Kamelia Sambas
(Ketua Bidang Politik, Hukum, dan HAM Kopri PB PMII)
Pandemi Covid-19 melanda dunia dan Indonesia termasuk di dalamnya. Bangsa ini berjuang melawan Covid-19 dengan mengeluarkan kebijakan karantina wilayah (lockdown) menjadi pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Kemudian, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro hingga PPKM Darurat. Semua aktivitas dilakukan dari rumah, termasuk pembelajaran di sekolah. Pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada orang dewasa, tetapi juga pada anak-anak.
Pembatasan sosial (sosial distancing) yang berlangsung selama pandemi memberikan tekanan mental atau psikososial terhadap anak. Dari yang tadinya aktivitas mereka di sekolah dan belajar dengan guru serta berinteraksi dengan teman-temannya, sekarang, aktivitas mereka berubah dan dilakukan di rumah. Berkaitan dengan munculnya kebijakan belajar dari rumah yang harus dilakukan anak-anak, hal ini beresiko sangat tinggi bagi anak. Anak-anak bisa mengakses internet lebih lama sehingga berdampak pada kesehatan mental maupun sosialnya.
Melihat situasi saat ini, anak akan rentan terpapar konten-konten yang berbau tentang pornografi dan bahkan akan terancam menjadi korban eksploitasi. Ini sangat berdampak buruk bagi anak yang akan membuat mereka kecanduan terhadap pornografi. Pornografi juga bisa merusak tatanan psikososial masyarakat. Orang tua diharapkan peka terhadap situasi di masa pandemi ini. Anak-anak mereka berhak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, baik secara materi maupun lingkungan, pergaulan, dan media informasi yang sehat dan layak diberikan kepada anak-anak. Bangsa ini harus serius dalam menjawab tantangan globalisasi yang berpeluang besar memberikan ancaman bagi generasi penerus bangsa. Jika negara tidak dapat menjadi payung pelindung untuk menyelamatkan masa depan anak, negara ini akan sangat sulit melahirkan dan mendidik gerenasi yang cerdas serta berkarakter.
Dengan adanya kebijakan belajar di rumah di masa pandemi, juga meningkatkan kasus kekerasan terhadap anak. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) tahun 2020, telah terjadi 3.087 kasus kekerasan terhadap anak, di antaranya 852 kekerasan fisik, 768 psikis, dan 1.848 kasus kekerasan seksual. Angka ini tergolong tinggi. Ini terjadi karena semua aktivitas hampir dilakukan di rumah. Sementara itu, tidak semua anggota keluarga siap menerima kondisi seperti ini. Belum lagi orang tua atau anggota keluarga yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan tekanan ekonomi. Efeknya, pelampiasan terjadi terhadap anak atau anak menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Dalam momentum Hari Anak Nasional (HAN) tanggal 23 Juli 2021, mari kita merasa memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk peduli terhadap apa pun yang dapat mengancam masa depan generasi bangsa ini. Hal ini juga dinyatakan dalam Undang-undang (UU) No. 39/1999 tentang HAM dan Undang-undang (UU) Nomor 23/2002 tentang perlindungan anak. Kebijakan tersebut mengamanatkan kepada negara, peran serta masyarakat dan orang tua dalam memberikan perlindungan pada anak tanpa membedakan dari suku, agama, ras dan golongan. Oleh karena itu, dukungan dari semua elemen masyarakat sangat diperlukan untuk memprioritaskan kepentingan bagi anak dalam mendapatkan hak dan perlindungan tanpa adanya kekerasan, khususnya dalam mengkritisi aturan pornografi. Sangat penting memberikan pembatasan akses pada anak terhadap seluruh materi pornografi atau materi pornografi anak yang ditampilkan melalui media.
Perlu adanya kerja sama dari semua pilar bangsa, terutama peran orang tua yang benar-benar menjaga, memberikan dukungan yang baik, dan mengawasi anak dari pihak manapun yang mencoba merusak masa depan anak bangsa. Memberikan hukuman yang setimpal bagi para korban yang sengaja ingin merusak anak bangsa. Indonesia Ramah Anak. Lindungi Anak. Indonesia Maju.