Oleh : Elly Delfia
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Apa itu analisis wacana dan analisis wacana kritis dan apa pentingnya dalam ilmu bahasa? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita lihat definisi wacana. Halliday mendefinisikan wacana atau discourse sebagai the word text is used in linguistics refer to any passage, spoken or written whatever length that does form unified whole (1980:1) atau kesatuan bahasa yang diucapkan atau tertulis, panjang atau pun pendek. Teun Van Dijk mendefinisikan wacana atau discourse dalam bukunya Text and Context sebagai this term text will here be used to denote the abstract theoritical construct underlaying what is usually called discourse atau kesatuan dari beberapa kalimat yang satu dengan yang lain yang terikat erat (Lubis, 2011:23).
Analisis Wacana
Analisis wacana berbeda dengan analisis wacana kritis. Sejarah analisis wacana dimulai oleh J.R. Firth, guru besar general linguistik Universitas London pada tahun 1944–1956, dengan pernyataannya yang cukup menarik, yaitu penganalisisan bahasa tidak cukup dengan arti kalimat itu melulu, tetapi harus ditentukan lebih dahulu oleh konteks (Lubis, 2011:23). Penganalisisan yang dimaksud adalah analisis wacana pragmatik. Pemikiran Firth tentang wacana pragmatik dilanjutkan oleh muridnya Michael Alexander Kirkwood Halliday atau M.A.K. Halliday di Australia yang kemudian dikenal sebagai ahli linguistik sistemik fungsional (LSF) atau systemic functional linguistics (SFL) yang merupakan bentuk dari Neo Fitrhian. Gillian Brown juga membicarakan wacana yang dihubungkan dengan pragmatik melalui pernyataan berikut “setiap pendekatan analisis dalam linguistik yang meliputi perkembangan konteks (kondisi di mana suatu peristiwa terjadi), termasuk ke dalam bidang studi bahasa yang disebut pragmatik (Brown & Yule, 1983:26).
Wacana didefinisikan sebagai satuan bahasa terlengkap dan terbesar atau tertinggi di atas kalimat dengan kohesi dan koherensi yang berkesinambungan, yang mempunyai awal dan akhir yang nyata disampaikan secara lisan ataupun tertulis (Tarigan, 2009:19). Analisis wacana membicarakan bahasa terkait dengan konteks berdasarkan pendekatan mikro yang dimulai dari satuan bahasa terkecil, yaitu frasa, klausa, kalimat, paragraf, dan wacana dihubungkan pendekatan makro, seperti sosiolinguistik, pragmatik, etnolinguistik, dan antropolinguistik. Analisis wacana mempunyai ciri-ciri, yaitu urutan penanda, ciri-ciri kala, ciri-ciri spasial, semantis, serta mengurutkan tipe kalimat dan klausa (Tarigan, 2009:19).
Analisis Wacana Kritis
Menurut catatan sejarah Young dan Harrison (ed.2004:2-4) dalam Wiratno (2018:375), analisis wacana kritis (AWK) merupakan cabang dari analisis wacana (AW) yang dikenal dengan linguistik kritis (critical linguistics) dan berkembang di East Anglia, Inggris pada tahun 1970-an yang berasal dari pemikiran Roger Fowler, Gunther Kress, Robert Hodge, dan Tony Trew yang mendasarkan pemikiran pada SFL yang dipelopori Halliday. Dalam pandangan linguistik kritis, analisis penggunaan bahasa memusatkan perhatian kepada peran yang dimainkan oleh bahasa dalam menyuarakan kekuasaan bagi kelompok tertentu dalam masyarakat dan ada ideologi yang melekat di dalam teks. Eriyanto (2011:4-6) juga menjelaskan bahwa ada tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana.
