Alex Darmawan S.S., M.A.
(Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)
Tulisan ini terilhami dari suatu peristiwa yang terjadi di salah satu daerah Sumatera Barat. Awal cerita, rombongan kami berangkat ke suatu daerah dengan tujuan belasungkawa atas meninggalnya mahasiswa kami karena kecelakaan. Sesampainya di sana, jenazah belum tiba dan kami disambut oleh keluarga duka. Kami dipersilakan duduk sambil menunggu mobil jenazah datang.
Singkat cerita, mobil jenazah tiba beserta rombongan dari Padang, yaitu teman-teman dan keluarga duka. Jenazah disalatkan dan diimami oleh salah seorang dosen. Kemudian, baru disemayamkan. Setelah prosesi pemakaman selesai, kami bersiap akan pulang ke Padang karena hari hampir petang. Ketika akan pulang, keluarga duka meminta kami untuk naik ke rumah dengan alasan hidangan sudah tersedia. Kami semua enggan untuk naik. Rasanya tidak etis kami makan, sedangkan mereka tengah dirundung duka atas kepergian anak kesayangan mereka. Salah seorang keluarga duka mendekati kami dengan berkata, “Mambana Apak-Apak, nayik lah ka ateh rumah! Hidangan alah tasadio. Apak-Apak dan Ibuk-Ibuk alah jauah datang dari Padang tantunyo litak”. Salah seorang dari kami menjawab, “ Eeeh indak baa do Buk, kami alah makan tadi di pajalanan”. Pihak duka membalas dan mendesak, “ Ondeh, jan basa-basi juo Apak jo Ibuk! Kami sangajo masak tadi, capek lah! Mambana ha jo sabaleh kapalo”. Tetap saja jawaban kami sama dan tak bergeming. Akhirnya, dua orang di antara kami naik ke rumah dengan alasan menghargai mereka dan yang lainnya menunggu di luar sambil mempersiapkan keberangkatan.
Apakah pantas kami berbasa-basi dan menolak untuk naik ke rumah dan makan? Sementara itu, hati kami mengatakan tak elok orang berduka kita makan bersama di rumah duka. Takutnya memberatkan dan tambah merepotkan. Dalam konteks seperti itu apakah yang kami lakukan itu basa-basi ataukah bukan basa-basi? Sebenarnya apakah basa-basi itu?
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002: 210) memberikan pengertian basa-basi adalah ungkapan yang digunakan hanya untuk sopan santun dan tidak untuk menyampaikan informasi. Jadi, dalam basa-basi tidak informasi yang dipentingkan, tetapi supaya penutur dan mitra tutur bersedia berbicara satu sama lain, merasa senang dan nyaman satu sama lain, dan sebagainya. Menurut Chaer dan Agustina (2004:16), ungkapan-ungkapan yang digunakan dalam basa-basi biasanya sudah berpola tetap, seperti pada waktu berjumpa, pamit, membicarakan dan menanyakan keadaan keluarga. Ungkapan-ungkapan yang digunakan itu biasanya tidak bisa diartikan secara harfiah, misalnya dalam bahasa Minangkabau ungkapan Ancak hari kini ndak?, baa kaba?. Dalam bahasa Belanda ada ungkapan “Dag” dan ungkapan lainya, yang kesemuanya itu tiada maksud, selain sebagai alat kontak semata.
Lebih lanjut, Arimi (1998: 171) membagi tuturan basa-basi menjadi dua, yaitu basa-basi murni dan polar. Basa-basi murni merupakan ungkapan-ungkapan yang dipakai secara otomatis oleh penutur sesuai dengan kenyataan, seperti Selamat Siang, Selamat Datang Kembali, Selamat Malam, dan lain sebagainya. Sebaliknya, basa-basi polar merupakan ungkapan tuturan yang berlawanan dengan realitas, tuturan yang tidak sebenarrnya untuk menunjukkan hal yang lebih sopan, seperti konteks situasinya A sedang berbincang dengan tamu di teras rumah, pada saat bersamaan tetangga sebelah melintas di depan rumah, A bertutur “ Kama tu? Singgah la lu! dan B menjawab “ Bilo-bilo dih. Iko taburu-buru bana”. Pada tuturan di atas, bukanlah tuturan sebenarnya. Si A menawarkan untuk singgah bukan untuk singgah benar. Begitu juga si B, bukan terburu-buru, tetapi merasa segan ada tamu yang sedang dijamu.
