Cerpen: Armini Arbain
Di tepi Danau Maninjau yang indah dan sejuk, di situlah aku dilahirkan. Tulis Hamka dalam bukunya Kenang-Kenangan Hidup yang ditulis Hamka di awal tahun lima puluhan. Pernyataan Hamka itu tidak berlebihan karena sejauh mata memandang Danau Maninjau dan menghirup udara yang segar, perasaan nyaman dan tenang mengaliri darah kita. Sungguh indah ciptaan Tuhan.
Aku juga dilahirkan di tepi Danau Maninjau. Sebagai putra Maninjau, aku sangat bersyukur karena pemandangan yang indah dan udara yang bersih membuat aku tumbuh menjadi pemuda yang sehat. Sejak kecil, aku dan teman-teman sebayaku sudah terbiasa mandi dan berenang di Danau Maninjau. Bagi kami yang lahir di tahun tujuh puluhan, Danau Maninjau merupakan tempat kami bermain, bercanda bahkan berkelahi, dan saling membenamkan lawan ke dalam Danau. Sungguh kenangan yang amat indah dan tidak terlupakan.
Masa remajaku juga sangat menyenangkan. Ketika kelas dua SMA, aku berkenalan dengan Suci, gadis hitam manis yang memiliki lesung pipit itu telah mengelorakan darah remajaku. Kami berkenalan ketika kami sama-sama mengelola mading sekolah. Walaupun masih kelas satu, Suci sudah jago menata artikel di mading dan aku adalah penulis tetap dan sekaligus menjadi penggung jawab mading tersebut. Karena sering bertemu dan berdiskusi untuk memajukan mading tersebut, kami menjadi akrab. Tanpa kami sadari kebersamaan dan keakraban menimbulkan benih cinta dalam diri kami. Jadilah, kami pasangan ideal di SMA itu. Bagiku, Suci adalah penjemangat hidup karena ia selalu mendorongku untuk meraih cita-citaku.
Memasuki ujian akhir SMA, aku tidak lagi mengurus mading sehingga ritme pertemuanku dengan Suci menjadi kurang. Aku juga minta pengertian Suci untuk tidak sering bertemu karena aku akan mejalani ujian akhir sehinga aku harus memfokuskan diri untuk dapat menyelesaikan SMA dengan baik dan sekaligus dapat memasuki perguruan tinggi dengan lancar. Aku bertekad untuk meraih keinginan itu. Suci pendapat memahami permintaanku.
Alhamdulllah, aku lulus dengan nilai yang tinggi. Ujian masuk perguruan tinggi pun kulalui dengan baik sehingga bisa memasuki Perguruan Tinggi yang kuidam-idamkan yakni Fakultas Ekonomi, UGM. Kami pun harus berpisah. Namun, kami berjanji untuk selalu menjaga komunikasi.
Masih segar dalam ingatanku, ketika aku akan berangkat meninggalkan Ranah Minang tercinta. Kami berdua duduk berjuntai di Danau Maninjau memandang lepas riak danau dengan mata yang nanar. Dadaku terasa berat untuk meninggalkan Danau Maninjau yang indah dan sejuk. Persawahan yang berjenjang sepanjang jalan dan Kelok Ampek Puluah Ampek menambah eloknya pemandangan. Kini semuanya harus aku tinggalkan. Semuanya membaur menjadi kesedihan. Apalagi meninggalkan dan berpisah dengan Suci, kekasih tercinta.
Kulirik Suci yang duduk menekur di sampingku. Aku melihat juga butiran bening jatuh dari pelupuk matanya. Ah, aku paling tidak tahan melihat perempuan menangis. Hatiku makin sedih. Kutarik tangan Suci dan kugenggam seraya berkata.
“Jangan menangis Suci! Walaupun kita berpisah, kita akan selalu berkomunikasi.”
“Aku takut, jika Kak Ipul telah di Yogya nanti, Kak Ipul akan melupakan aku”, ujar Suci lirih sambil menatapku. Tatapan Suci dengan linangan air mata itu membuat cintaku makin dalam padanya sehingga aku berkata dengan nada yang bergetar.
“Suci, selama air Danau Maninjau ini masih beriak dengan jernih dan udaranya yang sejuk masih bisa kuhirup, aku tidak akan melupakanmu. Aku yakin kalau Danau Maninjau akan selalu menyejukkan mata dan menjernihkan rongga dada makhluk yang ada di sekitarnya”. Mendengar janjiku, Suci cukup tenang dan tidak lama kamipun berpisah. Ternyata, sore Itu merupakan pertemuanku yang terakhir dengan Suci karena setahun setelah kepergianku merantau, Suci menikah dengan orang kampungku yang telah lama menetap di Kuala Lumpur, Malaysia dan Suci pun dibawanya. Aku pun melupakannya namun tentu tidak melupakan indahnya Maninjau.