Pertama, pandangan kaum positivisme-empiris yang melihat bahasa sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Berkaitan dengan wacana, konsekuensi logis dari pandangan ini adalah tidak perlu mengetahui makna subjektif atau nilai yang mendasari pernyataan yang dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik, tata bahasa, kebenaran sintaksis adalah bidang utama aliran postivisme-empiris tentang wacana. Wacana dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama. Wacana diukur dengan pertimbangan kebenaran dan ketidakbenaran menurut sintaksis dan semantik.
Kedua, pandangan konstruktivisme yang menolak pandangan positivisme-empiris yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Pandangan ini melihat subjek sebagai pihak yang memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana.
Ketiga, pandangan kritis yang mengoreksi konstruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi. Analisis wacana kritis membicarakan bahasa bukan hanya dari segi struktur mikro dan makro, tetapi juga memandang bahasa sebagai bentuk dari praktik sosial. Teks mengandung nilai-nilai relasional atau nilai-nilai yang berkaitan dengan hubungan sosial yang menggambarkan kualitas hubungan antarpartisipan. Praktik wacana menampilkan ideologi tertentu yang dapat memerlihat kesenjangan hubungan antara kelompok mayoritas dan minoritas, seperti rasis, seksis, ketimpangan hubungan sosial lainnya yang dipandang sebagai common sense. Analisis wacana kritis menganalisis bahasa dalam hubungannya dengan kesenjangan sosial dan ketimpangan kekuasaan yang ada dalam masyarakat, misalnya kelompok yang berkuasa melakukan ketidakadilan atas kelompok kelompok yang lemah, kelompok kulit putih melakukan diskriminasi terhadap kelompok kulit hitam, kaum laki-laki pada kelompok sosial tertentu melakukan diskriminasi terhadap perempuan, dan sebagainya.
Menurut Wodak dan Fairclough (Eriyanto, 2011:7), analisis wacana kritis melihat bagaimana bahasa dari kelompok sosial tertentu saling bertarung. Dalam pertarungan bahasa ini, ada pihak yang dimenangkan dan ada pihak yang dimarjinalkan. Analisis wacana kritis melihat bagaimana peran bahasa dalam proses yang terjadi di antara kelompok-kelompok sosial yang bertarung tersebut melalui pesan-pesan yang tersembunyi di balik teks.
Karakteristik analisis wacana kritis dapat dilihat melalui lima bentuk yang disarikan dari Van Dijk, Fairclough, dan Wodak (Eriyanto, 2011:7-14), yaitu 1) Tindakan, 2) Konteks, 3) Historis, 4) Kekuasaan, dan 5) Ideologi. Fairclough (2011:10-11) menyebut analisis wacana kritis memiliki tiga karakteristik berikut, yaitu 1) Analisis wacana kritis merupakan analisis teks yang lebih konkret. AWK merupakan bagian dari beberapa bentuk analisis transdisipliner sistematis yang berasal dari hubungan antara wacana dan elemen lain dari proses sosial, 2) AWK bukan hanya komentar umum tentang wacana, tetapi juga bentuk analisis sistematis terhadap teks, 3) AWK tidak hanya analisis deskriptif, tetapi juga normatif terhadap teks dengan bahasan kesalahan sosial pada aspek diskursif (wacana) dan kemungkinan cara untuk memperbaiki atau menguranginya.