Dari peristiwa tutur basa-basi di atas, penutur dan mitra tutur menggunakan strategi dalam penolakan. Tuturan penolakan ini akan bermuara kepada keharmonisan sebuah hubungan. Terkait dengan cara penolakan masyarakat Minangkabau sangat memperhatikan strategi-strategi bertutur agar hubungan mereka senantiasa harmonis. Strategi ini tergambar dari pilihan linguistik yang digunakan. Strategi ini juga dihubungkan dengan aturan bertutur masyarakat Minangkabau yang disebut dengan Kato Nan Ampek (Revita, 2008). Oleh karena itu, dalam kehidupan kita sehari-hari penggunaan bahasa tidak akan lepas dari basa-basi yang dihubungkan dengan strategi tuturan.
Basa-Basi sebagai Pemelihara Hubungan Sosial
Setiap komunikasi yang dilakukan oleh manusia memiliki fungsi tertentu, yang dapat rangkum dalam fungsi bahasa. Banyak para ahli bahasa menjabarkan mengenai pembagian fungsi bahasa tersebut. Secara umum, fungsi bahasa itu meliputi fungsi informatif, ekspresif, imperatif, puitik, persuasif, dan fatik.
Fungsi imformatif adalah bahasa digunakan untuk menyampaikan informasi kepada mitra tuturnya, misalnya pemberitahuan yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo mengenai pentingnya melakukan vaksinasi guna membangun imunitas kolektif. Selanjutnya, fungsi ekspresif merupakan ungkapan perasaan pemakai bahasa, seperti bahasa yang digunakan oleh orang sedang marah, senang, riang gembira, sedih dan ungkapan perasaan lainnya.
Fungsi imperatif adalah bahasa yang digunakan untuk memberikan perintah kepada orang lain, seperti bahasa yang digunakan oleh satgas covid-19 agar masyarakat menaati protokol kesehatan guna menjaga diri pridadi dan memutus mata rantai penyebaran virus covid 19. Seterusnya, fungsi puitik adalah pemanfaatan bahasa itu untuk keindahan. Hal ini dapat terlihat dari bahasa yang digunakan oleh sastrawan kita dalam karyanya.
Fungsi persuasif dalam bahasa digunakan untuk mengajak dan mempengaruhi orang lain, seperti polisi yang mengajak dan menghimbau kepada pengendara sepeda motor agar memakai perlengkapan berkendaraan supaya aman dan nyaman ketika pulang mudik lebaran. Terakhir, fungsi fatis adalah bahasa yang digunakan untuk membangun dan menjaga hubungan sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Nah, tuturan basa-basi itu masuk ke dalam fungsi fatik. Dalam proses komunikasi sehari-hari, fungsi fatik hampir tidak bisa dihilangkan. Fatis digunakan dalam bahasa lisan berupa dialog atau wawancara yang menggunakan bahasa ragam informal. Basa-basi tersebut sebagai simbol tindakan sosial verbal untuk bertegur sapa, bersopan santun dan beramah tamah guna menciptakan hubungan solidaritas dan harmonisasi. Namun, yang harus dingat tidak semua situasi dan konteks basa-basi bisa digunakan. Nadar (2007: 6-7) menjelaskan konteks adalah hal-hal yang gayut dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan, ataupun latar belakang pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan lawan tutur, dan yang membantu lawan tutur menafsirkan makna tuturan. Oleh karena itu, pemakai bahasa harus pandai-pandai dalam memanfaatkan fungsi fatis. Ketidaktepatan menggunakan basa-basi akan berubah menjadi masalah antara penutur dan lawan tuturnya.
Dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, raso jo pareso merupakan kesantunan dan kesopanan dalam bertutur. Orang yang tidak tahu raso jo pareso dianggap dianggap kurang ajar dan tidak tahu adat. Sering kita dengar tuturan pada situasi saat makan, ketika seseorang makan dan teman lain tidak, tanpa adanya basa-basi kepada teman sekitarnya maka temannya akan berkata Babaso stek, Yuang!. Di sisi lain, ada saatnya kita tidak mesti berbasa-basi dikarenakan lawan tutur tidak mengharapkan kita berbasa-basi, seperti saat kita dijamu makan oleh seseorang, lawan tutur kita akan mengatakan Jan babaso lai! Baso jauh!.
Menyangkut dengan peristiwa yang penulis ceritakan pada awal paragraf, rombongan yang menolak naik ke rumah untuk makan merupakan bentuk basa-basi yang berfungsi penolakan,. Menurut hemat penulis, strategi penolakannya saja yang kurang tepat, sehingga memunculkan rasa tidak enak hati terhadap keluarga duka. Dua orang yang menerima undangan untuk naik ke rumah dan makan tidak salah karena pertimbangan menghargai dan menjaga perasaan keluarga duka. Sikap tersebut bukan basa-basi, tetapi lebih mementingkan nilai-nilai kemanusiaannya. Wauallahu a’ alam bis shawabi.
Discussion about this post