dengan banyak menggunakan serpihan-serpihan bahasa, seperti; bahasa Inggris, bahasa gaul, bahasa Melayu Jakarta, dan bahasa daerah. Seakan-akan kami tidak tahu, apakah para remaja tersebut orang Minang atau bukan, Sulit mengidentifikasi identitas kedaerahan mereka. Apakah ini gejala suatu penyakit sosial kebahasaan, yang merefleksikan bentuk identitas baru para remaja kita sekarang?
Penyakit sosial atau dengan nama lainnya patologi sosial adalah ilmu tentang gejala-gejala sosial yang dianggap “sakit” disebabkan oleh faktor-faktor sosial (Kartono, 2011:1). Dalam konteks kebahasaan, patologi sosial tersebut ditemui, baik tingkat nasional maupun lokal. Seakan-akan penyakit sosial kebahasaan tersebut telah melekat dan menjadi bagian dari masyarakat. Untuk tingkat nasional, penyakit sosial kebahasaan itu terlihat dari prilaku berbahasa para politisi, pejabat, artis, aktor, dan akademisi serta masyarakat urban, seperti memasukan serpihan-serpihan bahasa asing, dan terminologi yang tidak pada tempatnya. Fenomena ini masih tinggal dalam ingatan kita tentang Vikinisasi. Dalam banyak kesempatan wawancaranya, Vicky Prasetyo kerap menggunakan serpihan kosa kata asing yang tidak semestinya sehingga sulit dimengerti konteks pembicaraannnya. Selanjutnya, pada tingkat lokal, seperti Sumatera Barat, penggunaan bahasa Indonesia telah merambah ke pelosok-pelosok kampung -bahasa Indonesia dialek Minangkabau.
Sebenarnya, kultur kebahasaan masyarakat kita telah dipengaruhi oleh berbagai media, terutama media televisi. Gaya berkomunikasi sosialita di media televisi kita seakan menjadi contoh gaya berkomunikasinya masyarakat modern. Acara seperti talk show, music show, dan reality show kerap mempertontonkan cara komunikasi masyarakat urban dengan menggunakan serpihan bahasa asing (campur kode). Pandangan yang terbentuk adalah tidak maju, tidak modern, tidak standar, dan belum tampak intelek apabila tidak adanya bahasa asing yang diselipkan- tidak adanya gaya American Style dan gaya bahasa Jakarta. Komunikasi dalam berbagai acara televisi yang penulis sebutkan di atas menjelma menjadi kiblat baru dalam berkomunikasi ala sosialita (baca; Teuku Kemal Fasya, “Bencana Kebahasaan”, Kompas, 28 September 2013).
Dalam kajian ilmu sosiolinguistik, penyakit sosial kebahasaan tersebut di atas telah menjadi bagian dari masyarakat urban atau kota. Kridalaksana (dalam Chaer 2010:3) menyebutkan sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari ciri dan belbagai variasi bahasa, serta hubungan di antara para bahasawan dengan ciri fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat bahasa. Oleh sebab itu, salah satu ciri yang bisa menandakan masyarakat urban adalah dari penggunaan bahasa yang mereka gunakan. Pada masyarakat urban, percampuran budaya lokal maupun budaya dari luar sudah menjadi suatu keniscayaan. Implikasinya, intensitas komunikasi lintas budaya menjadi lebih sering. Serpihan-serpihan kode bahasa dari budaya luar kerap terjadi dan menampilkan fenomema sosial kebahasaan tersendiri di masyarakat urban.
Komunikasi masyarakat urban telah menjadi model komunikasi masyarakat modern. Persentuhan banyak budaya dan pengaruh perkembangan teknologi menjadikan masyarakat urban dipandang lebih maju dan massif. Variasi-variasi bahasa pun akan banyak ditemui, seperti campur kode (campur bahasa), alih kode (alih bahasa), interferensi, jargon, slang, dan lain sebagainya. Hal ini berbanding terbalik dengan masyarakat yang tidak urban atau bisa dikatakan sebagai masyarakat ‘kampung’. Campur kode, alih kode, interferensi, jargon dan slang jarang terjadi. Walaupun, terkadang kita temukan juga. Biasanya, fenomena itu dibawa oleh warga kampung yang pulang dari perantauan atau warga kampung yang mengecap pendidikan di kota.