Perbedaan Analisis Wacana dan Analisis Wacana Kritis
Ada tujuh poin penting yang membedakan AW dan AWK. Tujuh poin tersebut, yaitu 1) Tokoh-tokoh analisis wacana, antara lain J.R. Firth, Zellig Harris, Kenneth L. Pike, MAK Halliday, Ruqaiya Hassan, Michael Stubb, Gillian Brown, dan George Yule, sedangkan tokoh-tokoh AWK antara lain Teun A. van Dijk, Roger Fowler, dkk., Ruth Wodak, Jean Paul Gee, Michel Foucault, Antonio Gramsci, Louis Althusser, Theo van Leuween, Sara Mills, dan Norman Fairclough, 2) AW mulai populer tahun 1940-an dengan pernyataan J.R. Firth bahwa “penganalisisan bahasa tidak cukup dengan arti kalimat itu melulu, tetapi harus ditentukan lebih dahulu oleh konteks (pragmatik), sedangkan AWK mulai populer pada tahun 1970-an dengan terbitnya buku Language and Social Control dari Roger Fowler, dkk., 3) AW menganalisis teks atau wacana dengan pendekatan linguistik mikro dan makro, yaitu struktur kalimat, struktur teks, fungsi, jenis, tata kalimat, dan bagian sintaksis, semantik, pragmatik, sosiolinguistik, etnolinguistik, antropolinguistik, sedangkan AWK menganalisis teks dengan pendekatan lebih luas dan memandang bahasa dengan kontruksi sosial yang terkait dengan peristiwa diskursif serta konteks, seperti kesenjangan sosial, rasis, seksis, ideologi, hegemoni, kekuasaan (power), 4) AW menggunakan analisis deskriptif terhadap teks, sedangkan AWK tidak hanya deskirptif, tetapi juga menggunakan analisis deskriptif-normatif (Fairclough, 2010:10-11; Wiratno, 2018:381), 5) AW tidak mengandung kritik etis atau kritik yang berkaitan dengan nilai-nilai, norma, dan unsur politik, kekuasaan, dan ideologi, sedangkan AWK mengandung kritik etis atau kritik yang berkenaan dengan nilai-nilai politik, seperti keadilan, persamaan, dan kebebasan sebagai motif untuk melakukan aksi moral (Wiratno, 2018:381), 6) AW mempunyai ciri-ciri atau karakteristik berikut: urutan penanda, ciri-ciri kala, ciri-ciri spasial, semantis, serta urutan tipe kalimat dan klausa (Tarigan, 2009:19), sedangkan AWK mempunyai lima karakteristik bentuk yang disarikan dari Van Dijk, Fairclough, dan Wodak (Eriyanto, 2011:7-14), yaitu tindakan, konteks, historis, kekuasaan, dan ideologi, 7) Para ahli AW menggunakan wacana pragmatik dan linguistik sistemik fungsional (SFL) Halliday dalam menganalisis dan menemukan makna serta nilai-nilai dibalik sebuah teks atau wacana, sedangkan para ahli AWK merumuskan konsep masing-masing dalam menggunakan pendekatan linguistik terhadap wacana. Roger Fowler, dkk. menggunakan konsep kosakata dan tata bahasa dalam melihat ideologi, Theo van Leuween menggunakan exclusion (pasivisasi, nominalisasi, penggantian anak kalimat) dan inclusion (diferensiasi-indiferensiasi, objetivasi-abstraksi, nominasi-kategori, determinasi-indeterminasi, asimilasi-individualisasi, asosiasi-disosiasi) dalam melihat kelompok yang termarjinalkan dalam teks, Sara Mills menggunakan subjek-objek dan posisi pembaca untuk menafsirkan teks yang mengandung diskriminasi terhadap perempuan, Van Dijk memakai kognisi sosial, metafora, dan koherensi untuk menganalisis praktik kekuasaan yang terjadi dalam masyarakat, dan Fairclough menggunakan representasi teks (representasi kalimat, relasi, identitas), intertekstualitas, discourse practice, dan socio practice dalam menjelaskan ideologi yang tersembunyi di balik teks.
Kemudian, bagian yang penting untuk diingat dari AW dan AWK adalah analisis wacana membicarakan bahasa terkait konteks dengan pendekatan linguistik mikro dan makro, sedangkan analisis wacana kritis membicarakan bahasa terkait konteks yang lebih luas dalam kaitannya dengan praktik sosial, ideologi dan kekuasaan, kesenjangan sosial, diskriminasi gender (seksis), rasis, dan sejenisnya. Semoga mencerahkan.
Padang, April 2021