Lelaki Penjemput Pelangi
Cerpen: Fadli Hafizulhaq
Tidaklah pernah kuhitung selang waktu kepergian Ayah. Sungguh tak kukira akan sebegitu lama, sejak saat hanya rambut yang dapat kusisir hingga telah piawai pula memoles bibir. Telah lama memang ia menghilang, tersebab sebuah alasan yang terdengar konyol : menjemput pelangi, begitu kata Ayah waktu itu. Bualan yang pada akhirnya membuatku membenci gerimis. Rintikannya bak jejarum tajam yang menyiksa, membuatku teringat kecupan hangat yang mendarat di kening beberapa jenak sebelum Ayah menghilang disaat gerimis berubah hujan.
Kini, gerimis mulai turun kembali, setelah ratusan atau bahkan ribuan kali. Membasahi tanah nan kering kerontang tersebab panas garang. Seiring angin mulai bergelut, tempias basahi dinding berlumut. Dedaunan bergoyang, reranting meliuk, penopang jemuran membungkuk. Sementara ibu meringkuk, bergetar hebat manakala hujan lebat telah tampak tandanya, di saat demikian tak ada tempat yang lebih ia suka ketimbang ranjang kecil dikamar pengap dengan jendela kecil yang tak pernah dibuka. Ventilasi disumbat dengan kain panjang hingga tak ada cahaya yang mampu menyelinap. Ia menyukai gelap, begitu semenjak lelakinya menghilang.
Keadaanku sebenarnya sama, membiarkan rindu menusuk dada seenaknya di saat gerimis merintik menjelma hujan. Tak pernah lagi ada inginku memandangi beranda di saat demikian. Apalagi tempias yang membasahi dinding dan gemericik air yang kemudian menggenang di halaman.
Hanya menghindari kenangan―mungkin juga berusaha melupakan. Kali terakhir bersama lelaki itu, menatap nanar mata teduhnya, memeluk erat tubuh kekarnya, tak pernah kukira beranda menjadi tempat terakhir kami berjumpa. Dan setelah itu, ia lepaskan pelukanku, mencium keningku kemudian menghilang menerobos hujan.
***
Kukatakan pada ibu, aku rindu, bukan hanya pada lelaki yang ikut andil mengantarkanku ke dunia itu, tapi juga kenangan-kenangan lalu, termasuk lengkingan suara ibu saat belum ada rindu yang menderu kala hujan telah tampak tandanya. Tak ada pahit yang menggigit, hanya teriakan. Teriakan ibu untuk mengangkat jemuran.
Kemudian, dengan tergopoh-gopoh aku berlari keluar, mengangkat helai demi helai pakaian dan menumpukkannya di pundak kecilku. Setelah kurasaka cukup, maka dengan cepat pula kuayunkan kaki menuju kamar, menghempaskan pakaian-pakaian itu di ranjang. Lalu berlari lagi ke luar, ke dalam lagi, menghempaskannya lagi, berulang-ulang hingga ibu berhenti berteriak lantang.
Tapi apa lah, pun kukatakan pada ibu tentang kerinduanku akan teriakan itu—dibalik rindu pada ayah, adakah yang bisa menjamin akan kudapati? Jikalau benar, aku mungkin tak lagi berlari kecil, bolak-balik menumpuk pakaian di pundak. Aku tetap bergegas dengan elegan, sebab tak ingin membuat orang terpaku menikmati gemulainya perawan.
***
Ayah ditelan hujan!
Begitu kalimat yang kurangkai ketika ibu bertanya ke mana ayah pergi. Lalu perlahan mataku berair, lirih kuucap alasan ayah pergi, menjemput pelangi. Ibu terdiam, linglung, lalu berlari kekamar pengapnya, merebahkan tubuh di ranjang bersprei lusuh. Menyembunyikan diri di bawah selimut, lalu menangis tersedu-sedu. Kelu.
Kuikuti langkahnya dengan pelan, kuresapi setiap kepedihan yang ia tinggalkan. Hingga pada akhirnya menangis pula aku sebab tak kuat hati melihat perempuan yang meminjamkan rahimnya untuk kehidupanku itu, aku menuai tangis menderai air mata. Andai ia bertanya kenapa, maka akan kujawab : aku hanya meniru.
