Cerpen: Dara Layl
Langit melukiskan warna biru laut. Burung-burung gereja hinggap pada tiang-tiang listrik dan terbang ke sana-kemari secara berkelompok. Baru kemarin, Mulya pulang kampung. Salah-satunya karena rindu dengan masakan ibu. Aktivitas di kampus yang biasanya menyita waktunya, sekarang benar-benar Mulya tinggalkan. Mulya ingin libur tiga hari saja. Jadilah jatah absen yang jarang digunakan Mulya benar-benar terasa berguna. Stres rasanya dengan tugas ini-itu yang diberikan tepat sebelum ujian akhir semester. Kenapa ya, dosen kalau mau ujian suka ngasih tugas tambahan? Pertanyaan ini tidak pernah Mulya temukan jawabannya. Jadilah Mulya memilih kabur untuk sementara.
Karena tidak bisa membawa motor, Mulya mengajak adiknya untuk jalan-jalan keliling kampung di sore yang begitu cerah. Cahaya matahari masih terasa hangat walaupun tidak lagi menyengat, selama dibonceng oleh adiknya, Mulya hanya diam sambil melihat-lihat pemandangan di sisi jalan. Mulya hanya bisa menghela napasnya. Hanya dalam waktu beberapa tahun, barisan bukit-bukit yang mengelilingi kampungnya yang biasanya dipenuhi oleh pohon-pohon, kini digantikan oleh lahan pertanian. Sebenarnya, bukan hanya lahan pertanian, tapi juga rumah-rumah penduduk, terihat dari atap merah yang ini menggantikan warna hijau perbukitan.
“Kak, kita mau kemana sih?” Sri, adik Mulya yang sedang mengendarai sepeda motor kembali bertanya kepada sang kakak yang sibuk memperhatikan jalanan.
“Cuma keliling kampung aja kok. Kakak mau menghirup udara segar. Terserah kamu mau bawa motornya kemana yang penting sebelum maghrib kita harus sampai di rumah.”
Sri yang mendengar jawaban kakaknya hanya diam. Diam berarti menyanggupi. Mulya memang hanya ingin melihat-lihat kampungnya yang sudah banyak berubah. Di dalam hati, Mulya berpikir, apakah udara segar yang kini ia hirup akan tetap terasa segar sepuluh tahun mendatang? Atau akan tergatikan oleh polusi yang kian hari kian banyak diproduksi baik oleh ratusan kendaraan ataupun aktivitas lainnya seperti pembakaran sampah.
Ketika sedang melihat-lihat, Mulya melihat sebuah sungai yang dijadikan tanda pemisah antara dua jorong. Miris sekali rasanya meihat sungai yang dulu sering dijadikan tempat berenang oleh Mulya dan teman-temannya sewaktu kecil, kini tampak mengenaskan.
Warna airnya tidak lagi jernih akibat pembuangan sampah rumah tangga oleh masyarakat. Belum lagi penggunaan pastisida di ladang yang terserap oleh tanah. Hal itu menyebabkan ikan-ikan kecil tidak dapat hidup lagi di sungai. Akibatnya, air sungai sudah bercampur dengan pastisida.
“Bocah-bocah zaman sekarang tidak akan tahu rasanya dimarahi karena sering mandi di sungai,” batin Mulya meringis.
Mulya bukanlah aktivis lingkungan. Hanya saja, melihat keadaan lingkungan yang semakin hari semakin meresahkan, membuat Mulya ikut merasakan kegelisahan. Andai satu orang di bumi ini punya satu pohon yang ditanam, mungkin sudah berjuta-juta liter oksigen yang dihasilkan.
Mulya pernah mendengar kalau salah-satu penyebab banjir bandang yang terjadi di kabupaten sebelah karena tidak ada lagi pohon-pohon atau hutan resapan air. Semua pohon ditebang untuk dijadikan lahan pertanian dan pemukiman sehingga jika terjadi curah hujan yang cukup tinggi dalam waktu yang lama. Itu menyebabkan bencana tidak bisa dihindarkan.
Melihat orang-orang yang kehilangan rumah, kehilangan harta benda, kehilangan keluarga, dan kehilangan harapan membuat Mulya jadi bertanya-tanya, apakah kampungnya juga akan mengalami hal yang sama jika pembakaran hutan terus dilakukan untuk lahan pertanian?
Melihat bungkusan mayat-mayat, mendengar suara tagisan, melihat suasana sendu sekaligus memilukan yang dipertontokan di televisi membuat Mulya hanya bisa bergidik ngeri sekaligus ketakutan. Jangan sampai kampungnya juga jadi seperti ini. Tuhan tolong. Pernah suatu hari Mulya iseng beranya kepada ayah,
“Yah kenapa sih pemerintah ngebolehin aja gitu orang-orang bakar hutan buat dijadikan sebagai lahan pertanian dan pemukiman?”
