Palsu
gerimis membasahi kota malam itu
membasuh hatiku yang hampir patah
aku berlari pada kekasih
ia tak berada di tempat
hanya rumah yang dingin dan kesepian
dalam setiap langkah,
bersamaan hujan deras di mataku
“Ya Tuhan, ampuni aku,”
“Ya Tuhan, ampun,”
“Ya Tuhan,”
“Ya Tuhan,”
“Ampuni aku yang telah kafir,
memuji nama indah-Mu
tapi kekasih dalam hatiku
lebih besar dari-Mu,”
“Tiadalah kasih paling kasih selain Engkau,
Tuhan, terimalah cintaku walaupun itu palsu,”
Padang, 14 September 2021
*terinspirasi dari karya Husein Widiyanto “Kafir”
Pagar
kota basah semalaman
gerimis berganti hujan
yang meluapkan segala yang dikandung awan
aku berziarah pada kekasihku
rindu telah menjadi racun di dadaku,
hujan tak dapat mencegah langkahku ke hadapannya
menghadap kekasihku
dengan gelisah
gelisah karena ingin segera bertemu
penuh harap,
seandainya ia berada dalam rumah besar itu
menunggu,
merapal doa-doa
berharap Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang sudi mempertemukan kami
malam hampir mencapai puncaknya
jalanan begitu sunyi,
basah dan mencekam
hatiku mengembang
hanya dengan memandang rumahnya yang angkuh
kudekatkan wajahku pada pagar
menyentuhkan pipiku
pada pagar yang putih dan dingin
aku mencintai orang di dalam rumah itu
di balik pagar ini
meskipun ia tiada, hatiku sudah bahagia
Padang, 14 September 2021
*terinspirasi dari kisah Layla Majnun
Pulang
setelah mengembara
di atas tanah-tanah yang asing
setelah mengecap banyak anggur dan cuka
kadang mesti lapar dan disia-siakan
rasanya aku ingin pulang
pulang ke hatiku yang dulu
yang tegar diasuh derita
hatiku yang senantiasa riang
pada setiap perjuangan
aku pun rindu pada sahabat-sahabat lama
mereka penuh mimpi
yang rela mengorbankan apapun demi mimpi-mimpi itu
Ikal, Arai, Lintang, Sabari, Maryamah, Enong, dan semuanya
tetaplah bersemayam di jiwaku
aku akan segera pulang!
Padang, 14 September 2021
*sahabatku dalam karya-karya Andrea Hirata
Cermin
bersamamu aku seperti menghadapi
sebuah cermin besar
seperti melihat diriku sendiri
kau adalah labirin
dan aku tersesat di dalamnya
kau adalah tembok yang menjulang kokoh
aku tak kuasa meruntuhkannya
kau juga awan-awan lembut
kau menjelma gelas-gelas kaca
riuh berdenting, bertubrukan,
pecah dan melukai kakiku\
memahamimu sama peliknya dengan memahami diriku sendiri
sabarlah, kasih
cerminku retak
aku mencoba merangkainya kembali
merekatkannya
melukiskan tinta emas pada setiap retakannya
Padang, 14 September 2021
*terinspirasi dari filosofi Kintsugi “piring pecah”
Janji Bunga Matahari
malam itu kau usap air mataku
disaksikan lampu-lampu taman kota
engkau berjanji akan selalu ada,
melindungiku, menjadi dukungan buatku
“Kau boleh datang padaku setiap kali kau membutuhkanku,” katamu.
Saat itu aku merasa kembali jadi orang yang berarti
perempuan selembut kelopak bunga matahari,
kini aku tiada berdaya
aku mencarimu, memohon pertolongan
di antara rintih dan sedu sedan
tapi kau entah di mana
terbaring di tempatku,
memandang langit-langit yang kosong
aku bertambah retak mengingat janjimu
janji bunga matahari sirna sudah
Padang, 14 September 2021
*Bunga Matahariku, Tuba Fallopi
Biodata:
Amalia Aris Saraswati merupakan Alumni Fakultas Pertanian Universitas Andalas, anggota FLP Sumbar, dan Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) Pusat.
Discussion about this post