Setamat kuliah, aku langsung diterima bekerja di sebuah perusahaan di Yogya. Sebelum bekerja aku sengaja pulang kampung menyenguk Maninjauku yang indah. Namun, pemandanganku mulai terganggu dengan adanya berapa buah keramba yang terapung di pinggir danau. Walaupun mulai mengganggu pemandangan dan merusak keelokkan danau, aku tidak begitu peduli karena yang terbayang bagiku adalah kenanganku bersama suci beberapa tahun yang lalu.
Dua tahun bekerja, aku menikah dengan pujaan hatiku semasa kuliah yang kini telah menjadi dosen di almamaterku. Tutik namanya. Lima tahun menikah kami telah dikarunia sepasang buah hati. Terasa hidupku bahagia. Namun, kebahagiaanku belumlah lengkap karena istri dan kedua anakku belum pernah kubawa ke ranah Minang. Belum pernah melihat keelokkan dan kesejukan Danau Maninjau. Aku berencana membawa keluarga kecilku pulang kampung bertemu dengan sanak keluargaku dan menikmati indahnya Danau Maninjau.
Di awal tahun 2010, aku pulang sekeluarga. Kubawa anak dan istriku. Aku ingin memperkenalkan mereka pada keluarga di kampung. Ayah dan ibu serta sanak famili di kampung sangat senang menerima mereka. Walaupun istriku bukan orang Minang, namun dia mengerti bahasa Minang karena sejak kami berteman dekat aku sudah mengajarinya Bahasa Minang. Setelah bekeluarga pun, aku juga sering mengajaknya berbahasa Minang.
Selama ini, aku selalu bercerita tetang keindahan Danau Maninjau pada istri dan anak-anakku. Hal itulah yang membuat mereka ingin melihat kampung nenek moyang mereka. Dan sore ini, kami bersiap untuk menikmatinya. Namun, ibuku melarang pergi sore itu dan menyarankan pergi esok pagi.
“Menurut mak, siang tadi turun hujan sehingga air danau jadi keruh bahkan bau”. Sebaiknya, besok pagi saja diajak anak dan istrimu ke danau. Aku bingung mendengar saran amak sehingga aku bertanya.
“Aku bingung Mak. Selama ini, walaupun hujan turun dengan deras air danau tetap bersih. Masak iya Mak karena hujan danau jadi keruh dan bau. Sejak kapan tu Mak?”
“Waang lihatlah sendiri ke danau. Jangan dibawa anak bini-mu dulu?
Aku mengikuti saran Mak. Setelah salat Isya, di surau dekat rumah aku langsung menuju danau. Seratus meter menjelang danau, aku merasakan ada bau tidak sedap seperti bau bangkai. Semakin dekat ke tepi danau, bau tersebut makin kuat. Dalam hati, aku bertanya-tanya “ bau apa gerangan?”
Sesampai di tepi danau, aku terperanjat melihat ribuan ikan nila mati mengapung dan ternyata bau tidak sedap tersebut berasal dari bangkai ikan yang telah memutih. Aku bingung, apa yang terjadi sebenarnya dengan danauku yang indah ini? Kemarin, ketika aku menyaksikan keindahan danau dari atas taksi melewati kelok ampek puluah ampek, aku masih melihat danau yang cantik dan indah. Keindahan danau itulah yang membuat aku ingat akan Suci. Walaupun memandang danau dari kejauhan, anak dan istriku berdecak kagum melihat keindahan Danau Maninjau.
Namun kini, berdiri di pinggir danau dan memandang ke danau luas. Aku sangat tercengang. Bukan saja sejumlah keramba apung yang mengurangi kiindahan danau namun airnya juga keruh dan butek. Ribuan bangkai ikan yang memutih sangat mengganggu pemandangan ditambah dengan bau busuk yang menyesup ke hidung.
Menyaksikan semuanya, aku jadi limbung. Perasaanku berkecamuk. Sedih, marah, dan sangat kecewa. Apa yang terjadi dengan danauku? Entah kemana Maninjauku yang dulu indah dan elok. Danau yang menyejukkan mata dengan udara yang bersih yang menyehatkan paru-paru. Aku menangis sedih menyaksikan semua ini. Tanpa kusadari, aku berteriak dengan lantang.
