Lambang, ikon, dan logo bukanlah istilah yang asing bagi masyarakat Indonesia. Istilah-istilah tersebut sering digunakan dalam berbagai situasi, terutama pemberitaan di media massa. Ketiganya memiliki makna, konteks, dan ruang lingkup yang berbeda, meskipun terkadang digunakan secara tidak beraturan karena sering dianggap sama oleh masyarakat. Pada pembahasan kilinik bahasa kali ini, akan dijelaskan perbedaan antara istilah lambang, ikon, dan logo.
Ketiga istilah tersebut berada dalam konsep tanda yang banyak dikemukakan oleh para ahli dalam bidang Semantik dan Semiotik. Namun, persoalan tanda yang dipaparkan dalam artikel ini lebih banyak mengambil pemikiran dari ahli Semiotik. Tanda memiliki dua komponen, yaitu sesuatu yang ditandai dan sesuatu yang menandai. Contoh dari dua komponen tersebut bisa dirasakan ketika orang melihat awan yang terlihat gelap atau sedikit menghitam. Orang tersebut akan berpikir bahwa hujan akan segera turun. Di dalam situasi ini, persoalan antara yang menandai dengan yang ditandai saling berkaitan. Pemaknaan terhadap “awan gelap” dan “hujan akan turun” berperan sebagai yang menandai dan yang ditandai. Awan gelap menandai peristiwa hujan akan turun sebagai sesuatu yang ditandai. Seseorang bisa mengetahui bahwa hujan akan turun, saat peristiwa itu ditandai oleh adanya “awan gelap”. Contoh lainnya ketika seseorang bertanya, “Yang mana rumah Rani?” kemudian dijawab oleh mitra tuturnya, “Rumah Rani yang berwarna hijau”. Rumah Rani merupakan sesuatu yang ditandai (ditandai oleh warna hijau). Warna hijau berlaku sebagai sesuatu yang menandai. Setiap tanda selalu memiliki dua komponen ini.
Dalam pembagiannya, ada tanda antara yang menandai dengan yang ditandai saling berkaitan dan ada juga yang tidak saling berkaitan. Di sinilah kemudian, istilah ikon, lambang, dan logo memiliki perbedaan. Sesungguhnya, ada satu jenis tanda lagi, yaitu indeks yang juga termasuk dalam pembagian ini. Akan tetapi, pada pembahasan kali ini, persoalan tanda hanya difokuskan pada lambang, ikon, dan logo yang kecenderungannya sangat tinggi untuk saling bertumpang tindih dalam pemakainnya.
Pertama, ada tanda antara yang menandai dengan yang ditandai saling berkaitan. Kedua, ada tanda antara yang menandai dengan yang ditandai tidak saling berkaitan. Jenis yang pertama merupakan sifat yang dimiliki oleh ikon. Jenis yang kedua merupakan sifat yang dimiliki oleh lambang dan logo. Pada pembahasan ini, tanda pertama yang akan dibahas adalah ikon.
Ikon merupakan suatu tanda antara yang menandai dengan yang ditandai saling berkaitan. Beberapa contoh ikon adalah foto, lukisan, patung, wangi parfum, dan sebagainya. Foto dikatakan sebagai ikon karena foto adalah sesuatu yang menandai berkaitan dengan sesuatu yang ditandai-nya. Hal ini dapat dilihat dari foto Presiden Indonesia, Bapak Joko Widodo. Foto Bapak Joko Widodo merupakan ikon dari wujud asli Presiden Indonesia. Wujud asli Bapak Joko Widodo adalah sesuatu yang ditandai dan foto Bapak Joko Widodo adalah sesuatu yang menandai. Ketika orang melihat foto tersebut, semua orang Indonesia akan mengetahui bahwa foto tersebut adalah diri Bapak Joko Widodo karena antara yang ditandai dengan yang menadai saling berkaitan.
Hal ini juga berlaku untuk lukisan, jika lukisan tersebut sangat mirip dengan wujud aslinya. Kita sering melihat lukisan Ngarai Sianok. Lukisan tersebut bersifat ikon karena sangat mirip dengan yang ditandainya, yaitu Ngarai Sianok. Persoalan ikon ini juga berlaku untuk wangi parfum karena ia mewakili sesuatu yang ditandainya. Kita bisa mengambil salah satu contoh varian wangi parfum, yaitu jeruk. Wangi parfum yang menyerupai jeruk merupakan ikon karena wangi tersebut menandai wangi asli dari jeruk.
Tanda jenis kedua yaitu antara sesuatu yang ditandai dengan yang menadai tidak saling berkaitan. Sifat inilah yang ada di dalam diri lambang dan logo. Lambang yang bersinonim dengan simbol merupakan sebuah tanda yang tidak berkaitan dengan yang ditandainya. Hal ini terjadi karena lambang dibentuk oleh masyarakat pemakainya yang kemudian dipahami dengan konsep konvensional (kesepakatan).
Sebuah lambang atau simbol dibentuk oleh masyarakat pemakainnya berdasarkan kesepakatan. Contoh umum yang bisa diperhatikan adalah lambang negara Indonesia, yaitu Burung Garuda. Burung Garuda merupakan lambang Indonesia karena dijadikan sebagai sesuatu untuk menandai negara Indonesia. Burung Garuda ini selalu ada di dalam pakaian resmi atlet Indonesia sebagai penanda bahwa atlet tersebut berasal dari Indonesia. Burung Garuda berlaku sebagai sesuatu yang menandai maka sesuatu yang ditandai oleh Burung Garuda adalah Indonesia. Burung Garuda sebagai yang menandai dan Indonesia sebagai yang ditandai tidak berkaitan secara langsung. Akan tetapi, itu digunakan sebab telah ada kesepakatan pemerintah Indonesia untuk menggunakan lambang tersebut dengan berbagai filosofinya. Lambang Burung Garuda pertama kali digunakan pada tahun 1950.
