Kau, Bertanya Malam [?]
Malam: Pelabuhan,
kelopak matamu adalah malam bukan?
gelap dan penuh air mata kesunyian
pintalan rahasia
kau jalin ia dengan jari-jari yang mengusap
Malam: Kesedihan,
seberapa basah pun wajah teguh itu
sesendu Selat Sunda dengan hamparan luka?
kau tak hirau…
tak ‘kan ada bibir dingin yang mempersoalkan
Malam: Hitam,
tak perlu repot membalut muka
ia punya hijab dari makhluk alam
adukan saja di pelataran
selain Tuhan, tak ‘kan ada yang melihat
Malam: Lautan,
kau bebas membongkar isi kepala
menyusunnya berjejer atau mengacak tanpa hiasan
angin malam akan mengobati
dalam hitungan jam, ia berenang di lautan bintang
Atma-mu: Malam,
kau tak bisa melupakan malam
di kantoranpun, kau sisihkan ia di kantong rahasia…
seterang apapun jendela terbuka
: di dalam sana kau dapat menangis lega
dengan segores senyum palsu, bertanya pada kolega,
“Permisi, apa itu Malam?”
Jakarta, 2019
Kursi Roda dan Kakek Tua
Jemari memutar roda,
bulir jingga berserak di lamanmu
puluhan tahun mereka jauh
pelataran dibanjiri tabebuya bisu
Dahulu,
di sepasang telinga mungil
kisah patriot kau suguhkan
jutaan harap kau sematkan
terulas senyum hebatnya engkau
Cita-citamu diwarisi,
Sulung menjadi dosen
Bungsu jadi presiden
tiga samudera dilayari
lima benua dihampiri
Hanya,
laman rumah tak sanggup disinggahi
Kau terhenyak,
satu kesalahan di masa lalu
dulu sekali,
kau lupa membisikkan
PULANG di telinga anak-anakmu
Pelataran Senja, 2018
Memangku Risalah Tuhan
Tangan tertadah,
Menampung tangis
beban di bola mata
melampaui puluh dasawarsa
Tuhan mengirim teman,
memperkuat langkah,
“Mari jemput janji-janji Tuhan”
Kota kembali hidup,
shalat didirikan
zakat ditunaikan
tangis sepertiga malam
Penduduk langit rindu,
kala dahi bersentuh sajadah
Wahai jiwa tenang, waktunya pulang…
rumah-rumah menangis
kau tersenyum.
Jakarta, 2020
Pulang Menjemput Nama
Desa bertuah,
kereta kuda
deretan saung tua
kau sisir, menggenggam gelar sarjana
Sewindu proyek batu,
Kau terhenyak,
keringat mengucur
kertas lusuh koyak
Matamu putih,
desa menjelma lubang raksasa
karyawan muda parkir
gerobak batu berdecit,
“Hei, rajin-rajin memungut
nyawa, jika ingin cepat kaya.”
Kota Melayu, 2018
Biodata :
Fury Buhair lahir di bumi Rafflesia tahun 1997. Hobi menulis puisi, berenang, bermain tenis, sepatu roda, bertualang ke gunung, dan hutan. Baginya, menulis ibarat membisik cinta di reranting, membubuh harap di kolong langit, dan menitip pesan di hati manusia. “Dengan menulis ku-anugerahkan buah tangan dari pengembaraan panjang hidupku, untuk dunia. Suka tak suka, kupikir tulisan selalu mampu mengubah mereka.” Jika ingin mengenal lebih intens, dapat mampir ke laman puisi https://sastrafury.wordpress.com dan instagram @fury.buhair
Pesan untuk Pulang
Oleh Ragdi F. Daye
(buku terbaru yang memuat puisinya Sebuah Usaha Memeluk Kedamaian, 2021)
di sepasang telinga mungil
kisah patriot kau suguhkan
jutaan harap kau sematkan
Teks puisi secara substansial memberikan efek yang berbeda dengan jenis teks lainnya kepada pembaca. Culler (1975) menguraikan beberapa karakter dasar yang membedakan teks puisi dengan teks lain: puisi tidak terikat pada waktu; puisi lengkap dalam dirinya sendiri; puisi seharusnya ditempatkan pada suatu tingkat simbolik; puisi mengungkapkan suatu sikap; tipografi dalam puisi dapat mengarahkan interpretasi ruang dan waktu.
Kreatika edisi ini menghadirkan empat puisi dari Fury Buhair, yakni “Kau Bertanya Malam [?]”, “Kursi Roda dan Kakek Tua”, “Memangku Risalah Tuhan”, dan “Pulang Menjemput Nama”. Meskipun tidak secara kentara mengangkat tema yang sama, puisi-puisi Fury mengungkapkan kegelisahan atas fenomen kehidupan. Ada satu diksi yang muncul berulang pada tiga buah puisi Fury, yakni ‘pulang’.