“Danau Maninjauku yang indah dan permai, kini telah rusak dan bau. Siapa yang memperkosamu? Siapa manusia yang tega membuatmu menjadi begini? Aku akan menuntut manusia yang telah merusakmu”.
Dengan lunglai, aku pulang ke rumah. Di halaman rumah, aku bertemu dengan urang sumandoku, Uda Sutan, suami kakak perempuanku. Tanpa basa basi, aku langsung bertanya tentang malang yang menimpa danauku. Uda Sutan pun bercerita.
“Beberapa tahun yang lalu ada orang kampung kita ini yang membudidayakan ikan dengan cara menebar keramba. Hasilnya sangat mengembirakan. Melihat keberhasilannya itu, banyak petani yang juga ikut menjadi pembudi daya ikan itu. Setiap tahun terlihat jumlah keramba yang ditebarkan semakin banyak. Tentu saja pelet yang ditebar untuk pakan ikan tersebut makin banyak”.
“Lalu apa hubungan dengan air yang keruh dan ribuan ikan mati” tanyaku tidak sabar.
“Nah, setelah berapa tahun budidaya ikan itu dilakukan, pada suatu hari, terlihat para petani itu berteriak-teriak, meneriakkan kalau ikan-ikan mereka yang akan dipanen mati berapungan di tengah danau. Mereka menanggap kalau hal itu terjadi karena ikan kurang pakan sehingga daya hidupnya rendah. Akibatnya, pada budidaya berikutnya mereka memberi pakan ikan dengan banyak.”
“Apa tahun berikutnya mereka berhasil dan mengapa air danau menjadi bau” selaku tidak sabar.
“Tahun berikutnya kejadian itu berulang sehingga pihak yang berwewenang mendatangkan ahli untuk meneliti penyebab kematian ikan tersebut”. Hasilnya sungguh mencengangkan.”
“O ya, apa hasilnya Uda?”
“Ternyata matinya ribuan ikan itu bukan karena kurang makan tetapi justru terbalik. Karena pakan yang ditebarkan itu, tidak semuanya dimakan ikan. Sisa pakan itu mengendap ke dasar danau dan berubah menjadi sedimen. Nah, karena adanya sedimen itu, oksigen di dasar danau menjadi kurang sehingga ikan sulit bernapas. Akibatnya, berton-ton ikan mati dan petani rugi hingga milyaran rupiah. Kaget aku mendengar cerita Uda Sutan sehingga aku berkata dengan lirih.
“Miris juga nasib pembudidaya itu, kasihan mereka. Lalu mengapa bangkai ikan itu tidak dikuburkan dan masih bertebaran di danau sehingga menimbulkan aroma yang tidak sedap? Tanyaku.
“Ini yang menjadi persoalan. Pihak berwewenang telah menghimbau agar para pembudidaya ikan itu untuk menguburkan namun karena mereka telah kecewa. Mereka abaikan saja himbauan itu” Mendengar jawaban Uda Sutan, aku kaget dan berkata dengan nada yang keras.
“Nah inilah orang yang tidak bertanggung jawab. Ketika memperoleh hasil yang banyak dari danau, mereka senang dan ketika mereka merugi dan kecewa mereka tidak mau merawatnya. Artinya, inilah manusia yang hanya bisa menyusu pada alam tapi tidak bertangungjawab dalam melestarikan alam. Perbuatan ini yang dimurkai Allah. Karena Allah telah menjanjikan dalam Al-Quran bahwa alam diciptakan untuk kebaikan manusia dan manusia harus bertanggung jawab dalam memelihara Alam”.
“Ya, itulah sebabnya, danau yang indah dan sejuk itu kini telah menjadi danau yang bau. Akibatnya, kita tidak dapat lagi menikmati keindahan dan kenyamanan danau. Pihak pemerintah telah turun tangan namun karena biayanya untuk pebersihan danau sangat besar”.
“Ya, uda aku sangat sedih dan kecewa melihat kenyataan ini. Danau Maninjau, kebanggaan kita, kebanggaan orang Minang kini merana dan sekarat. Maninjauku Oh Maninjauku. Sungguh malang nasibmu”.
Biodata Penulis:
Armini Arbain merupakan Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas dan penulis novel Bergolak (2019), Kumpulan Cerpen Lelaki Datang Malam (2018), serta penulis buku Pengarang Sumatera Barat Era Reformasi (2015).
Discussion about this post