Dalam konteks lokal Sumatera Barat, penyakit sosial kebahasaan yang terjadinya adalah latah dengan penggunaann bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia merambah ke pelosok kampung di Sumatera Barat. Seakan-akan bahasa Indonesia memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan bahasa daerah. Amak-amak dan apak-apak mulai menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi, bahkan mengajarkan anak atau cucu mereka dengan bahasa Indonesia. Tindakan itu dipandang baik untuk mendidik anak-anak dan cucu mereka berbahasa walaupun terdengar agak aneh bahasa Indonesianya-bahasa Indonesia dialek Minangkabau- namun dipaksakan juga pemakaiannya.
Beberapa tahun ini, program pemerintah Indonesia menggalakan pendidikan karakter dan menggali kearifan lokal guna penguatan identitas bangsa. Dengan demikian, serta-merta bahasa daerah menjadi sarana untuk mengekplorasi kearifan identitas lokal tersebut karena pada dasarnya bahasa daerah merupakan penyangga dan pendukung bagi kebudayaan Indonesia.
Sebenarnya apa yang terjadi di masyarakat kampung sehingga latah dengan penggunaan bahasa Indonesia? Apakah bahasa Indonesia yang mereka gunakan itu merupakan manifestasi dari rasa nasionalisme terhadap bangsa ini? Semuanya patut dipertanyakan. Kalaupun iya jawabannya, patut kita berbangga karena di tengah-tengah kondisi sosial, budaya dan politik yang karut-marut masih terselip rasa nasionlisme terhadap negeri ini. Hal yang menakutkan adalah pandangan yang menganggap bahasa Indonesia memiliki nilai yang lebih tinggi, bahasa daerah dianggap terbelakang, tidak modern, dan ‘kampungan’. Banyak pandangan di masyarakat Minangkabau bahwa bahasa daerah tidak perlu dipelajari karena akan dapat dengan sendirinya. Dengan demikian, lama-kelamaan penutur bahasa daerah-bahasa Minangkabau- akan mulai berkurang, bahkan bisa punah karena pandangan tersebut.
Seharusnya, kita mampu dan cakap dalam memilah-milah bahasa yang kita gunakan. Bahasa yang digunakan harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi sehingga tidak menimbulkan masalah. Kemampuan dan kecakapan memilah-milah bahasa yang patut kita gunakan itu menjadikan kita cerdas dalam berbahasa, terjauh dari konflik dan merekatkan hubungan sosial lebih kuat. Kemudian, pandangan mengenai bahasa Indonesia yang memiliki nilai lebih tinggi dari bahasa daerah harus kita tepiskan karena setiap bahasa tidak ada yang buruk dan terbelakang. Pemilihan bahasa yang kita gunakan itu berdasarkan kepentingan dan keperluan dalam komunikasi sehari-hari bukan karena bahasa itu lebih baik atau lebih prestisius.
Marilah jaga bersama budaya kita dengan mengajarkan bahasa Minangkabau sebagai bahasa ibu (mother of tongue), bukan sebalik menganaktirikan bahasa Minangkabau kepada anak-anak. Bahasa daerah menjadi identitas budaya lokal dan bahasa Indonesia menjadi identitas bangsa. Kedua hal tersebut telah bersinergi dari dulunya dan tidak bisa dipisah-pisahkan atau dihilangkan salah satunya layaknya dua sisi pada mata uang. Semoga saja kita bisa sadar dan sembuh dari penyakit sosial kebahasaan yang kita derita. Wauallahu a’lam bish shawab.
Discussion about this post