Saat kudapati matanya sembab. Aku hanya heran apa sebab. Tidaklah pernah ia bercerita, perihal pelangi itu. Pun berkali-kali kutanya pelangi apa kiranya, berkali-kali pula ia berkata: “kamu belum cukup umur, Sari”. Ah, akupun tak begitu menanggapi. Bagiku waktu itu pelangi adalah suatu yang indah, dan ayah tengah menjemputnya untuk membuat kami bahagia. Namun benarkah? Otak kecilku berpikir, mencoba menalar segala hal. Hingga waktu menunjukkan kebenaran, bukan untuk bahagia, melainkan duka. Mendalam pula.
Hei, hendak kunamakan apa lagi duka hati tergores yang luka ini selain sebagai sebuah kesengsaraan? Terjamah perih dalam tubuh ringkih. Hari-hari yang kian berlalu membuatku mengerti akan sesuatu, sesuatu yang pahit di masa lalu. Sari yang dulu ibu kata belum cukup umur kini besar sudah.
***
Ibu sudah gila!
Bibir yang telah pandai kupoles menghamburkan kata ungkapan tak suka. Kukatakan ibu sekarang mendadak gila–aku hanya mengatakannya padamu atau paling tidak pada diriku sendiri. Durhaka memang. Tapi bukan maksudku menjadi begitu, namun tidaklah singkat waktu baginya menunggu, menunggu pelangi yang dijanjikan Ayah. Dan siapa yang tahu, tak lebih dari menangis dan menangis yang ia berlaku. Di atas ranjang yang semakin lusuh oleh cucuran air matanya. Basah, kemudian kering dan basah lagi, berulang-ulang, berkali-kali.
Aku bukan orang yang pandai bersembunyi. Melihat apa yang terjadi hendakku berlari. Tentulah tak ingin kuperlihatkan airmata yang berderai, sendu tangis terurai, di saat ia terus menyalahkan dirinya. Perihal kesalahan yang membuat Ayah pergi. Semua tak terlepas dari hujan berkepanjangan dalam keluarga kami.
Dulu. Aku hanya diam saja melihat percekcokan yang terjadi, antara ibu dan ayah. Saat ibu memekik, mengoceh pula menyindir habis-habisan, hingga pada akhirnya habis pula kesabaran ayah. Mata teduhnya berubah merah, tubuh kekarnya mendadak lemah. Pada saat itu ia menangis setelah terlebih dahulu telapak tangannya yang kasar bertemu pipi ibu yang halus. Ibu terbakar emosi, segala macam binatang berlompatan dari mulutnya. Dan besoknya kusaksikan ibu menangis, sesaat setelah kukatakan Ayah telah pergi. Pergi menjemput pelangi.
***
Sampaikan ini pada Ayah!
Aku bersorak pada hujan yang kubenci. Lelaki itu memang telah pergi, menjemput pelangi. Sesaat setelah ia sempatkan mengecup kening perempuan kecilnya di beranda itu. Namun barangkali ia terlupa barang sesuatu, perihal anak gadisnya yang akan tumbuh besar. Beranjak menuju saat akan gemar tampil di depan cermin, gemulai anggun dan mulai membutuhkan cinta dan bahu kekar untuk menyandar di kala tangis rindu pecah.
Sempat kukatakan pada hujan, hendaklah ia sampaikan padanya tentang ini! Perihal diriku yang sering digoda lelaki. Dilamar berkali-kali untuk dinikahi. Namun tidaklah satupun dari mereka yang kuiyakan, kukatakan bahwa waliku belum pulang dari perjalanan panjang menjemput pelangi.
Katakan pula bahwa para lelaki itu gila! Menganggapnya pria buta. Tatkala berkata bahwa ayah bukanlah menjemput pelangi melainkan meninggalkan pelangi. Lantas kukatakan pada mereka bahwa tidak usah merayuku sebab aku tidak akan menikah tanpa waliku.
Katakan lagi bahwa para lelaki itu (lebih) gila! Menawarkan apa-apa seenak mereka. Mengajakku merayakan cinta tanpa sebuah keterikatan, agar bara itu mampu diredam. Maka sampaikanlah ini kepada Ayah, jangan terlewat meski sepatah katapun, sebab kuingin ia cemburu.
***
Tidak cukupkah waktu yang berlalu? Sejak saat hanya rambut yang dapat kusisir hingga telah piawai pula memoles bibir. Untuk bertanya kapan kiranya lelaki bermata teduh dan bertubuh kekar itu kembali memelukku, seperti kala berada di beranda itu. Agar kembali berani kutatap beranda di kala hujan, untuk tempias yang membasahi atau gemericik air yang kemudian menggenang di halaman.