“Yaa.. karena mungkin nggak ada tempat lagi.”
“Kalau terjadi bencana alam gimana?”
“Kalau itu, sudah takdir namanya.”
“Kan kata ayah takdir bisa diubah.”
“Iya. Mulya, tapi coba kamu banyangkan kalau bukit-bukit itu nggak ditinggali dari sekarang, kapan daerah kita akan maju. Dulu, kota-kota besar itu mulanya juga dari daerah perbukitan kayak kita.”
Setelah mendengar jawaban itu, Mulya hanya diam walaupun kurang puas dengan jawaban ayah. Kalau dipikir-pikir, berarti, pertumbuhan penduduk yang tinggi berbanding lurus dengan tingginya kerusakan lingkungan? Ah, Mulya semakin bingung.
Mata Mulya melihat ke sana-kemari dengan pikiran yang berkelana kian-kemari. Langit sore mulai memperlihatkan keelokanya. Warna biru laut yang tadi menyala di angkasa, kini digantikan oleh perpaduan warna merah dan kuning yang ditumbahkan di balik barisan bukit. Terlihat sangat indah dengan udara yang mulai terasa menggigit.
Akhirya, Mulya dan Sri sampai ke rumah tepat ketika adzan maghrib dikumandangkan. Kalau ibu sampai tahu, matilah Mulya dan Sri kena marah. Kata ibu, anak gadis tidak boleh keluyuran sore-sore.
Selesai salat maghrib, biasanya keluarga kecil Mulya akan makan bersama-sama di ruang tengah. Kebetulan Mulya pulang. Jadi, ibu sengaja membuat menu kesukaan Mulya, Mulya sangat senang bisa kembali makan bersama dengan keluarganya ini. Sebelum kembali menyapa tugas-tugas yang menyebalkan itu, Mulya harus banyak-banyak mengisi energi.
Untung sebelum sore, Mulya telah sampai di rumah. Ternyata, pemandangan sore yang cerah dan memesona itu tidak menjanjikan bahwa di malam hari tidak akan turun hujan.
Mulya dapat mendengar suara petir dan menyambar, sepertinya langit sedang menangis tersedu-sedu. Itu terdengar dari curah jutan yang sangat lebat. Selesai makan, Mulya memilih mengecek ponsel sebentar, sebelum akhirya pergi tidur, hujan dan tidur adalah perpaduan kenikmatan yang sempurna.
“Mulya, bangun Nak.” Ibu menggoyang-goyangkan badan Mulya.
“Mulya, astagfirullah. Bangun. Di luar banjir !”
Mulya yang mendengar suara cemas ibu memaksa matanya untuk terbuka.
Sial. Hari masih menunjukkan pukul dua dini hari.
“Tapi rumah kita kan tinggi Bu, sungai juga jauh di bawah.” Mulya masih belum percaya dengan ucapan ibu.
“Bukan rumah kita, tapi rumah Bu Risma yang dekat sungai itu. Sebagian rumahnya dibawa air.”
“Hah… kok bisa?” kemudian Mulya langsung bangun dari tempat tidur walaupun terpaksa. Kemudian, ia cepat-cepat memakai kerudung instannya.
“Ayo kita lihat. Kamu kok susah banget dibangunin. Orang-orang sudah pada heboh juga.”
“Maaf Bu,”
Rumah Mulya memang dekat dengan sungai yang jadi pembatas dua jorong di kampungnya, tapi rumah Mulya berada pada dataran yang sedikit lebih tinggi dari sungai sehingga tidak mungkin akan kena banjir walaupun sungainya meluap. Itu hipotesis yang digenggam oleh Mulya.
Lagipula, ada-ada saja. Masa kampungnya bisa banjir segala. Ini bukan kota yang sangat padat oleh penduduk dan bukan pula dataran rendah. Kejadian ini langka sekali. Pikir Mulya, seumur-umur belum pernah ada bencana seperti ini.
Apa ini gara-gara sampah yang di buang ke sungai. Jadi, aliran sungai terhambat? Atau gara-gara tidak ada lagi akar-akar untuk mengikat air di dalam tanah? Entahlah.
Curah hujan dari semalam memang tinggi sampai sekarang. Jadi, Mulya dan ibu memakai payung sambil memanfaatkan cahaya dari senter. Ketika Mulya sampai di lokasi, seperti yang dikatakan oleh ibu, rumah Bu Risma sebelahnya dibawa oleh air sungai. Pemandangan di dekat sungai sangat mengerikan, seperti sebuah danau yang pekat. Dengan air yang lumayan deras, Mulya dapat melihat itu saat mengarahkan cahaya senter ke arah sungai. Melihat itu, Mulya hanya menghela napas.