Persoalan lambang juga berlaku untuk bahasa. Banyak ahli bahasa yang mendefinisikan bahasa sebagai sistem lambang yang berwujud bunyi atau ujaran. Kita bisa mengambil contoh satu uruf dari bahasa tersebut. Huruf i, bagi masyarakat Indonesia dilambangkan dengan bunyi [i], tetapi huruf i, bagi masyarakat pengguna bahasa Inggris, dilambangkan dengan bunyi [ai]. Mengapa satu huruf i, bunyinya bisa berbeda? Hal ini disebabkan oleh kesepakatan pemakai bahasa. Bunyi [i] adalah sesuatu yang menandai huruf i bagi masyarakat Indonesia. Antara huruf i dengan bunyi [i] atau bunyi [ai] bagi pengguna bahasa Inggris, tidak saling berkaitan.
Tidak ada kaitan antara bunyi dan huruf tersebut, selain kesepakatan masyarakat untuk melambangkannya sebagai huruf i. Secara sederhana, kita bisa melihat contoh satu kata, yaitu wanita. Pada suatu situasi, seorang wanita Indonesia (bisa berbahasa Indonesia) ingin pergi ke toilet umum. Saat berdiri di depan toilet, dia melihat ada dua pintu. Pintu yang pertama bertuliskan “Pria” dan pintu yang kedua bertuliskan “Wanita”. Wanita tersebut tentu saja akan masuk melalui pintu yang bertuliskan kata “Wanita” karena dia tahu bahwa sebagai wanita dia harus masuk ke sana. Pada situasi lain, seorang wanita Korea (tidak bisa berbahasa Indonesia) sedang berada di Indonesia dan akan pergi ke toilet umum. Hal yang sama juga terjadi padanya. Jika wanita Korea tersebut tidak tahu kata “Wanita”, dia juga tidak akan tahu harus masuk ke ruangan yang mana. Hal ini memberi pemahaman kepada kita bahwa kata “Wanita” sebagai sesuatu yang menandai diri wanita, tidak salin berkaitan. Kata “Wanita” merupakan lambang untuk diri wanita yang dipakai oleh mayarakat pengguna bahasa Indonesia setelah adanya kesepakatan karena salah satu sifat bahasa adalah konvensional.
Hal ini berbeda situasi jika di depan pintu toilet umum tersebut tidak menggunakan bahasa, tetapi menggunakan ikon “Wanita”. Ada banyak toilet umum yang menggunakan ikon “wanita ” atau “pria” dengan berbagai model gambar. Ada ikon sosok manusia menggunakan rok untuk wanita dan celana untuk laki-laki. Ada ikon dengan sosok manusia yang berambut panjang untuk wanita dan rambut pendek untuk laki-laki. Jika situasi ini dihadapkan kembali pada wanita Korea yang akan pergi ke toilet wanita, tentu saja dia akan mengerti harus masuk ke ruangan yang mana. Dia bisa mengerti karena ikon menandai sesuatu yang ditandainya dengan sangat mirip (berkaitan). Oleh sebab itu, sebagian besar tanda untuk masyarakat umum lebih banyak menggunakan ikon daripada bahasa. Hal ini terjadi karena ikon bersifat universal, bisa dipahami oleh banyak orang, sedangkan bahasa hanya dipahami oleh pemakai bahasa tersebut (karena bahasa adalah lambang yang bersifat konvensional).
Sebagian besar rambu lalu lintas juga menggunakan ikon. Ikon yang menyatakan bahwa pengendara harus berhati-hati karena “jalan longsor” diwakilkan oleh ikon, bukan bahasa. Selain itu, kita juga sering menemukan sebuah tanda, yaitu garpu dan sendok di tepi jalan untuk menandai bahwa dalam jarak dekat ‘ada rumah makan’. Rumah makan ditandai oleh ikon garpu dan sendok, bukan bahasa.
Mengapa hal itu terjadi? Pertama, tidak semua pengendara adalah orang yang menggunakan bahasa yang sama. Ada kalanya warga negara asing yang belum lancar berbahasa Indonesia berada di jalan itu. Kedua, masih ada orang yang tidak bisa baca tulis. Paling tidak, ikon sangat membantu anak-anak yang belum bisa membaca pada situasi tertentu (misalnya ikon buang sampah). Ketiga, pemahaman terhadap ikon langsung menyerap ke pikiran setiap orang. Hal ini berbeda dengan penggunaan bahasa. Ketika rambu lalu lintas diwakili dengan kalimat “Hati-hati jalan longsor”, pembaca akan melalui tahap pemahaman makna terlebih dahulu. Penggunaan ikon lebih efektif dan efisien untuk semua orang sebab setiap yang diwakilkan oleh ikon berkaitan dengan wujud aslinya. Tanda yang terkahir adalah logo. Logo memiliki sifat yang sama dengan lambang, tetapi penggunaan logo tidak seluas lambang. Logo lebih banyak digunakan oleh sebuah perusahaan.
Discussion about this post