Sungguh, aku bukanlah orang yang pandai bersembunyi. Tak piawai mematahkan hati. Atau menepis rindu yang menghampiri, yang membuat kenangan bagai racun pembunuh. Saat lelaki penjemput pelangi itu tergambar di kala hujan, ketika ruh dingin menyusup ke balik kulit ari, gigiku gemeretak, tubuhku bergetar. Hatiku kelu, di balik tubuhku yang perlahan membeku.
Hujan yang menelannya tak pernah berkabar. Pun untuk sebuah pemberitahuan bilamana ia masih berdiri di bumi. Tidak. Hanya kerinduan yang mendalam di bawa serta. Di bawah duka yang kelam bagai kembang tak pernah disiram. Keriput, menciut, mendamba saat di mana ia akan mekar. Tergambarlah sebuah pengharapan yang tak jelas ujung.
Bila kau tak percaya, tanyalah olehmu pada kamar pengap ibuku. Ialah pendengar setia ibu menangis sendu. Kala gerimis mulai turun. Membasahi tanah nan kering kerontang tersebab panas garang. Seiring itu, angin ribut mulai bergelut, tempias basahi dinding berlumut. Dedaunan bergoyang, reranting meliuk, penopang jemuran membungkuk. Sementara ibu meringkuk, bergetar hebat manakala hujan telah tampak tandanya, di saat demikian tak ada tempat yang lebih ia suka ketimbang ranjang kecil di kamar pengapnya. Maka akupun melakukan hal yang sama. Menangis tersedu dibawah selimut, di atas sprei lusuh yang mulai kumuh seraya berpikir meninggalkan ibu barang sebentar untuk menjemput si lelaki penjemput pelangi.
Aku mungkin tidak akan selamanya menolak para lelaki, dan bila masanya kelak aku harus menerima pinangan seseorang. Aku berharap dia tidak seperti Ayah.
Padang, 2011
Biodata:
Penulis adalah lulusan S3 Universitas Andalas. Bergiat di Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Sumatera Barat sebagai ketua wilayah. Cerpen ini adalah sebagian dari arsip-arsip karya sastranya setelah lama banting setir ke penulisan fiksi. Penulis bisa dihubungi melalui surel ke hafizulhaq.fadli@gmail.com atau kunjungi blognya di https://ajopiaman.com
NASIB ORANG-ORANG YANG DITINGGAL DALAM KARYA FIKSI
Oleh: M. Adioska
(Guru dan Pengurus Forum Lingkar Pena Sumatera Barat)
“Sastra kita kebanyakan bercerita tentang narasi diri seorang tokoh yang bermasalah dengan dirinya. Artinya, pengarang hanya mengisahkan permasalahan-permasalahan individu seorang tokoh. (Azwar, 2016)
Dalam buku Membaca Sastra, Membaca Dunia, pada salah satu babnya, Azwar memaparkan tentang fenomena kepengarangan yang berkembang akhir-akhir ini. Dalam pemaparannya, dapat disimpulkan dengan sederhana bahwa sebagian besar para pengarang hari ini cenderung menjadikan sastra sebagai sesuatu yang personal. Para pengarang cenderung mengangkat permasalahan diri menjadi tema untuk dijadikan sebuah cerita. Hal ini tentu tidak menjadi masalah selama para pengarang tersebut mampu berproses dan melahirkan sebuah karya dengan sudut pandang serta alternatif cerita yang berbeda. Sehingga pada ujungnya, karya yang dilahirkan tidak terkesan pengulangan tema saja. Inilah yang menjadi tantangannya.
Di sisi lain, Maman S. Mahayana (2011) pernah pula mengungkapkan bahwa terlepas dari keunikan dan kekhasan masing-masing karya sastra, selalu saja ada sifat-sifat manusia yang bernilai universal. Sebagai sifat yang bernilai universal, tentu semua orang dapat dan pernah merasakannya. Contoh sifat tersebut diantaranya keadilan, kemunafikan, cinta, penyesalan, kesedihan, dan sifat lain yang dapat dirasakan manusia secara umum.
Mengacu kepada pemaparan di atas, barangkali dapat ditarik sebuah benang merah, bahwa sebuah karya dengan tema permasalahan diri yang mengandung nilai manusia secara universal adalah tema yang sangat luas dan umum. Artinya, jika hanya mengacu kepada kedua tolok ukur tersebut akan ditemukan beberapa karya yang mengandung kemiripan, serupa tapi tak sama.