“Itu salah Bu Risma sendiri. Kenapa membuat rumah harus menjorok ke sungai? Itu membuat kawasan sungai semakin kecil. Kalau sudah begini, bisa apa lagi?” Mulya hanya membatin sambil menatap dengan prihatin.(*)
Dara Layl atau memiliki nama asli Dara Puspa Mulyana, lahir di daerah yang dikenal sebagai Kota Dingin Tak bersalaju, tepatnya di Kenagarian Sungai Nanam, Kecematan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, 03 July 2000; umur 20 tahun. Saat ini sedang menyelesaikan program S1 di Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI SUMBAR, dengan jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Dar aktif menulis antalogi pulisi dan novel di Wadpatt. IG: @daraa.pm @daralayl. Saat ini terdaftar sebagai anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Sumatera Barat, NRA: 086/D/003/005.
Karya Sastra dan Kepedulian Pada Masa Depan Dunia
Oleh: Azwar Sutan Malaka
Dewan Penasihat Pengurus Forum Lingkar Pena (FLP) Sumbar
Beberapa waktu lalu, saya mengulas sebuah karya anggota FLP Sumatera Barat (Sumbar) yang berjudul “Di Sepiring Resepsi” karya Zikra Delvira. Cerpen tersebut menarik karena sesuai dengan tema besar karya-karya Forum Lingkar Pena (FLP) yang mengusung sastra hijau atau sastra lingkungan sebagai genre kepenulisan mereka. Setidaknya, hal tersebut sudah terlihat sejak tahun 2008 ketika FLP mengangkat tema “Sastra Hijau” sebagai tema dalam memperingati ulang tahun FLP waktu itu. Hal ini sesuatu yang menarik karena barangkali sebagian orang melihat ada pergeseran tema karya sastra FLP dari sastra dakwah menjadi sastra lingkungan.
Sastra hijau bisa disebut pula sebagai ekokritisisme (ecocritism), yaitu konsep kearifan ekologi dipadukan ke dalam karya sastra, demikian pendapat Cheryll Glotfelty dan Harold Fromm. Sementara itu, Ahmad Tohari, menyebut Sastra Hijau sebagai Sastra Imani, yaitu sastra yang mampu meningkatkan kesadaran hidup bergantung pada alam (bumi dan seluruh isinya). Genre Sastra Hijau ditulis untuk melestarikan bumi serta isinya, khususnya hutan tropis dan lingkungan hidup manusia. Di luar FLP sendiri, Gerakan Sastra Hijau mulai gencar ditulis pada tahun 70-an, di negara-negara yang masyarakatnya peduli lingkungan, misalnya di Brazil, Australia, dan Amerika. Walaupun sebetulnya, Sastra Hijau telah ditulis sejak puluhan tahun yang lalu di berbagai benua.
Melalui tulisan ini, kembali saya kukuhkan pendapat bahwa sebenarnya bukan pergeseran tema-tema karya FLP dari sastra dakwah menjadi sastra hijau ini. Hal ini bisa dilihat sebagai pendalaman interpretasi FLP terhadap dakwah itu sendiri. Ketika mengangkat tema-tema sastra hijau atau sastra lingkungan, FLP semakin menyadari bahwa dakwah bukan hanya terkait dengan menyampaikan ayat-ayat kebenaran saja. Akan tetapi, dakwah juga tentang kepedulian pada semesta.
Jika dilihat dari kajian sastra, apa yang dilakukan FLP tersebut dapat dilihat dalam paradigma ekologi sastra. Asyifa dan Putri (2018) dalam tulisan mereka berjudul “Kajian Ekologi Sastra (Ekokritik) dalam Antologi Puisi Merupa Tanah Di Ujung Timur Jawa,” menuliskan paradigma ekologi terhadap kajian sastra merupakan bentuk penerapan pendekatan ekologi dalam memandang sebuah karya sastra. Dalam pandangan ekologi, eksistensi organisme dipengaruhi oleh lingkungannya atau ada hubungan timbal balik dan saling keterkaitan antara organisme dengan lingkungannya. Perjumpaan konsep ekologi dan karya sastra tersebut melahirkan suatu bentuk konsep ekokritik. Ekokritik merupakan kajian hubungan antara sastra dan lingkungan fisik.
Pandangan-pandangan bahwa sastra menjadi media untuk menyampaikan pesan-pesan lingkungan, menjadi ciri khas sastra hijau ini. Hal ini tentunya sama dengan karya-karya seni lainnya yang mengusung kepedulian pada lingkungan seperti lagu-lagu, lukisan, film, teater dan bentuk karya seni lainnya. Bila dilihat secara luas, sudah sejak lama beberapa seniman menyampaikan keresahan mereka terhadap lingkungan melalui karya seni. Mereka melahirkan karya-karya yang peduli pada masa depan dunia.