Kata ‘pulang’ dapat bermakna sosiologis dan religius. Di dalam interaksi sosial sesama manusia, pulang berarti kembali ke rumah, ke tempat awal berangkat, atau kembali ke asal. “Setinggi-tinggi bangau terbang, pulangnya ke kubangan juga”, demikian tuturan bijak. Seorang manusia semestinya tidak melupakan jati dirinya, identitasnya. Hal ini terungkap pada puisi “Kursi Roda dan Kakek Tua”: Kau terhenyak,/ satu kesalahan di masa lalu/ dulu sekali,/ kau lupa membisikkan/ PULANG di telinga anak-anakmu. Bagi anak-anak yang pergi merantau meninggalkan keluarga dan kampung halaman, pulang tak hanya sekadar menjenguk rumah, namun bermakna kepedulian dan penghargaan terhadap tanah kelahiran. Sering terjadi di masyarakat, ketika seseorang telah meraih sukses di negeri orang, ia berat hati untuk sekadar pulang sebentar apalagi ikut membantu membangun kampung halamannya. Kalau pun pulang, kadang dengan maksud mencari dukungan politik atau kepentingan pribadi lainnya.
Pulang yang kedua, bermakna lebih ruhaniah. Di dalam ajaran agama disampaikan bahwa kehidupan dunia bersifat fana, hanya sementara. Kehidupan abadi justru nanti, di Hari Akhir. Manusia diberikan kesempatan hidup di dunia untuk mengumpulkan bekal, bukan untuk terlena seolah akan hidup selamanya. Pulang bermakna kembali kepada Tuhan yang merupakan Sang Pemilik Kehidupan. Ini diungkapan puisi “Memangku Risalah Tuhan”: Penduduk langit rindu,/ kala dahi bersentuh sajadah/ Wahai jiwa tenang, waktunya pulang…/ rumah-rumah menangis/ kau tersenyum. Manusia yang ingat pulang akan menyiapkan bekal semaksimal mungkin sehingga ia dapat kembali menghadap Pencipta dengan tenang (husnul khatimah), akhir hidup yang diidamkan.
“Kajian pengalaman jiwa dalam puisi mengangkat kedalaman penjelmaan pengalaman jiwa ke dalam kata” (Pradopo, 1988: 68). Ada beberapa dalil yang disampaikan Pradopo, yakni, (1) Puisi mempunyai nilai seni bila pengalaman jiwa yang menjadi dasarnya dapat dijelmakan ke dalam kata. Nilai seni itu bertambah tinggi bila pengalaman itu makin lengkap. (2) Pengalaman jiwa itu makin tinggi nilainya bila pengalaman itu makin banyak meliputi keutuhan jiwa. (3) Pengalaman jiwa itu makin tinggi nilainya bila pengalaman itu makin kuat. (4) Pengalaman itu makin tinggi nilainya bila isi pengalaman itu makin banyak (makin luas dan makin jelas perinciannya).
Di dalam puisi “Kau, Bertanya Malam [?]” Fury bermain dengan pengulangan kata ‘malam’. Kata ‘malam’ dipasangkan dengan ‘pelabuhan’, ‘kesedihan’, ‘hitam’, dan ‘atma’. Bait pertama membuka puisi dengan puitik: kelopak matamu adalah malam bukan?/ gelap dan penuh air mata kesunyian/ pintalan rahasia/ kau jalin ia dengan jari-jari yang mengusap. Malam di pelabuhan adalah kesunyian yang penuh rahasia. Namun mengandung kesedihan: seberapa basah pun wajah teguh itu/ sesendu Selat Sunda dengan hamparan luka?/ kau tak hirau…/ tak ‘kan ada bibir dingin yang mempersoalkan.
Akan tetapi, kesedihan tersebut tidak diungkapkan secara verbal, namun disimpan, dipendam, tertutupi dalam kegelapan (hitam) malam: tak perlu repot membalut muka/ ia punya hijab dari makhluk alam/ adukan saja di pelataran/ selain Tuhan, tak ‘kan ada yang melihat. Jika kita merasakan kesedihan, kegundahan, atau persoalan, tak perlu sungkan untuk mengadukannya kepada Tuhan, sebab tempat berkeluh-kesah paling baik itu adalah sajadah, tempat bersandar yang paling kokoh adalah Ilahi. Ketika memulangkan masalah kepada penguasa kehidupan, jiwa pun akan menjadi lapang, kau bebas membongkar isi kepala/ menyusunnya berjejer atau mengacak tanpa hiasan/ angin malam akan mengobati/ dalam hitungan jam, ia berenang di lautan bintang.
Kontemplasi pada malam hari membantu jiwa dalam mengembarai peliknya kehidupan yang kadang juga diwarnai oleh realitas semu. Yang tampak cemerlang dan agung kadang hanyalah kamuflase untuk memoles status sosial.
Puisi-puisi Fury berhasil mengingatkan kita untuk merenungkan kembali makna pulang dan waktu. Merenungkan kembali telah seberapa bermakna perjalanan hidup kita. []
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post