Memang, cerita tentang nasib orang-orang yang ditinggalkan bukanlah tema baru dalam dunia kepenulisan. Banyak cerita yang mengangkat tentang tema ini. Mengacu dari ingatan saja, tahun 1993, misalnya, Helvy Tiana Rosa menulis cerpen dengan judul “Ketika Mas Gagah Pergi”. Dalam cerpen ini, penulisnya mampu mengeksplorasi konflik dalam cerpen tersebut dengan bahasa yang ringan dan melibatkan konteks cerita yang nyata. Barangkali, hal inilah yang menyebabkan cerpen bisa diterima dan dikenal pada masa itu. Lain lagi dengan cerpen “Musim Manggaro” karya Elly Delfia, yang juga menceritakan tentang nasib orang yang ditinggalkan. Nilai lebih dalam cerpen ini diperoleh ketika penulisnya mampu membangun konflik dengan cara membenturkan rasa ditinggalkan dengan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Yang terbaru, cerpen “Ketika Uni Lia Pergi” karya Ali Usman (Scientia, edisi 18 April 2021) juga berkisah tentang nasib orang yang ditinggalkan. Dalam cerpen ini, penulis mengaitkan kepergian si tokoh dengan kesulitan ekonomi yang dialami oleh keluarga dalam cerita tersebut.
Dari beberapa contoh karya diatas, rasa kehilangan dan rindu adalah sifat universal yang dimiliki oleh manusia. Semua orang pernah merasakannya. Yang membedakannya, ketika rasa tersebut jatuh ke tangan penulis ditambah dengan sedikit proses kreatif, jadilah ia sebuah karya.
Di lain pihak, membaca cerpen “Lelaki Penjemput Pelangi” karya Fadli Hafizulhaq adalah contoh lain dimana tema permasalahan diri diangkat menjadi sebuah cerita. Secara ringkas, cerpen tersebut menceritakan tokoh si Aku, seorang anak perempuan yang telah lama ditinggalkan oleh sang ayah. “Tidaklah pernah kuhitung selang waktu kepergian Ayah. Sungguh tak kukira akan sebegitu lama, sejak saat hanya rambut yang dapat kusisir hingga telah piawai pula memoles bibir.”
Si Ayah meninggalkan tokoh Aku bersama Ibunya dengan alasan menjemput pelangi. Dalam lanjutan ceritanya, kepergian Ayah yang lama dan tanpa ada kepastian memberikan rasa kehilangan dan kerinduan yang mendalam bagi si Aku dan si Ibu. “Kukatakan pada ibu, aku rindu, bukan hanya pada lelaki yang ikut andil mengantarkanku ke dunia itu, tapi juga kenangan-kenangan lalu, termasuk lengkingan suara ibu saat belum ada rindu yang menderu kala hujan telah tampak tandanya.”
Hingga pada akhir cerita, kepahitan karena ditinggalkan dan rindu yang begitu mendalam, membuat si Ibu dan Aku berubah. Si Ibu menjadi gila dan si Aku mendendam untuk mendapatkan pasangan yang tidak sama dengan si Ayah.
Secara keseluruhan, konflik yang terbangun dalam cerpen ini mengacu kepada permasalahan diri individu pada si tokoh Aku. Perasaan kehilangan dan kerinduan si Aku digambarkan dengan baik melalui untaian kata yang disusun sedemikan rupa oleh penulis. Sehingga apa yang dirasakan si tokoh bisa sampai ke pembaca. Barangkali, inilah yang menjadi daya tarik cerita ini.
Namun, di sisi lain, konflik tersebut terkesan kurang terekspos lantaran penulis hanya fokus kepada perasaan dan kondisi si Tokoh Aku. Barangkali, dengan menambahkan sedikit permasalahn diluar diri si tokoh, akan dapat memberikan nilai lebih terhadap cerita ini. Seperti alasan kepergian Ayah karena desakan ekonomi, karena adat atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat ataupun karena konteks lain yang memaksa si Ayah harus pergi. Bagaimana pun, kepergian seorang lelaki yang meninggalkan anak dan istri karena percekcokan adalah hal yang sudah jamak terjadi. Oleh sebab itu, melalui tangan kreatif penulislah, hal yang lumrah bisa saja dikreasikan menjadi sesuatu yang lebih bernilai. Sehingga pada akhirnya, cerita yang dibangun menawarkan sesuatu yang baru bagi pembaca.
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca.
Discussion about this post