Marhaban ya Ramadhan
Mohon maaf zahir batin
Dalam menyambut bulan puasa, sejumlah kata akan muncul dengan frekuensi yang tinggi. Kata-kata tersebut berkaitan dengan bahasa Arab yang menjadi bahasa sumber, di antara kata yang dimaksud ialah Ramadhan, zahir/dzahir, bathin, dzikir, kareem, mesjid, mushala, shalat, dan lailatul qadar. Tidak banyak yang mengetahui bahwa kata tersebut tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, khususnya dalam penulisan ejaan.
Ketika mengecek Kamus Besar Bahasa Indonesia, pilihan kata tersebut akan dirujuk silang ke dalam bentuk Ramadan, lahir, batin, zikir, karim, masjid, musala, salat, dan Lailatulqadar. Bentuk tersebut merupakan bentuk baku yang seharusnya digunakan dalam setiap penulisan bahasa Indonesia karena unsur yang dipakai sudah sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia.
Apa yang menyebabkan bentuk tersebut menjadi bentuk yang tidak sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia? Penyebabnya ialah lafal dan ejaan kosakata Arab yang tidak sama dengan bahasa Indonesia. Hal ini terjadi karena kedua bahasa itu mempunyai perbedaan sistem bunyi dan perbedaan lambang bahasa. Bunyi bahasa Arab ada yang tidak terdapat dalam bahasa Indonesia. Selain itu, bahasa Arab yang menggunakan lambang bunyi yang disebut dengan huruf hijaiah yang ditulis dari kanan ke kiri berbeda dengan bahasa Indonesia yang menggunakan lambang bunyi yang disebut abjad dengan tulisan latin.
Penyerapan unsur bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia dapat dilihat pada ketentuan yang tercantum dalam “Pedoman Transliterasi Bahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia” melalui Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 158 tahun 1987 dan Nomor 0543b/U/1987. Dalam ketentuan tersebut, dijelaskan pola penyerapan, seperti penyerapan fonem secara utuh tanpa ada perubahan dan penyerapan sebagian yang disesuaikan.
Pertama, bentuk Ramadhan. Unsur dh tidak ada dalam bahasa Indonesia. Unsur itu harus disesuaikan dengan bunyi yang ada dalam bahasa Indonesia. Pada “Pedoman Transliterasi Bahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia”, dijelaskan bahwa huruf Arab dad menjadi d dalam huruf bahasa Indonesia dengan bentuk latin ḍ (dengan titik di bawah). Dengan demikian, penulisan yang sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia ialah Ramadan.
Kedua, bentuk dzahir/zahir dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia akan dirujuk ke dalam bentuk lahir. Kata dzahir/zahir yang bermakna ‘berwujud atau tampak’ sudah ada dalam bahasa Indonesia. Kata tersebut berasal dari bahasa Melayu, yaitu lahir. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2017) mencatat bahwa lahir bermakna 1 v keluar dari kandungan: 2 v muncul di dunia (masyarakat); 3 n yang tampak dari luar; dan 4 n berupa benda yang kelihatan; keduniaan; jasmani. Dalam pembakuan sebuah kata, bentuk asli bahasa Indonesia harus dipertahankan. Dengan demikian, bentuk yang digunakan ialah lahir, bukan dzahir/zahir.
Hal yang sama juga berlaku pada bentuk ketiga, yakni bathin. Unsur th tidak ada dalam bahasa Indonesia. Unsur tersebut diserap dan disesuaikan dengan bunyi yang ada dalam bahasa Indonesia. Pada “Pedoman Transliterasi Bahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia”, dijelaskan bahwa huruf Arab ṭa menjadi bentuk latin ṭ (dengan titik di bawah). Dalam bahasa Indonesia, unsur tersebut ditulis dengan t sehingga penulisan yang sesuai dengan ejaan dalam bahasa Indonesia ialah batin. Dengan demikian, penulisan kalimat yang sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia, khususnya untuk mengiringi ucapan Ramadan ialah mohon maaf lahir dan batin.
Keempat, bentuk dzikir dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia akan dirujuk ke dalam bentuk zikir. Unsur dz pada dzikir juga terdapat pada bentuk dzat dan dzuhur yang kemudian akan dirujuk ke dalam bentuk zat dan zuhur. Hal ini menunjukkan bahwa unsur dz tidak ada dalam bahasa Indonesia. Dalam “Pedoman Transliterasi Bahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia”, dijelaskan bahwa huruf Arab zal menjadi bentuk latin z (dengan titik di bawah). Dengan demikian, penulisan kalimat yang sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia ialah zikir, zat, dan zuhur.
Kelima, bunyi vokal rangkap [ee] tidak ada dalam bahasa Indonesia, seperti kata kareem. Kata kareem yang bermakna ‘murah hati’ dilafalkan [karim] dalam bahasa Indonesia sehingga bentuk tersebut yang dibakukan. Dalam konteks Ramadan Karim, kata karim ditujukan menjadi sebuah doa semoga Allah bermurah hati memberikan ampunan kepada umat-Nya yang menjalani ibadah pada bulan Ramadan.
Bagi ahli bahasa Arab, pembentukan Ramadan Karim juga tidak tepat karena kata karim merupakan kata sifat yang bermakna 1 ‘murah hati’ dan 2 ‘Maha Pemurah’ yang ditujukan kepada Allah Swt. Artinya, kata karim tidak cocok dilekatkan pada kata Ramadan. Bentuk yang cocok dilekatkan pada kata Ramadan ialah mubarak yang bermakna ‘mendapat berkat’ sehingga frasa Ramadan Mubarak dapat membentuk makna ‘Ramadan yang diberkati’. Oleh karena bahasa merupakan kesepakatan penutur, frasa Ramadan Karim bukanlah bentuk yang salah. Namun, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat ditambahkan makna ‘mulia’ untuk menunjukkan makna ‘Ramadan sebagai bulan mulia’. Artinya, kondisi budaya dalam masyarakat Indonesia dapat menyebabkan kata karim tidak hanya digunakan kepada Tuhan dengan makna ‘murah hati’, tetapi juga bermakna ’mulia’ yang merujuk pada Ramadan sebagai bulan mulia.
Sementara itu, pada bentuk keenam, yakni mesjid dirujuk silang ke dalam bentuk masjid karena unsur tersebut merupakan unsur yang diserap secara utuh dari bahasa Arab, yakni al-masjidu sebagaimana yang tercantum dalam Kamus Al-Munawwir Edisi Indonesia Arab. Bentuk mesjid ini muncul sebagai varian masjid dalam bahasa Indonesia. Alasan yang dapat dijelaskan terkait bunyi [e] bukan bunyi [a] atau bentuk mesjid yang digunakan masyarakat bukan masjid barangkali berkaitan dengan posisi lidah dalam melafalkan bunyi tersebut. Posisi lidah ketika melafalkan bunyi [e] berada di depan, sedangkan posisi lidah ketika melafalkan bunyi [a] berada di tengah.
Bentuk mesjid merupakan variasi dari bentuk masjid dan tidak melanggar kaidah ejaan dalam bahasa Indonesia. Namun, penggunaan masjid perlu digalakkan karena sudah menjadi kata baku dalam bahasa Indonesia atau sudah tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Di samping itu, bentuk masjid juga sama dengan bahasa Arab yang menjadi bahasa sumber.
Berbeda dengan bentuk mesjid, bentuk mushala dan shalat memuat unsur yang tidak ada dalam bahasa Indonesia, yakni unsur sh. Bahasa Indonesia tidak memiliki konsonan rangkap sh sehingga unsur tersebut merupakan unsur yang tidak sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia. Kata tersebut berasal dari bentuk muṣallan dan aṣ-ṣallah. Pada “Pedoman Transliterasi Bahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia”, dijelaskan bahwa huruf Arab ṣad menjadi s dalam huruf bahasa Indonesia dengan bentuk latin ṣ (dengan titik di bawah). Dengan demikian, penulisan yang sesuai dengan ejaan dalam bahasa Indonesia ialah musala dan salat.
Bentuk lingual yang juga sering muncul selama Ramadan ialah lailatul qadar. Bentuk ini merupakan istilah untuk menyebutkan malam ketetapan, yaitu malam yang paling mulia dalam Ramadan. Oleh karena bentuk ini merupakan satu kesatuan, harus ditulis serangkai. Selain itu, bentuk ini juga merupakan nama malam mulia dalam Ramadan sehingga harus ditulis menggunakan huruf kapital. Dengan demikian, bentuk yang sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia ialah Lailatulqadar.
Pengguna bahasa Indonesia memisahkan bentuk tersebut menjadi lailatul qadar karena dianggap sama dengan pembentukan dua kata dasar dalam bahasa Indonesia, padahal bentuk tersebut merupakan satu kesatuan. Penulisan yang terpisah tentu menjadikan bentuk tersebut tidak sesuai dengan bahasa sumber karena dalam pembakuan sebuah kata, bentuk-bentuk yang diserap juga perlu mempertahankan bentuk dari bahasa sumber jika tidak ada padanan dalam bahasa Indonesia.
Dengan memahami proses pembentukan serapan, diharapkan kepada pengguna bahasa Indonesia dapat menulis kata yang sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia di berbagai ragam yang ada. Dalam pembakuan bahasa, memperhatikan unsur asli sangat penting. Mempertahankan unsur asli akan menjaga identitas bahasa Indonesia. Kita boleh menyerap kosakata dari bahasa asing untuk memperkaya bahasa Indonesia, tetapi proses penyerapan tetap berpedoman pada kaidah bahasa Indonesia.
Discussion about this post