***
Pada Kreatika minggu ini, kita menayangkan karya Dara Layl yang berjudul “Mala”. Dara Layl merupakan nama pena dari Dara Puspa Mulyana, anggota muda FLP Wilayah Sumatera Barat, yang kini menjadi pengurus pada Divisi Karya. Dara cukup produktif menulis. Itu terlihat dari beberapa karyanya yang sudah diterbitkan di beberapa media.
Cerpen “Mala” karya Dara Layl ini bercerita tentang seorang mahasiswa tingkat akhir di sebuah perguruan tinggi yang pulang kampung karena ingin menghindari berbagai kesibukan sebagai mahasiswa yang akan melaksanakan ujian akhir semester. Niatnya ingin menyegarkan pikiran di kampungnya tidak tercapai karena persoalan lingkungan di kampungnya membuat pikirannya semakin sesak.
Sungai yang memisahkan kampungnya dengan kampung tetangga, sekarang sudah tercemar oleh sampah penduduk. Ikan-ikan yang dulu sering ditemukan di sungai itu tidak ada lagi karena airnya sudah tercemar pestisida yang mengalir dari ladang penduduk. Air sungai itu tidak jernih lagi. Tidak ada lagi anak-anak yang mandi di sungai seperti dirinya dan kawan-kawan ketika kecil dulu.
Tema cerpen ini adalah kepedulian terhadap lingkungan. Dara menyampaikan keresahannya (dan mungkin keresahan banyak orang) akan tercemarnya lingkungan. Apalagi, hutan-hutan di sekitar kampung itu semakin gundul karena pohon-pohonnya terus ditebangi, sementara tidak ada upaya penanaman kembali.
Hutan yang gundul dan sungai yang tercemar sehingga membuat aliran sungai tidak lancar mengakibatkan banjir melanda desa itu. Sayangnya, penduduk masih tidak menyadari bahwa banjir itu karena persoalan kesalahan mereka mengelola alam, justru penduduk menyalahkan korban yang membangun rumah di dekat sungai.
Sebuah kisah yang mengajak kita untuk peduli pada lingkungan. Walaupun bukan kita yang langsung menanggung akibat dari pencemaran lingkungan itu, bisa jadi suatu saat anak cucu kita yang menderita karena rusaknya lingkungan itu.
Dari sisi cerita, Dara sudah berhasil melahirkan sebuah karya yang memiliki pesan moral yang baik. Walaupun masih banyak yang harus diperbaiki, sebagai sebuah proses kreatif Dara sudah berhasil melaluinya dengan baik. Ke depan, semoga Dara semakin produktif berkarya dan melewati proses kreatif itu. Untuk menghasilkan sebuah cerita, dibutuhkan banyak hal. Tidak hanya kemampuan berimajinasi. Akan tetapi, berkarya juga membutuhkan kerajinan membaca. Membaca berbagai buku referensi maupun membaca karya penulis lain yang sudah terlebih dahulu berkarya.
Selain itu, sebagai seorang penulis fiksi juga dibutuhkan usaha membaca alam, membaca apa yang disajikan oleh alam ini. Pengamatan yang detail membantu membuat cerita juga menjadi memiliki ciri khas tersendiri. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah soal tata bahasa. Dara belum terbiasa membuat kalimat yang pendek sehingga mudah dipahami pembaca. Dara terbiasa membuat kalimat panjang dengan penghubung tanda koma. Hal ini dapat dilihat dari contoh kalimat berikut ini;
“Baru kemarin Mulya pulang kampung, salah-satunya, karena rindu dengan masakan ibu, aktivitas di kampus yang biasanya menyita waktunya, sekarang benar-benar Mulya tinggalkan, Mulya ingin libur, tiga hari saja.”
“Mulya hanya bisa menghela napasnya, hanya dalam waktu beberapa tahun, barisan bukit-bukit yang mengelilingi kampungnya yang biasanya dipenuhi oleh pohon-pohon, kini digantikan oleh lahan pertanian, sebenarnya bukan hanya lahan pertanian, tapi juga rumah-rumah penduduk, terihat dari atap merah yang ini menggantikan warna hijau perbukitan.”
Kalimat-kalimat panjang seperti di atas bisa dipenggal menjadi kalimat pendek agar lebih dapat dipahami pembaca. Hal ini membutuhkan proses editing mandiri pada karya sendiri. Penulis bisa merasakan bahwa ada yang janggal dari penulisan ini hanya jika membaca berulang-ulang karyanya. Oleh sebab itu, dianjurkan kepada penulis untuk berperan sebagai pembaca bagi karya-karyanya sebelum dikirimkan ke media.
Semoga ke depan Dara semakin teliti dalam menulis. Semoga juga bisa terus berkarya menghasilkan karya-karya yang lebih baik tentunya. Salam kreatif. (*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca.